Tanpa integrasi, jangan harap memiliki kota dengan sistem transportasi yang manusiawi dan efisien bagi penduduknya
Jakarta (ANTARA) - MRT Jakarta, dalam proses kelahirannya hingga periode operasionalnya saat ini, tidak lepas dari peran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun provinsi atau daerah.

Keterkaitan peran itu memang sangat dibutuhkan karena tanpa adanya dukungan dari pemerintah, maka tidak akan mungkin suatu negara atau kawasan bisa mewujudkan suatu transportasi massal yang efisien lagi efektif.

Di Indonesia sendiri, transportasi massal yang terjangkau dan nyaman merupakan kebutuhan yang esensial dan penting pada saat ini, khususnya di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Mengapa? karena berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang Perhubungan pada 2013, pengguna KRL Jabodetabek mengeluarkan 32 persen dari pendapatan tetap bulanan untuk belanja transportasi rutin.

Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, Djoko Setijowarno menginginkan beban transportasi sehari-hari yang digunakan warga untuk mobilisasi sebaiknya dapat ditekan seminimal mungkin hingga rata-rata di bawah 10 persen dari penghasilan warga.

Djoko mengemukakan Bank Dunia mensyaratkan maksimal 10 persen dari pendapatan tetap bulanan dibelanjakan untuk transportasi rutin.

Bahkan, lanjutnya, beberapa kota di dunia yang transportasi umumnya sudah bagus, belanja transportasi masyarakatnya, tidak lebih dari 10 persen.

Djoko yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu berpendapat ongkos belanja transportasi tinggi menyebabkan setiap rapat atau pertemuan di Indonesia, ada istilah menyediakan uang transportasi bagi peserta yang hadir.

Menurut dia, hal seperti itu tidak pernah terjadi di negara yang layanan transportasi umumnya bagus. Persentase masyarakat yang menggunakan transportasi umum sudah lebih dari 50 persen.

Ia mengapresiasi kini sudah terbentuk perusahaan patungan antara PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan PT MRT Jakarta yakni PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MIJT).

Baca juga: Setahun MRT sebagai keajaiban di Jakarta

Djoko mengingatkan integrasi adalah satu-satunya cara untuk mencapai standar pelayanan dan operasional maksimal untuk memberikan dampak yang besar dan menyeluruh. Ketepatan waktu dan kemudahan dalam berpindah (mobilitas) akan selalu menjadi alasan utama pemilihan moda transportasi untuk menunjang mobilitas warga kota.

"Tanpa integrasi, jangan harap memiliki kota dengan sistem transportasi yang manusiawi dan efisien bagi penduduknya," ucap Joko.


Inisiatif pemda

Sementara itu Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menilai perlu ada insiatif dari setiap pemerintah daerah (pemda) untuk membangun dan mengembangkan transportasi Jabodetabek.

“Pada dasarnya inisiatif dari masing-masing pemda itu penting untuk dikoordinasikan karena tidak mungkin pemerintah pusat mendanai semuanya,” kata Menhub usai memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2020 di Jakarta, 4 Februari 2020.

Menhub mengatakan pemda di Jabodetabek, baik Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, harus bisa berkoordinasi dan tidak hanya terpusat di Jakarta.

Sebetulnya, menurut dia, sudah ada payung hukum, yakni RITJ yang apabila dilaksanakan dan dikoordinasikan dengan baik oleh pemda dan pemerintah pusat, maka akan terbangun transportasi massal yang tanpa kendala (seamless) dan mampu mendorong masyarakat meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi.

Menhub menyebutkan baru 32 persen masyarakat Jabodetabek yang menggunakan transportasi umum massal. Idealnya, lanjut dia,  60-70 persen.

Untuk lebih mendorong percepatan pembangunan transportasi Jabodetabek, Menhub akan mengajak swasta dalam skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
 
Stiker kampanye anti korupsi dipasang di gerbong kereta MRT saat pencanangan kampanye di Stasiun MRT Bundaran HI Jakarta, Selasa (27/8/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras.


Sebagaimana diketahui, kesuksesan MRT Jakarta dalam integrasi dan operasionalnya hingga saat ini juga membuat beragam daerah lain di sekitar kawasan Jakarta  tertarik mengembangkan hal serupa.

Misalnya, Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, mewacanakan pembangunan transportasi berbasis rel untuk mengurangi kemacetan yang terjadi di kota yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta tersebut.

Wali Kota Depok Mohammad Idris di Depok, Kamis (30/1), mengatakan pihaknya telah mengunjungi Kemenhub dan melakukan diskusi terkait dengan transportasi berbasis rel tersebut.

