Salah satu protokol kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah ketersediaan dan pemakaian APD yang benar.
Jakarta (ANTARA) - PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat ada 19 orang dokter anggota IDI yang meninggal karena penyakit infeksi virus corona baru alias COVID-19 dan sejumlah lainnya terdeteksi positif terpapar virus berbahaya itu.

Pada awal penanganan pasien ketika kasus COVID-19 di Indonesia mulai melonjak, sebagian tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat kesulitan mendapatkan alat pelindung diri (APD) sehingga ada yang berimprovisasi menggunakan jas hujan plastik sebagai pengganti APD.

Kondisi tersebut memang terlihat amat miris ketika para petugas kesehatan yang berjuang melawan COVID-19 di garda terdepan namun dengan perlindungan yang alakadarnya.

Keadaan itu membuat pemerintah bergerak cepat untuk membeli dan mendistribusikan APD, termasuk masyarakat khususnya UMKM bidang tekstil secara berbondong-bondong membuat baju hazmat untuk diberikan kepada tenaga kesehatan.

Para petugas kesehatan memang kelompok yang sangat rentan terinfeksi COVID-19 karena berada di garda depan penanganan kasus. Kontak erat dengan orang yang diduga atau terkonfirmasi positif COVID-19 membuatnya memiliki risiko tinggi terinfeksi virus bila penanganan yang dilakukan tidak sesuai standar.

Salah satu protokol kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah ketersediaan dan pemakaian APD yang benar.

Sekretaris Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Ade Arianti Anaya salah satu faktor yang berkaitan dengan tingginya angka kematian tenaga medis di Indonesia yaitu minimnya ketersediaan dan pemakaian APD.

Baca juga: MPR: pemerintah tindak penjual APD harga tinggi

Dia mengatakan ada hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh para tenaga medis dalam pemakaian dan kelengkapan APD. Protokol kesehatan terkait penggunaan APD yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan terbagi menjadi tiga kategori pelayanan.

Tenaga kesehatan tingkat satu seperti dokter, perawat, apoteker yang memberikan pelayanan kesehatan di praktik umum atau rawat jalan direkomendasikan untuk memakai baju kerja, sarung tangan, dan masker bedah tiga lapis.
Sejumlah tenagah pelatihan penjahit saat proses produksi masker dan APD tenaga medis di Balai Latihan Kerja (BLK) Teras Kabupaten Boyolali, Selasa (7/4/2020). (ANTARA/Bambang Dwi Marwoto)


Tenaga kesehatan tingkat dua yaitu dokter, perawat, serta analis yang bertugas di ruang perawatan, pengambilan sampel, atau laboratorium pengujian virus. Tenaga kesehatan kategori ini harus memakai APD berupa gown (baju bedah), penutup kepala, sarung tangan karet sekali pakai, masker bedah tiga lapis, dan kaca mata google atau pelindung mata.

Selanjutnya tenaga kesehatan tingkat tiga adalah yang berisiko tinggi yaitu para dokter dan perawat yang kontak langsung dengan pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi positif COVID-19. Tenaga kesehatan tingkat tiga wajib menggunakan baju hazmat atau coverall yang menutupi seluruh bagian tubuh, penutup kepala, sarung tangan bedah steril, masker N95, sepatu boots, dan kaca pelindung muka.

Baju hazmat atau coverall haruslah terbuat dari bahan non-anyaman, antiair, dan tidak bisa ditumbuhi oleh bakteri. Coverall memberikan perlindungan 360 derajat untuk menutupi seluruh tubuh, termasuk punggung dan tungkai bawah.

Untuk N95 yang dipakai untuk tenaga kesehatan dengan kontak erat pasien positif COVID-19 harus terpasang dengan ketat mengikuti lekuk wajah. Masker N95 bisa melindungi tenaga kesehatan dari percikan air atau droplet yang mengandung virus dan juga virus yang berada di udara.

Baca juga: Lawan COVID-19, lapas dan rutan produksi APD

Sementara untuk masker bedah yang direkomendasikan adalah masker dengan tiga lapisan. Lapisan paling luar masker berbahan tanpa anyaman yang kedap air, lapisan dalam atau tengah merupakan penyaring dengan densitas tinggi, dan bagian dalamnya yang bersentuhan dengan kulit berfungsi sebagai penyerap cairan ketika batuk atau bersin. Masker bedah juga direkomendasikan untuk masyarakat yang menunjukkan gejala-gejala flu, batuk, bersin, hidung berair, demam, nyeri tenggorokan.

Google atau pelindung mata juga harus digunakan oleh tenaga medis. Pelindung mata harus menutup kulit wajah dengan baik, bingkai pelindung fleksibel menyesuaikan kontur wajah, tahan uap dan goresan. Selain google, ada pula yang menggunakan 'safety glass' atau kaca mata pelindung. Namun kaca mata pelindung tidak menutupi bagian kulit wajah sehingga direkomendasikan untuk menggunakan 'screen protector' atau pelindung wajah untuk lapisan kedua.

