Jakarta (ANTARA) - Di tengah pandemi virus corona jenis baru penyebab COVID-19 yang menyerang sejumlah negara tak terkecuali Indonesia, gerak orang mulai dibatasi untuk mencegah penyebaran virus. Masalah itu bagi kalangan berada mungkin masih dapat diatasi sebab mereka memiliki cadangan makanan, simpanan uang serta fasilitas yang memadai di rumah masing-masing.

Namun, pertanyaannya ialah bagaimana nasib orang-orang yang hidup dengan serba keterbatasan di saat keadaan semakin genting? Jangankan dalam situasi sebagaimana dirasakan hari ini, pada situasi normal saja mereka mesti bercucuran keringat dan membanting tulang mencari nafkah agar dapur mereka tetap berasap.

Sebut saja kaum marginal atau masyarakat ekonomi lemah yang mengandalkan sambungan hidup dari penghasilan per hari. Jumlah pendapatan mereka tak dapat diukur dengan nominal tertentu atau sebut saja tidak menentu.

Ada yang bekerja sebagai pemulung, buruh kasar, pengemudi ojek, pedagang kaki lima dan sebagainya. Mereka sehari-hari bertarung melawan kerasnya ibu kota.

Di saat wabah pandemi COVID-19 sedang berkecamuk, mereka terpaksa beraktivitas di luar rumah seperti biasa. Bukannya mereka tidak takut terinfeksi virus yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tersebut, hanya saja mereka tak punya pilihan selain bertaruh nyawa demi sesuap nasi.

Pemerintah Indonesia di bawah komando Presiden Joko Widodo telah mengumumkan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Pernyataan Presiden merujuk pada Undang-Undang (UU) nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Berpatokan pada UU tersebut, tepatnya pada pasal 59 ayat 1 mengatakan bahwa pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respon kedaruratan kesehatan masyarakat.

Pembatasan sosial berskala besar juga bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

Cakupan dalam UU itu meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat umum. Selain itu, dalam implementasinya yang lebih ketat melibatkan aparat penegak hukum jika diperlukan.

Sosiolog sekaligus dosen dari Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasodjo mengatakan pemerintah perlu memerhatikan beberapa hal sebelum memberlakukan karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar.

Pertama ialah ketersediaan anggaran dan kedua pasokan logistik. Dua hal itu jelas harus dipersiapkan bagi kaum marginal yang betul-betul membutuhkan bantuan saat mobilitas atau interaksi sosial dibatasi.

Menurut sosiolog kelahiran Purwokerto 60 tahun silam itu, jika kedua hal tersebut telah disiapkan secara matang oleh pemerintah, maka kebijakan terkait pembatasan wilayah skala besar atau karantina wilayah tidak akan menjadi masalah besar jika diterapkan. Sebab, keberadaan kaum marginal atau masyarakat ekonomi lemah telah terselamatkan di tengah pandemi COVID-19.

"Itu fokusnya, masalah di lockdown atau karantina wilayah dan sebagainya, selagi itu semua diberesin tidak akan menimbulkan letupan seperti yang terjadi di India," kata dia.

Baca juga: KBRI Vientiane jamin persediaan logistik WNI cukup selama karantina

Baca juga: Laos karantina wilayah, KBRI Vientiane bentuk satgas COVID-19

 
Sosiolog sekaligus dosen di Universitas Indonesia Imam B Prasodjo. (ANTARA/Humas BNPB)


Ia mengkhawatirkan apabila pemerintah tidak memerhatikan ketersediaan anggaran dan pasokan logistik, maka gejolak sosial sebagaimana terjadi di sejumlah negara misalnya India dapat pula terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, pernyataan pembatasan sosial skala besar saja tidak cukup apabila kaum marginal tidak diselamatkan lebih dahulu.

Sebagai gambaran, mereka "dipaksa" untuk berdiam diri di rumah dan tidak boleh mencari nafkah apalagi berkeluyuran bebas, namun pada saat bersamaan logistik dan kebutuhan pokok mereka tidak diberikan. Hal ini tentunya dapat berdampak munculnya masalah baru di antaranya kriminalitas, penjarahan pusat perbelanjaan dan lainnya.

"Solusinya ialah kalau mau diketatkan orang tidak boleh bergerak, ya, diberi makan. Kalau itu tidak dilakukan secara cepat, ya, jangan Anda bicara masalah lockdown," katanya.