Menurut Idris, dalam studi kelayakan transportasi rel yang disusun oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok, akan dibangun empat jalur koridor yang nanti terhubung dengan moda transportasi lainnya.

Keempat koridor tersebut, yakni koridor 1 sepanjang 10,8 km yang dimulai dari Transit Oriented Development (TOD) Pondok Cina sampai Stasiun LRT Cibubur. Koridor 2 sepanjang 16,7 km dari TOD Depok Baru sampai Cinere dan diharapkan dapat terkoneksi dengan stasiun MRT Lebak Bulus.

Koridor 3 sepanjang 10,7 km mulai dari TOD Depok Baru sampai Bojongsari dan koridor 4 sepanjang 13,8 km mulai dari TOD Depok Baru sampai TOD Gunung Putri.

Idris berharap proyek pembangunan transportasi publik berbasis rel ini bisa ditetapkan menjadi Proyek Strategi Nasional (PSN) serta direalisasikan serta bisa mendapatkan pendampingan dari Kemenhub.

Sementara itu Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany mendorong proyek MRT Jakarta hingga ke Tangerang Selatan menjadi PSN agar progresnya bisa segera dipercepat.

Saat ini progres proyek MRT ke Tangerang Selatan, kata Airin, sudah dilakukan prastudi kelaikan oleh PT MRT Jakarta dan hasilnya sudah diserahterimakan melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek.

Airin mengaku pihaknya masih mengikuti keputusan pemda, karena proyek tersebut melibatkan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Banten.

Adapun, rencana rute yang akan dilintasi oleh MRT di Tangerang Selatan, di antaranya Lebak Bulus-Ciputat-Pamulang-Puspitek-Rawa Buntu.

Namun, kata Airin, rute tersebut masih bisa berubah seiring dari hasil studi kelaikan (feasibility study) yang akan dilakukan.

Baca juga: Menhub sebut angkutan massal "tulang punggung" transportasi perkotaan


Optimalkan

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno juga mengingatkan bahwa pemda harus optimal untuk mendukung pelaksanaan transportasi umum yang bersifat massal dalam rangka membantu konektivitas warga di daerah masing-masing.

Djoko mencontohkan dalam membangun transportasi berbasis bus, maka pemda perlu membangun halte, halte eksisting (revitalisasi), atau hasil kerja sama dengan pihak swasta dengan memanfaatkan dana tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan atau memanfaatkan halte sebagai media iklan.

Selain itu, lanjutnya, pemda dinilai perlu lebih gigih lagi dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dapat berupa kesadaran untuk kembali menggunakan transportasi umum serta tata cara menggunakan transportasi umum.

Pemda diharapkan pula dapat melakukan manajemen ruang dan waktu untuk akses kendaraan pribadi, yakni mendorong meninggalkan kendaraan pribadi, seperti pembatasan ruang (kebijakan pelat kendaraan bernomor ganjil dan genap atau jalan berbayar elektronik) atau waktu (prioritas bus di persimpangan saat jam sibuk).

Ia juga memaparkan kebijakan lainnya yang berpihak ke angkutan umum yang bisa dilaksanakan pemda, antara lain adalah pembatasan sepeda motor, tarif parkir mahal, serta ketentuan wajib memiliki garasi mobil.

Di samping itu, pemda juga diharapkan dapat melakukan survei kondisi lalu lintas sebelum, saat, dan sesudah dilaksanakannya program pembelian layanan bus untuk diperoleh data yang akurat sebagai dasar evaluasi pemanfaatan program pembelian layanan ini.

Kemudian bersama dengan pemerintah pusat untuk sama-sama mendukung program untuk melihat dampak ekonomi serta lingkungan yang dapat tercipta.

Djoko mengingatkan bahwa semakin banyak publik yang menggunakan kendaraan pribadi yang pasti akan berdampak tidak hanya kemacetan lalu lintas, namun pemborosan penggunaan BBM, polusi udara meningkat yang berdampak pada kesehatan masyarakat, kinerja, dan produktivitas kerja.

"Jika dibiarkan transportasi umum makin memburuk dan tidak diurus, maka negara dan bangsa yang akan menanggung dampaknya. Perlu komitmen politik negara untuk membangun transportasi umum di seluruh pelosok Nusantara. Membangun transportasi umum adalah membangun sistem," tegasnya.

Baca juga: MRT, moda transportasi populer sang pemersatu negeri

 

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020