Ade menyebut Kementerian Kesehatan telah memperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar delapan juta APD untuk penanganan kasus COVID-19 hingga Juni 2020 dengan jumlah kasus lebih dari 20 ribu.

Dia mengapresiasi banyaknya industri UMKM yang turut membantu dengan membuat APD coverall atau baju hazmat untuk tenaga kesehatan. Namun yang harus diperhatikan adalah kesesuaian bahan dan bentuk yang harus sesuai standar keamanan dan keselamatan tenaga medis.

Selain itu juga, banyaknya donasi APD dari masyarakat bagi tenaga kesehatan harus benar-benar diperiksa apakah bahan baku dan kelengkapannya sudah sesuai standar yang menjamin keamanan dan keselamatan para tenaga medis.
Tim Penanganan COVID-19 Provinsi Kalimantan Tengah menggunakan alat pelindung diri (APD) mengevakuasi pria paruhbaya yang ditemukan tewas di depan Unit ATM BRI Jalan Seth Adji Kota Palangka Raya, Rabu (8/4/2020). ANTARA/HO_Dukumentasi Pribadi


Baca juga: Mendagri ungkap kekurangan alat kesehatan di daerah

Peningkatan produksi APD

Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene mengatakan pemerintah telah menyederhanakan prosedur pengadaan alat kesehatan dan alat pelindung diri (APD) baik itu produksi dalam negeri maupun impor dari negara lain.

Kementerian Kesehatan membuat sistem prosedur sertifikasi, produksi, distribusi, dan izin edar alat kesehatan sudah dilakukan dalam tujuh hari seminggu dan 24 jam sehari sehingga para pelaku usaha lebih mudah dalam memproduksi alat-alat kesehatan. Kemenkes telah membuat layanan satu pintu untuk proses sertifikasi, produksi, distribusi, dan izin edar alat kesehatan yang bahkan bisa diterbitkan dalam satu hari.

Menkes Terawan Agus Putranto mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemasukan Alat Kesehatan Melalui Mekanisme Jalur Khusus dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 218 Tahun 2020 menyatakan bahwa alat kesehatan impor tidak memerlukan lagi izin edar.

Ketentuan tersebut berlaku untuk impor alat kesehatan termasuk alat tes cepat dan juga APD dengan tujuan percepatan penanganan COVID-19 di Indonesia. Impor alat kesehatan donasi dan komersial hanya perlu rekomendasi dari Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sekaligus Kepala BNPB Doni Monardo.

Namun yang menjadi tantangan dalam hal impor adalah seluruh negara di dunia sedang membutuhkan APD dengan permintaan yang tinggi. Dia mencontohkan masker bedah tiga lapisan yang bisa diproduksi di Indonesia namun terkendala bahan baku filter atau penyaring masker yang tergantung impor dari China. China sempat menyetop ekspor bahan baku penyaring masker tersebut ke negara lain pada saat terjadi wabah COVID-19 yang memuncak pada Januari hingga awal Maret lalu.

Sebenarnya industri alat kesehatan dalam negeri bisa meningkatkan produksi APD seperti baju hazmat atau coverall yang digunakan dalam merawat pasien COVID-19.

Baca juga: Menteri PUPR usul relaksasi PPh agar pekerja padat karya bisa beli APD

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H Teguh mengatakan industri alkes bisa meningkatkan produksi alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan asalkan mendapatkan bantuan dari industri tekstil.

"Lakukan kerja sama dengan produsen tekstil nonalkes dengan industri alat kesehatan. Kami sangat bersedia memberikan arahan, bimbingan, bahkan mereka bisa menjadi peningkatan kapasitas produksi coverall kami di mana memang ciri khas produsen alat kesehatan adalah padat karya," kata Randy.

Dia meyakini peningkatan produksi APD seperti coverall atau baju hazmat yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan tenaga medis dapat ditingkatkan melalui kerja sama industri alat kesehatan dengan industri tekstil nonalkes. Industri alkes bisa mengirimkan bahan dan pola yang sesuai standar keselamatan dan keamanan yang kemudian para penjahit di industri tekstil membuatnya. Selanjutnya APD hasil jahitan tersebut bisa dikirimkan kembali ke industri alkes untuk dilakukan sterilisasi dan pelipatan sesuai standar.

Oleh karena itu pelaku usaha industri alat kesehatan meminta pemerintah untuk memfasilitasi kerja sama dengan industri tekstil nonalkes untuk secara cepat meningkatkan produksi APD dalam negeri. Randy menyebut Gakeslab memiliki 500 anggota pelaku industri alat kesehatan di seluruh Indonesia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprioritaskan perlindungan terhadap virus COVID-19 yang paling pertama adalah tenaga kesehatan.

"Ketika tenaga kesehatan terpapar dan menjadi sakit, mereka harus pulang dan diam di rumah setidaknya dalam dua minggu. Rumah sakit akan kesulitan untuk mencari penggantinya. Itulah mengapa kita harus memastikan petugas kesehatan harus mempunyai masker medis dan APD yang mereka butuhkan," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Baca juga: Kapolri terbitkan surat telegram atasi persoalan alkes
 

Usaha konfeksi beralih produksi APD dan masker 

Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020