MRT Jakarta tidak akan sampai kepada tahap yang sekarang ini tanpa adanya apresiasi yang luar biasa dari publik kepada MRT
Jakarta (ANTARA) - Kemacetan dan Jakarta barangkali merupakan dua kata yang kerap terkait satu sama lain. Hal tersebut adalah akibat dari citra ibukota Republik Indonesia itu sebagai salah satu kota di dunia yang memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang luar biasa besar.

Salah satu indeks pengukur kemacetan kota-kota global, yaitu Tom Tom Traffic Index, menyebutkan bahwa Jakarta pada 2019 merupakan kota ke-10 termacet di antara berbagai kota yang disurvei.

Peringkat tersebut merupakan perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya, di mana Jakarta menempati peringkat kota termacet di dunia pada posisi ke-7 pada 2018, dan sempat menempati posisi ke-4 pada 2017.

Indeks tersebut bukan berarti bahwa kemacetan kota Jakarta relatif berkurang karena tingkat kemacetan pada tahun ini dinilai masih sama dengan pada 2018.

Berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya dengan membangun Mass Rapid Transit/Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, yang ternyata memiliki efek positif bagi banyak penggunanya.

Contohnya, ketika MRT Jakarta belum eksis, seseorang pengguna transportasi umum yang berkantor di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, dapat menghabiskan waktu hingga sekitar dua jam untuk pulang ke Ciputat, Tangerang Selatan, karena bisa "terjebak" kemacetan di sejumlah titik.

Kini, dengan hadirnya MRT Jakarta membuat jarak tempuh Lebak Bulus - Bundaran Hotel Indonesia kurang dari 30 menit, sehingga waktu ke kantor juga bisa ditempuh dengan hanya sekitar satu jam.

Dengan terpangkasnya waktu tempuh antara rumah dan kantor tersebut, membawa rasa kepuasan tersendiri karena dapat terbebas dari rasa penat di perjalanan yang berjam-jam lamanya.


Dilahirkan bebas
Filsuf abad ke-18, Jean Jacques Rosseau, pernah menyatakan bahwa manusia itu dilahirkan dalam kondisi bebas, tetapi di berbagai tempat dia terbelenggu.

Rosseau, tentu saja, mengemukakan hal tersebut terkait konteks masa hidupnya, yaitu di sekitar kawasan negeri Prancis pada masa pra-Revolusi, sekitar akhir abad 18.

Penulis buku Emile tersebut menyoroti berbagai bentuk otoritas yang ditemui sepanjang hidupnya, mulai dari pemerintahan hingga lembaga keagamaan. Dalam pengamatannya, institusi-institusi tersebut kerap menghasilkan berbagai aturan-aturan yang mengekang kreativitas manusia.

Tidak mengherankan bila berbagai buku dan buah pemikirannya menginspirasikan berbagai tokoh yang di dalam lintasan sejarah akan memimpin pergerakan Revolusi Prancis, sebagai upaya melawan tirani yang berupa kerajaan despotik.

Pernyataan Rosseau itu juga dapat dipahami bahwa manusia adalah sosok mahkluk yang memiliki kebebasan dalam berpikir dan menentukan apa langkah selanjutnya yang akan ditempuh di dalam hidupnya.

Namun, permasalahan kerap muncul bila gagasan mengenai langkah selanjutnya itu terbentur dengan berbagai hambatan realitas, yang dapat terjabarkan dalam berbagai aspek seperti waktu dan ruang.

Dengan demikian, bisa saja terdapat permasalahan misalnya seperti A ingin mencapai kota B secepat mungkin, tetapi dia akhirnya sadar bahwa jarak yang harus ditempuh sangatlah jauh sehingga tidak mungkin dicapai dalam waktu yang singkat.

Contoh seperti itu sedikit banyak juga dapat diterapkan dari pernyataan Rosseau, di mana seseorang ingin bebas untuk pergi ke suatu tempat dalam waktu cepat, tetapi dia menyadari bahwa ada berbagai hambatan yaitu jauhnya jarak menuju lokasi sasaran yang dituju.



Realisasi teknologi
Untuk itu, manusia sebagai entitas yang inovatif juga kerap memunculkan berbagai terobosan yang sifatnya teknologi guna membantu seseorang merealisasikan tujuannya.