Baca juga: Tidak ada WNI terpapar corona di Vietnam meski sempat jalani karantina

Baca juga: Australia batasi pembelian minuman beralkohol saat karantina corona



Antisipasi karantina wilayah

Terkait rencana penerapan pembatasan sosial skala besar atau karantina wilayah, analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga mengingatkan hal yang sama apabila langkah itu diterapkan.

"Ini harus diantisipasi mengenai efek domino dari karantina wilayah," kata dia.

Efek domino yang bisa terjadi di antaranya muncul penjarahan pusat perbelanjaan. Belum lagi tingkat kriminalitas di berbagai aspek juga diperkirakan dapat melonjak. Hal tersebut dapat terjadi apabila masyarakat kelaparan disebabkan pasokan logistik yang tidak terpenuhi.

Sebagai contoh, ujar dia, situasi sebagaimana dimaksud terjadi di beberapa negara baik itu Italia, Spanyol, Meksiko maupun India. Oleh karena itu, Indonesia diminta mewaspadai kondisi tersebut sebelum terjadi.

"Itu salah satu dampak buruknya. Itu namanya efek domino," kata pengajar di Universitas Trisakti tersebut.

Sebenarnya gambaran kecil dari efek domino itu sempat muncul di Indonesia. Yakni terjadi usai Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan kasus Warga Negara Indonesia (WNI) positif virus corona. Dapat dilihat bersama, kata dia, bahwa setelah pengumuman itu, ada kelompok masyarakat yang berbondong-bondong memborong logistik serta obat-obatan karena panik.

Di sisi lain, ia juga menyarankan agar pemerintah mengkaji atau menyiapkan program jangka menengah apabila karantina wilayah diberlakukan. Termasuk pula di dalamnya terkait ketersediaan alat-alat kesehatan, obat-obatan, rumah sakit, tenaga medis dan sebagainya.

Baca juga: Cerita WNI terdampak "lockdown" di Eropa

Baca juga: "Lockdown" dan upaya sejenis akan percuma tanpa deteksi dan karantina



Langkah pemerintah

Melihat situasi dan kondisi di Tanah Air yang belum kunjung reda akibat bencana nonalam ini, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan beberapa kebijakan untuk mengantisipasi dampak COVID-19. Di Istana Kepresidenan, Bogor Presiden Jokowi memaparkan enam program jaring pengaman sosial.

Pertama, jumlah Program Keluarga Harapan (PKH) yang awalnya hanya 9,2 juta dinaikkan pemerintah menjadi 10 juta penerima manfaat. Besaran manfaat juga dinaikkan 25 persen, misalnya ibu hamil naik dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp3 juta per tahun, disabilitas Rp2,4 juta per tahun dan kebijakan ini efektif April 2020.

Program kedua yaitu terkait kartu sembako, dimana jumlah penerimanya juga akan dinaikkan menjadi 20 juta penerima manfaat termasuk nilainya naik menjadi 30 persen dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu dan diberikan selama sembilan bulan. Ketiga, kartu prakerja yang anggarannya dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun.

"Jumlah penerima manfaat menjadi 5,6 juta orang, terutama ini untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak COVID-19 dan nilai manfaatnya adalah Rp650 ribu sampai Rp1 juta per bulan selama empat bulan ke depan," katanya.

Tidak hanya sampai di situ, Gubernur DKI Jakarta sejak 15 Oktober 2012 hingga 16 Oktober 2014 itu mengatakan pemerintah juga akan menggratiskan pelanggan PLN 450 Va yang berjumlah 24 juta untuk tiga bulan ke depan yaitu April, Mei dan Juni 2020. Sementara untuk pelanggan 900 Va yang jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan akan didiskon 50 persen atau membayar separuh saja untuk periode yang sama.

Kelima, untuk mengantisipasi kebutuhan pokok, pemerintah mencadangkan Rp25 triliun untuk operasi pasar dan logistik. Keenam, keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal, baik ojek online, sopir taksi, UMKM, nelayan, dengan penghasilan harian dan kredit di bawah Rp10 miliar.

"OJK telah menerbitkan aturan mengenai hal tersebut dan mulai berlaku April ini. Telah ditetapkan tidak perlu datang ke bank atau perusahaan leasing, cukup melalui email atau media komunikasi digital, seperti WA, saya rasa itu," katanya.*

Baca juga: Anggota DPR: Keppres karantina terbit, tak perlu debat soal lockdown

Baca juga: Bupati Mamberamo Tengah tutup akses keluar masuk untuk cegah corona

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020