TOKYO--(Antara/BUSINESS WIRE)-- Apakah daya saing agribisnis benar-benar meningkat di ASEAN? Jawabannya ya menurut ASEAN-Japan Centre. Pusat ini memberikan solusi atas pertanyaan ini dengan berpartisipasi lebih banyak dalam rantai nilai global (GVC) agribisnis dalam laporannya, "Global Value Chains in ASEAN: Agribusiness" yang dirilis hari ini (https://www.asean.or.jp/en/centre-wide-info/gvc_database_paper15/). 

Untuk melihat rilis pers multimedia selengkapnya, klik di sini: https://www.businesswire.com/news/home/20200324005240/en/

Agribisnis1 memainkan peran penting dalam pengembangan sosio-ekonomi Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), menyumbang rata-rata 12% GDP di ASEAN pada tahun 2018. Agribisnis juga menyediakan pekerjaan dan mata pencaharian bagi 100 juta orang, atau seperenam dari total populasi, dan keluarga mereka di ASEAN.

Ini juga merupakan sumber utama dari pendapatan perdagangan di banyak negara ASEAN. Ekspor nilai tambah ASEAN dalam agribisnis mencapai $102 miliar pada tahun 2015. Saham input asing yang digunakan di ekspor agribisnis ASEAN, atau keterkaitan mundur ke GVC, adalah 20% dari total ekspor bruto ASEAN pada tahun 2015. Saham nilai tambah asing lebih tinggi untuk produk makanan daripada produk pertanian. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang adalah tiga kontributor asing terbesar untuk ekspor agribisnis ASEAN. Jumlah nilai tambah ASEAN yang tergabung dalam ekspor negara-negara lain, juga disebut partisipasi ke depan dalam GVC telah meningkat sejak tahun 1990.

Meningkatkan produktivitas dalam output agrikultural merupakan prioritas kebijakan penting untuk mengatasi keamanan makanan. Di waktu yang sama, beberapa negara, khususnya Kamboja, Laos, dan Myanmar (negara-negara CLM), kekurangan kapasitas pengolahan makanan dan impor makanan olahan volume besar untuk pasar domestik mereka. Pergeseran dari pertanian sederhana ke industri pengolahan bernilai sangat tinggi merupakan prioritas utama di ASEAN.
Berpartisipasi dalam dan meningkatkan agribisnis GVC dapat memberi ASEAN peluang untuk meningkatkan kapasitas produktifnya dengan menggunakan input asing efisien dan teknologi yang didapat melalui operasi investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI) dan mode non-ekuitas (NEM).

Jepang telah menjadi pendukung kuat agribisnis di ASEAN. Ada upaya bersama oleh Pemerintah Jepang dan sektor swasta untuk meningkatkan agribisnis di ASEAN dan mengintegrasikannya ke dalam GVC.

Agar berpartisipasi secara efektif di agribisnis GVC, Pusat mengajukan satu set tiga kelompok rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan produktivitas.

• ASEAN harus bertujuan untuk meningkatkan lingkungan yang memungkinkan untuk mempromosikan perdagangan dan menarik FDI dalam agribisnis, yang mengaitkan produser lokal untuk rantai pasokan global dan memicu transfer teknologi dan produktivitas yang ditingkatkan.
• ASEAN harus meningkatkan kapasitas penyerapan dari produsen lokal, termasuk petani kecil dan SME, agar dapat mewujudkan teknologi yang melimpah.
• Lebih jauh lagi, untuk memastikan kualitas dari FDI dan NEM untuk pengembangan berkelanjutan, ASEAN harus mempromosikan investasi yang bertanggung jawab di pertanian dengan mendukung praktisi internasional, seperti Prinsip Investasi Pertanian yang Bertanggung Jawab.

1 Agribisnis dalam tulisan ini hanya mencakup industri pertanian dan pengolahan makanan karena keterbatasan data. Karenanya, industri-industri lain dari rantai nilai, seperti distribusi, ritel, dan bisnis lainnya (cth. Restoran) tidak termasuk.

Baca versi aslinya di businesswire.com: https://www.businesswire.com/news/home/20200324005240/en/

Kontak
ASEAN-Japan Centre
Tomoko Miyauchi

Sumber : ASEAN-Japan Centre

Pengumuman ini dianggap sah dan berwenang hanya dalam versi bahasa aslinya. Terjemahan-terjemahan disediakan hanya sebagai alat bantu, dan harus dengan penunjukan ke bahasa asli teksnya, yang adalah satu-satunya versi yang dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan hukum.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2020