Mataram (ANTARA News) - Tiga orang jaksa senior tengah menelusuri harta kekayaan mantan Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Nusa Tenggara Barat (NTB), dr Baiq Magdalena, yang divonis enam tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta serta membayar biaya pengganti sebesar Rp3,5 miliar sesuai nilai kerugian negara.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Barat (NTB), H.M. Amari, di Mataram, Selasa, mengatakan, penelusuran harta kekayaan terdakwa Baiq Magdalena itu perlu dilakukan karena harta kekayaannya sebagaimana tertuang dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tidak mencukupi.

"Dalam LHKPN yang diperoleh dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), harta kekayaan Magdalena tidak mencukupi nilai denda Rp200 juta dan biaya pengganti Rp3,5 miliar itu," ujarnya.

Amari mengakui, untuk memperkuat aksi penelusuran harta kekayaan terdakwa Magdalena itu, tiga jaksa senior Kejati NTB dibekali surat perintah tugas (sprint) yang ditandatanganinya pada Jumat (18/4) pekan lalu.

Srpint Kajati NTB Nomor 88 Tahun 2009 itu menugaskan tiga jaksa senior di jajaran Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB untuk berkoordinasi dengan para pihak guna menelusuri harta kekayaan Magdalena.

Perintah tugas itu dilatari informasi masyarakat yang menyatakan terdakwa Magdalena memiliki harta kekayaan lain yang tidak tercantum dalam LHKPN yang ada di KPK.

"Tiga jaksa senior akan bekerja keras dan jika menemukan harta kekayaan diluar LHKPN itu dapat segera meminta pihak berwenang untuk memblokir harta kekayaan itu demi kepentingan hukum," ujarnya.

Amari mengimbau semua pihak yang merasa mengetahui keberadaan harta kekayaan terdakwa Magdalena agar menginformasikan kepada pihak kejaksaan sebagai bagian dari upaya mendukung penegakkan supremasi hukum.

Menurut dia, pihak kejaksaan berwenang untuk menyita harta kekayaan seseorang meskipun harta itu tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang terjadi.

Hak eksekutor itu dapat dilakukan aparat kejaksaan bersama-sama dengan pejabat institusi terkait seperti kantor lelang negara dan institusi terkait lainnya.

"Kalau harta kekayaan yang akan disita itu berbentuk tanah maka akan dikoordinasikan dengan pihak BPN (Badan Pertahanan Nasional), kalau deposito atau tabungan dengan pihak bank yang bersangkutan," ujarnya.

Amari pun mengakui, jika nanti putusan atas perkara korupsi (gratifikasi) yang melibatkan Magdalena itu telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah) maka upaya penelusuran harta kekayaannya itu bermanfaat.

Kini, perkara korupsi itu sedang dalam penanganan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) NTB karena saat majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram memvonis perkara itu, tanggal 19 Maret lalu, terdakwa Magdalena langsung mengajukan banding.

"Meskipun dalam proses banding, kejaksaan perlu menelusuri harta kekayaannya agar tidak ada alasan bagi terdakwa untuk tidak mengembalikan kerugian negara karena memilih hukuman badan sesuai putusan subsidier dalam vonis majelis hakim," ujarnya.

Saat itu, Majelis hakim PN Mataram memvonis enam tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta subsidier dua bulan kurungan serta mengharuskan biaya pengganti sebesar Rp3,5 miliar sesuai nilai kerugian negara dalam perkara tersebut, subsidier 2,4 tahun penjara.

Hal itu berarti jika tidak sanggup membayar denda maka hukuman badan ditambah dua bulan penjara dan jika tidak sanggup mengganti kerugian negara maka hukumannya ditambah 2,4 tahun lagi.

Dari sejumlah pertimbangan, Magdalena divonis melanggar pasal 12 huruf b junto pasal 18 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, terdakwa Magdalena langsung mengajukan banding dan menandatangani akte permohonan banding saat itu juga karena merasa tidak menerima hadiah uang sebanyak Rp3,5 miliar dari rekanan proyek pengadaan alat kesehatan dan non kesehatan RS/RSU se-Provinsi NTB tahun 2005 dengan nilai Rp24,59 miliar lebih itu.

Meskipun, pemberi hadiah yakni Ahmad Dahlan (Direktur PT Andiarta Matra Utama) yang juga terdakwa dalam berkas terpisah, mengakui perbuatannya hingga divonis 1,5 tahun (18 bulan) penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsidier dua bulan kurungan, pada tanggal 20 Maret 2009.

Ahmad Dahlan divonis terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersama-sama dengan Baiq Magdalena (terdakwa dalam berkas perkara terpisah) melakukan perbuatan tindak pidana gratifikasi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp3,5 miliar.

Dahlan dijerat pasal 5 ayat 1 huruf b Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, namun tidak mengajukan banding.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009