Jakarta (ANTARA) - Wabah virus corona (COVID-19) telah menjadi darurat bencana nasional, sehingga banyak pihak di masyarakat turut urun gagasan demi kebaikan bersama.

Salah satunya, para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan sebuah gagasan agar data pasien yang sudah terinfeksi untuk dibuka ke publik (16/3/2020).

Melalui tulisan ini kami hendak merespon gagasan ini dalam perspektif Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Kemudian menjadikannya pembuka diskursus yang lebih luas tentang pentingnya Masyarakat Informasi sebagai kunci suksesnya kita dalam menghadapi wabah COVID-19.

Ketika menyampaikan usulannya, IDI berpendapat rahasia kedokteran tentang data pasien perlu dibuka untuk tujuan membantu kinerja Gugus Tugas COVID-19.

Baca juga: Pemerintah didorong proaktif sampaikan informasi COVID-19 secara benar

Adanya transparansi data pasien menurut IDI juga dinilai efektif untuk melakukan pelacakan kontak tracing, kapan, di mana, dan siapa orang yang bersangkutan berkontak.

Harapan penanggulangan penyebaran penyakit yang lebih efektif inilah yang melatari usulan membuka data pasien berupa nama dan tempat tinggal.

Dasar yang disampaikan IDI adalah kerahasiaan medik diatur dalam Undang-undang Lex Spesialis, yakni pasal 48 Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 57 UU 36 / 2009 tentang Kesehatan, pasal 38 UU 44 / 2009 tentang rumah sakit, pada pasal 73 UU 36/ 2014.

Sayangnya, dalam menyampaikan gagasan ini IDI belum menimbang UU 14/ 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang menegaskan bahwa data pribadi pasien Mutlak Dikecualikan (pasal 17h, pasal 18, pasal 54 UU KIP), kecuali bila pemiliknya memberi ijin secara tertulis dan pelanggaran atas penggunaan informasi publik termasuk pasien akan dapat dikenai sanksi pidana.

UU KIP merupakan pedoman hukum ‘kedaulatan rakyat’ atas informasi masyarakat yang telah menggariskan bahwa informasi pribadi pasien termasuk kategori informasi yang wajib dijaga dan dilindungi.

Pedoman hukum ini hadir untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak masyarakat atas informasi, sekaligus jaminan agar keterbukaan tidak merugikan kepentingan negara (pasal 17 huruf a, c, d, f, dan i), bisnis (pasal 17 huruf b, d, dan e), dan pribadi (pasal 17 huruf g dan h), di mana termasuk di dalamnya rahasia pribadi pasien.

Ketiga kepentingan tersebut (negara, bisnis, pribadi) tersebut masuk ke dalam informasi dikecualikan.

Adapun tujuan untuk menjadikan informasi data pasien sebagai bahan Gugus Tugas COVID-19. Hal demikian masuk ke dalam opsi 'dibuka terbatas'. Ini artinya tetap bukan dibuka ke publik, namun hanya disampaikan dan dibuka secara terbatas ke Gugus Tugas COVID-19 sebagai bahan pelaksanaan tugas.

Baca juga: Ketua KPI dorong publik figur deklarasi diri jika positif COVID-19

Artinya, UU KIP jelas tidak menghendaki ‘penyembunyian informasi’, namun itu tidak musti dengan cara ‘membuka paksa rahasia data pasien’ publik.

Transparansi dan Krusial

Adapun tujuan transparansi dalam pelayanan informasi publik, seperti disampaikan IDI, terkait untuk kebutuhan pelaksanaan tugas ini sebenarnya dalam praktiknya beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) telah menggunakan data pribadi pasien, namun tanpa menjadikannya informasi yang terbuka untuk publik.

Contohnya dalam kasus Pemerintah RI melalui Gugus Tugas yang secara regular menyampaikan perkembangan berapa jumlah pasien positif, berapa jumlah meninggal, dan jumlah berdasarkan provinsi, namun tetap merahasiakannya (nama dan alamat rumah) dari publik.

Begitupun di level daerah contohnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan tracing berdasarkan data pribadi pasien, serta menginformasikan kepada publik melalui aplikasi peta di situs corona.jakarta.go.id yaitu: jumlah kasus menunggu hasil, jumlah kasus positif di titik kelurahan, jumlah kasus positif, jumlah total kasus keseluruhan; kemudian dari jumlah kasus tersebut terdapat informasi jumlah dirawat, sembuh, meninggal, dan isolasi mandiri. Sementara di peta, hanya titik kelurahan, bukan alamat rumah.

