Jakarta (ANTARA News) - Setelah menandatangi Konvensi Stockholm pada 2001, tentang penghapusan dan pengurangan polutan (bahan yang mengakibatkan polusi), organik yang persisten (POPs) pemerintah Indonesia berupaya melindungi anak-anak dari bahaya polutan organik tersebut.

Hasil konvensi yang menyepakati penghapusan dan pengurangan polutan organik yang persisten, pemerintah Indonesia mulai 6 Mei 2009 menyetujui ratifikasi konvensi internasional itu, kata Koordinator Indonesia Toxics-Free Network, Yuyun Ismawati, yang disampaikan melalui rilis yang diterima, Jumat.

Legislatif telah menyetujui ratifikasi konvensi itu dan dokumen utamanya ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar dan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda.

Momen ini awal janji dan komitmen semua pihak terutama pemerintah untuk memenuhi janji melindungi kesehatan masyarakat terutama anak-anak dari bahaya POPs dan untuk menjamin generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Sementara itu Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir mengatakan, polutan organik persisten ini masuk ke tubuh manusia melalui berbagai media yakni makanan, udara dan air.

POPs pertama kali dipaparkan kepada anak-anak melalui ibunya saat dalam kandungan dan melalui Air susu ibu (ASI), sehingga kesehatan anak dan ibu sangat rentan terhadap polutan yang bersifat karsinogenik.

Secara teori POPs terdiri atas sembilan pestisida yakni aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin, heptachlor, hexachlorobenzene, mirex dan toxaphene dan satu dari POPs pestisida yaitu endusulfan telah dilarang di Indonesia sejak 2007.

Diratifikasi dan disusunnya dokumen rencana implementasi nasional penghapusan dan pengurangan POPs, para pemangku kepentingan di Indonesia harus benar-benar serius melakukan upaya nyata yang terkoordinasi.

Selain itu YLKI bersama lembaga swadaya kesehatan lainnya mendesak pemerintah Indonesia untuk membentuk Komite Nasional Bahan Berbahaya Beracun (B3) sebagaimana telah dimandatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2001.

Untuk merealisasikannya konvensi tersebut negara-negara berkembang dalam transisi ekonomi dapat mengajukan bantuan keuangan dari Global Environmental Facility (GEF) dan saat ini sebagaian besar negara di dunia ini sedang mengembangkan implementasi konvensi ini dengan merekomendasikan pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009