Jakarta (ANTARA) - Persediaan stok dari sejumlah komoditas pangan dinilai masih dalam kondisi yang aman sehingga masyarakat juga diharapkan tidak melakukan panic buying atau pembelian berbagai barang kebutuhan dalam jumlah yang berlebihan.

"Berdasarkan informasi dari pihak Bulog, persediaan bahan pangan terutama beras, itu aman. Sehingga masyarakat tidak perlu panic buying dalam menghadapi virus Corona ini," kata Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet, dalam rilis, Kamis.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu juga telah melakukan pemantauan seperti ke Kompleks Pergudangan Bulog di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Slamet mengemukakan agar pemerintah Indonesia dapat benar-benar menjaga ketersediaan bahan pangan secara nasional selama pandemi ini masih berlangsung.

Baca juga: PD Pasar Jaya: Stok pangan di Jakarta masih aman

Apalagi, lanjutnya, pada saat ini akan dihadapi sejumlah opsi seperti lockdown atau karantina wilayah, yang berpotensi menimbulkan lonjakan harga pangan.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan harus sudah melakukan kajian guna mengetahui berapa kebutuhan pangan yang dibutuhkan setiap daerah dadan bagaimana cara terbaik dalam mendistribusikannya bila kondisi lockdown ternyata diberlakukan.

Sebelumnya, konsultan jasa finansial Grant Thornton mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan panic buying atau pembelian berlebihan terkait dengan fenomena COVID-19 karena dapat merugikan beragam aspek perekonomian.

"Fenomena panic buying ini dapat menimbulkan kerugian secara keuangan tidak hanya secara personal namun juga secara luas, kami menyarankan untuk menahan diri dan membeli barang dalam jumlah sewajarnya, kita semua berharap virus Corona dapat ditangani dengan baik di Indonesia," kata Audit & Assurance Partner Grant Thornton Indonesia Alexander Adrianto Tjahyadi.

Baca juga: Mentan sidak ke Pasar Induk Cipinang, pastikan stok pangan aman

Ia menjabarkan setidaknya ada tiga kerugian dari panic buying, yang pertama adalah meningkatkan inflasi, karena aktivitas pembelian berlebihan akan memicu kelangkaan berbagai produk dan berdampak pada kenaikan harga barang tersebut.

Ia juga mengingatkan bahwa aksi panic buying yang hanya beberapa bulan sebelum Idul Fitri akan menyebabkan kenaikan inflasi yang lebih awal dan lebih lama.

"Saat kita merasa terancam, secara psikologis dapat berakibat pada berkurangnya proses berpikir rasional dan lebih mudah terpengaruh dengan pola pikir kelompok," paparnya.

Kerugian kedua adalah punic buying akan berdampak pada keuangan rumah tangga, karena pembelian impulsif bisa saja menyedot dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan reguler penting lainnya seperti uang sekolah anak atau cicilan rumah.

Belum lagi, lanjutnya, jika pembelian dilakukan menggunakan fasilitas kredit seperti misalnya kartu kredit, terjadi beban hutang konsumsi yang terlalu prematur dan tidak pada tempatnya, padahal dalam perencanaan keuangan rumah tangga, beban hutang konsumsi ini perlu dikendalikan.

Sedangkan kerugian ketiga adalah pemborosan karena bisa saja aktivitas pembelian itu untuk barang yang masa kedaluwarsanya ternyata tidak bisa disimpan terlalu lama atau rusak bila kelamaan tersimpan. "Melihat potensi kerugian yang akan diakibatkan tentu akan lebih bijak untuk menahan diri dan bersikap sewajarnya," ucapnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020