Indonesia ikut mendukung langkah-langkah perusahaan yang memproduksi alat kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Negara-negara yang tergabung dalam G20 baru melakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa pada Kamis (26/3) untuk membahas penanganan COVID-19.

Fokus untuk mengoordinasikan tindakan atas wabah ini menjadi penting, karena infeksi di seluruh dunia telah melebihi 470.000 kasus dengan lebih dari 21.000 orang meninggal dunia.

Sebanyak 20 negara anggota G20, tujuh negara undangan, sembilan organisasi internasional, dan dua organisasi regional mengikuti KTT yang berlangsung secara virtual ini.

Pertemuan itu tidak hanya membahas penanganan krisis pandemi, tetapi juga dampak ekonomi dan sosial yang berpengaruh pada global supply-chain.

Sebagai salah satu negara G20, Indonesia juga menyuarakan sikap dan menyampaikan keprihatinan terkait kondisi global yang saat ini dilanda ketidakpastian.

Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak para pemimpin negara-negara anggota G20 untuk memerangi pandemi virus Corona jenis baru (COVID-19) dan memulihkan perlambatan ekonomi global.

Menurut Presiden, negara-negara anggota G20 harus mendorong solidaritas dunia dan perlu menginisiasi upaya agar pandemi ini tidak mengganggu kemitraan dan kerja sama antarnegara yang telah dibangun bertahun-tahun.

"Untuk itu, G20 harus aktif memimpin upaya menemukan anti-virus dan obat COVID-19, tentunya bersama WHO (Badan PBB untuk kesehatan dunia)," kata Jokowi.

Presiden juga mendorong negara-negara G20 untuk mensinergikan kebijakan serta instrumen ekonomi untuk melawan keterpurukan ekonomi dunia, yang diakibatkan COVID-19.

"Kita harus mencegah resesi ekonomi global, melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi, serta memperluas dan memperkuat jaring pengaman sosial terutama bagi UMKM," ujar Jokowi.

Lebih lanjut, Presiden juga mendorong G20 untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, termasuk menjaga ketersediaan likuiditas, dan memberikan relaksasi dbagi dunia usaha yang terpukul karena pandemi COVID-19.

Jokowi ikut menyampaikan pentingnya bagi negara anggota G20 untuk mencegah disrupsi produksi, dan menjaga kelancaran distribusi barang, terutama bahan pangan dan alat kesehatan.

Pada akhir pernyataan, Kepala Negara yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan perlunya G20 untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa dunia mampu memenangkan perang dan melewati krisis ini.

Selamatkan nyawa

Seusai pertemuan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan fokus G20 saat ini adalah menyelamatkan nyawa manusia sebanyak-banyaknya karena pandemi ini merupakan krisis kemanusiaan.

Oleh karena itu, para pemimpin negara dan pemerintahan anggota G20 sepakat akan meningkatkan produksi alat-alat kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi penyebaran COVID-19.

Peningkatan suplai ini sangat mendesak karena negara-negara yang terdampak parah seperti Italia, AS, Inggris dan Indonesia mengalami kekurangan test kit, alat pelindung diri maupun ventilator.

Untuk itu, lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia juga akan memberikan dukungan agar produksi alat kesehatan di seluruh dunia dapat ditingkatkan.

"Indonesia ikut mendukung langkah-langkah perusahaan yang memproduksi alat kesehatan. Kita akan identifikasi perusahaan-perusahaan, kebutuhan bahan baku dan bagaimana mereka dapat meningkatkan produksi," ujarnya.

Dari sisi ekonomi, forum tersebut juga memastikan adanya pemberian fasilitas bantuan bagi negara-negara berkembang dan pendapatan rendah yang mengalami tekanan likuiditas dan nilai tukar akibat COVID-19.

Inisiasi itu muncul karena banyak negara yang mengalami masalah pelarian arus modal karena sentimen negatif di pasar keuangan.

"Ini menjadi terobosan untuk mencegah negara-negara yang tadinya tidak menghadapi masalah, sekarang akan menghadapi masalah foreign exchange dan likuiditas," kata Sri Mulyani.

Selain itu, komitmen penguatan sinergi untuk memerangi perlemahan ekonomi dunia dan potensi resesi melalui sinergi moneter dan fiskal menjadi hal yang harus dilakukan.