Contoh tersebut di atas adalah argumentasi bahwa pendekatan transparansi dan krusial tidak musti sampai membuka paksa data rahasia sebagaimana telah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Model pendekatan transparansi dan krusial ini juga sedianya yang tengah dilaksanakan oleh beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) lain, terutama yang telah menentukan status darurat atau Kejadian Luar Biasa (KLB) Corona, seperti: Pemkot Depok, Pemprov DIY, Pemkot Bogor, Pemprov Jawa Timur, Pemprov Banten, Pemprov Kalimantan Timur, Pemprov Kalimantan Barat, dan Pemprov Jawa Barat.

Baca juga: Amnesty Internasional dorong lindungi identitas terinfeksi COVID-19

Ketentuan menutup juga selain secara tegas telah diatur dalam UU KIP, juga penting untuk melindungi pribadi pasien dari diskriminasi, persekusi, intimidasi, atau teror yang diterima terhadap pasien. Sangat mungkin, pasien 'suspect' COVID-19 diperlakukan tidak menyenangkan oleh masyarakat tertentu di sekitarnya.

Adapun pembukaan informasi data pribadi pasien untuk pelaksanaan tugas, tetap perlu perhatian ekstra dalam menjaga rahasia dan disiplin menjalani petunjuk teknis (juknis) mengenai siapa saja yang berhak menerima data, menganalisis, mengambil keputusan, dan koordinasi lapangan.

Oleh karenanya, pihak yang diberikan informasi musti optimal dalam melaksanakan tugas yang sesuai tujuan dibukanya informasi tersebut.

Masyarakat Informasi

Diskursus yang dilontarkan IDI setidaknya menyadarkan kita tentang tema wajibnya keterbukaan informasi dalam menghadapi wabah COVID-19.

Satu di antara tiga kategori informasi publik yang musti dipenuhi Pemerintah sebagai Badan Publik, yang terkait langsung dengan penanganan COVID-19 yaitu informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta (pasal 10 UU KIP, pasal 12 Peraturan Komisi Informasi/ PERKI Standard Layanan Informasi Publik /SLIP).

Baca juga: Ormas di Tanjungpinang minta transparansi informasi kasus COVID-19

Justru, cita-cita dan spirit UU KIP sangat selaras dengan harapan IDI, agar Pemerintah Pusat (Gugus Tugas COVID-19) dan Daerah wajib pro-aktif menyampaikan informasi publik terkait wabah COVID-19 secara benar, akurat, dan tidak menyesatkan.

Begitupun spirit Pasal 10, bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah wajib mengelola informasi terkait COVID-19 sebagai informasi serta-merta yang penyampaiannya tidak boleh ditunda, karena dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.

Di sinilah kehadiran Masyarakat Informasi menjadi kunci dalam menentukan sukses tidaknya penanganan COVID-19, karena itu berarti Masyarakat model ini: (1) Partisipasi untuk turut mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk selalu memperbaharui informasi cara mengurangi resiko wabah COVID-19 di masyarakat, informasi potensi sebaran COVID-19, serta ragam informasi tentang kegiatan, manajemen penanganan wabah COVID-19.

Selanjutnya, (2) Partisipasi memberikan informasi di masyarakat dan masukan/pendapat membangun untuk sama-sama sukses menang melawan COVID-19; (3) Partisipasi mengawasi penyelenggaraan program karena ada APBN/APBD yang ditujukan untuk penanganan COVID-19; (4) Partisipasi menyukseskan arahan dan Protokol Pencegahan yang dibuat Pemerintah seperti 'social distancing measure'.

Baca juga: KI Pusat imbau publik hati-hati ungkap informasi korban virus Corona

Masyarakat Informasi yang berpikir maju, dan semangat berpartisipasi akan mendukung hadirnya: (1) Pemerintahan yang transparan, terbuka, dan berorientasi partisipatoris, karena sebagai Badan publik memang wajib membuka akses terhadap informasi, terlebih di dalam situasi menghadapi wabah COVID-19.

(2) Pimpinan lembaga penyelenggara pemerintahan dalam arti luas dapat memanfaatkan pengawasan oleh setiap warga negara untuk memacu peningkatan geliat pemerintahan sekaligus juga untuk mendukung suksesnya penyelenggaraan program pemerintahan, termasuk dalam bersama menghadapi wabah COVID-19 sekarang. Seperti disiplin "di rumah aja" : belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan ibadah di rumah dan berperilaku hidup sehat.

Jadi, yang dibutuhkan bukan dibukanya informasi pasien COVID-19 ke publik, tapi publik akan diuntungkan apabila tumbuh sebuah Masyarakat Informasi yang berpikir maju, dan semangat berpartisipasi.

Inilah satu di antara kunci sukses dalam menghadapi wabah COVID-19. Hadirnya Masyarakat Informasi yang demikian, tentulah juga akan membantu meringankan beban para dokter yang kini menjadi garda terdepan dalam menghadapi wabah COVID-19 ini.

*) Arya Sandhiyudha, Ph.D adalah Direktur Eksekutif, The Indonesian Democracy Initiative (TIDI)
 

Copyright © ANTARA 2020