Dalam bidang transportasi misalnya, siapa sangka bahwa pada tahun 2018, Andrew Fisher berhasil mengelilingi dunia dengan penerbangan komersial terjadwal, dengan hanya membutuhkan waktu 52 jam 34 menit.

Fisher yang berasal dari Selandia Baru dan bekerja sebagai eksekutif di perusahaan penerbangan Etihad itu menjadwalkan penerbangan dari Shanghai menuju Auckland, kemudian ke Buenos Aires, selanjutnya ke Amsterdam, dan kembali lagi ke Shanghai.

Padahal pada abad ke-18 semasa Rosseau hidup, membutuhkan waktu hingga sekitar enam pekan untuk pergi melintasi Samudera Atlantik dari Eropa hingga Amerika.

Ternyata kecepatan bukanlah solusi atas segala permasalahan, karena dengan menggunakan mobil atau motor saat ini (moda transportasi kendaraan pribadi tercepat saat ini), yang timbul adalah persoalan baru seperti kemacetan.

Kemacetan juga selama ini kerap menjadi momok bagi wilayah DKI Jakarta, sehingga sebenarnya gagasan MRT Jakarta, atau kereta yang tidak melintas sebidang dengan jalan raya konvensional, menjadi kebutuhan.
Trem listrik melintas di jalanan Jakarta, 1 Mei 1947. Pada tahun 1869, Trem sudah muncul di Jakarta alias Batavia. ANTARA FOTO/IPPHOS/pras.

Sebagaimana diketahui, kereta bawah tanah pertama kali muncul di Inggris pada 1860, ketika Pemerintah Kota London berupaya keras mencari solusi kemacetan lalu lintas dengan banyaknya kereta berkuda.

Bahkan pada saat tahap konstruksinya, solusi moda transportasi massal yang inovatif tersebut juga kerap menghadapi hambatan, seperti ada yang memprediksi bahwa atap terowongan di jalur bawah tanah akan runtuh sehingga menimpa para penumpang kereta, atau ada yang menuding bahwa orang akan tersedak karena asap kereta.

Namun, proyek tersebut ternyata berjalan dengan lancar, dan kesuksesan kereta bawah tanah dari tanah Inggris juga ditiru oleh negeri-negeri lainnya, hingga gagasan itu juga akhirnya terwujud di Jakarta dengan kehadiran MRT.

Apalagi, MRT sebagai moda transportasi massal memiliki beragam keuntungan, seperti laman science.jrank.org yang memaparkan bahwa kereta bawah tanah dua jalur dengan lebar sekitar 11 meter dapat membawa sekitar 80.000 penumpang per jam. Sedangkan jalan tol yang memiliki delapan lajur diperkirakan hanya bisa dilintasi sekitar 20.000 orang per jam.
 
Penumpang MRT jurusan Bundaran HI - Lebak Bulus (Foto ANTARA/ Citra Maharani Herman)


Kepuasan pelanggan
Dengan banyaknya manfaat tersebut, tidak heran bila Direktur Utama MRT Jakarta William P Sabandar menyatakan bahwa kepuasan tingkat pengguna moda transportasi massal di wilayah DKI Jakarta tersebut mencapai angka hingga 82,9 persen.

"Tahun kemarin (2019) kita mendapat hasil customer satisfaction 82,9 persen, itu tinggi sekali," kata William Sabandar saat menyampaikan kata sambutan dalam ajang Safety, Health, Environment, Security (SHES) Award PT MRT Jakarta yang digelar di UOB Plaza, Jakarta, Kamis (27/2).

Menurut William, MRT Jakarta tidak akan sampai kepada tahap yang sekarang ini tanpa adanya apresiasi yang luar biasa dari publik kepada MRT.
​​
Dirut MRT Jakarta juga menekankan bahwa pengelolaan MRT harus selalu memperhatikan kepada hal-hal yang terperinci, karena bila terjadi kesalahan dalam hal-hal detil maka juga dapat terimbas kepada hal-hal yang lebih besar.

Dalam hidup pasti akan terjadi kesalahan tetapi hal yang terpenting adalah bagaimana agar kesalahan yang telah dilakukan tersebut dapat diperbaiki kembali dengan baik dan benar.