Koordinasi ini untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi global yang menurut perkiraan IMF akan tumbuh negatif pada 2020.

"Negatif sudah pasti 2020. Masalahnya seberapa dalam, dan seberapa lama ini tergantung kemampuan masing-masing negara," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Ia menambahkan negara-negara G20 juga akan menggelontorkan dana senilai lima triliun dolar AS untuk mengatasi dampak sosial, ekonomi dan finansial dari pandemi COVID-19.

Di dalam negeri, pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan telah merumuskan sejumlah relaksasi kebijakan melalui instrumen fiskal maupun moneter.

Dalam jangka pendek, pemerintah akan mengeluarkan paket stimulus ketiga yang fokus kepada penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial dan pengurangan tekanan kepada pelaku usaha.

Pemerintah juga sedang mempertimbangkan adanya karantina wilayah untuk membatasi pergerakan manusia, apabila keadaan benar-benar mendesak.

Penanganan menyeluruh

Meski seluruh dunia sudah mulai sigap dengan ancaman COVID-19, namun dampak penanganan tidak akan terlihat dalam waktu cepat.

Perlambatan ekonomi dapat menjadi suatu hal yang tidak terhindarkan dan resesi di era modern bisa menjadi hal yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Dalam publikasi berjudul "A Greater Deprresion?", ekonom Nouriel Roubini mengingatkan bahwa kondisi saat ini bisa mengulangi terjadinya resesi hebat di tahun 1930-an.

Menurut dia, situasi bisa sedikit membaik apabila pengobatan yang memadai termasuk anti virus maupun vaksin bisa ditemukan dalam waktu singkat.

Untuk memperbaiki kinerja ekonomi, kebijakan itu perlu didukung oleh sinergi relaksasi fiskal berupa bantuan sosial tunai maupun operasi moneter seperti suku bunga nol persen atau quantitative easing.

Namun, apabila semua penanganan tidak berjalan lancar, kinerja ekonomi diperkirakan akan terus jatuh seiring dengan tingginya ketidakpastian global.

"Meski pandemi ini berakhir, pertumbuhan secara keseluruhan belum tentu akan membaik di akhir 2020," kata Roubini yang pernah memprediksi terjadinya krisis finansial di 2008.

Ekonom senior lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menambahkan pemerintah harus dapat membangun solidaritas dalam mengatasi pandemi COVID-19.

Salah satu upaya memperkuat solidaritas tersebut adalah mendorong masyarakat untuk disiplin agar tetap berada di dalam rumah.

"Sensitivitas masyarakat dan solidaritas tinggi menjadi modal penting menangani COVID-19, karena jumlah dokter dan APD (alat pelindung diri) kita terbatas," ujar Faisal Basri.

Faisal juga menilai bahwa penanganan wabah COVID-19 dan antisipasi terhadap kesehatan menjadi hal utama yang harus menjadi prioritas pemerintah.

Menurut dia, keberhasilan pemerintah dalam menangani wabah ini dapat menjadi citra positif bagi pelaku pasar keuangan, meski ketidakpastian belum sepenuhnya usai.

"Investor dan pasar akan bereaksi positif jika pemerintah dinilai mampu menghadapi tantangan saat ini, yakni COVID-19," ujar Faisal Basri.

Maka itu, lanjut dia, pemerintah harus dapat membangun kepercayaan investor karena hal itu menjadi modal untuk menjaga stabilitas pasar keuangan di dalam negeri.

Tidak hanya kepercayaan investor asing, kepercayaan investor lokal juga harus dibangun agar pasar keuangan nasional menjadi seimbang.

Meski demikian, selama antivirus atau pengobatan yang lebih efektif belum ditemukan, hari-hari ke depan bakal semakin berat dan upaya pemulihan ekonomi bagai menggarami lautan.



Baca juga: Negara anggota G20 sepakat akan tingkatkan suplai alat kesehatan
Baca juga: Presiden Jokowi ajak G20 "perangi" COVID-19 dan perlambatan ekonomi
Baca juga: RI rekomendasikan lima konsep tangani COVID-19 di KTT Luar Biasa G20

 

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020