Selain itu,  MRT juga menjaga aspek keamanan dan keselamatan selalu diperhatikan oleh manajemen PT MRT Jakarta karena semua hal tersebut penting dalam operasionalisasi MRT Jakarta.

Ia juga mengatakan, MRT Jakarta telah mendapatkan sertifikasi ISO terintegrasi dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Sistem Manajemen Lingkungan, dan Sistem Manajemen Mutu.

William menyatakan, pihaknya mendapatkan apresiasi karena MRT Jakarta tetap beroperasi lancar ketika banyak wilayah di ibukota yang tergenang banjir.

"Proses yang kita dapatkan hari ini adalah kontribusi dari awal, bukan hanya dari hari ini saja. Memproteksi MRT Jakarta dari banjir mulai dari proses planning perencanaan," katanya dan menambahkan, begitu pula dengan perencanaan MRT Fase 2 juga akan betul-betul memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan kerja.

Dengan perencanaan yang presisi dan tepat guna, maka bukannya tidak mungkin bila MRT pada akhirnya bakal dapat betul-betul menjadi realisasi nyata guna mewujudkan mimpi Jakarta untuk terbebas dari kemacetan selamanya.
Baca juga: Setahun MRT sebagai keajaiban di Jakarta
Baca juga: Konstruksi MRT Fase II Bundaran HI-Harmoni diteken Senin

 
Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi (tengah) berbincang bersama Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar (kanan) dan Duta Besar Jepang untuk RI Masafumi Ishii (kiri) saat menumpang kereta MRT di Jakarta, Jumat (10/1/2020). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj)

Bukan hanya macet
Sementara itu, pengamat transportasi Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan, kebijakan mereformasi transportasi umum di berbagai daerah sebenarnya bukan hanya mengatasi macet, tetapi banyak manfaat lainnya.

Djoko Setijowarno menyatakan bahwa reformasi transportasi umum selain mengatasi kemacetan lalu lintas juga diharapkan dapat menurunkan tingkat polusi udara, menekan angka kecelakaan lalu lintas, lebih menghemat penggunaan bahan bakar minyak, dan mengurangi gangguan kesehatan.

Djoko yang juga menjabat Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu juga mengemukakan bahwa hal terpenting dalam mereformasi transportasi umum di berbagai kawasan Nusantara adalah mewujudkan layanan transportasi umum yang humanis dan mampu mengubah peradaban bertransportasi di Indonesia.

Prinsip dasar reformasi industri angkutan umum adalah terciptanya institusi pengelola angkutan umum, tarif angkutan umum yang terintegrasi, jaringan angkutan umum yang efisien, kualitas layanan yang andal dan industri angkutan umum yang profesional.

Pertama, masih menurut dia, adalah terciptanya institusi pengelola angkutan umum, yaitu suatu badan atau institusi pemerintah yang berfungsi untuk menjamin fleksibilitas serta mengelola manajemen operasional angkutan umum.

Sedangkan terkait dengan tarif angkutan umum yang terintegrasi, ujar dia, hal itu adalah untuk menciptakan struktur pembayaran yang terintegrasi untuk semua moda, yang akan dapat memberikan kemudahan bagi pengguna melakukan transfer antarmoda serta meningkatkan efisiensi dan ketertarikan dalam menggunakan angkutan umum.

Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa jaringan angkutan umum juga harus lebih efisien, yaitu mengoptimalkan rute pelayanan angkutan umum menjadi lebih mudah, sederhana dan terhubung, sehingga akan menciptakan perjalanan yang efisien, hemat waktu dan biaya yang lebih terjangkau.

"Armada angkutan umum wajib beroperasi dengan memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketepatan waktu dalam beroperasi armada yang layak jalan, serta pramudi yang dibekali oleh pelatihan yang profesional diperlukan untuk menciptakan layanan angkutan umum yang andal," papar Djoko.

Baca juga: Satu tahun MRT Jakarta: Pengalaman, perbandingan, dan harapan
Baca juga: Menilik integrasi dengan kehadiran MRT Jakarta
Baca juga: Stasiun MRT: musik, jajan hingga nongkrong



 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020