...saat ini belum ada uji klinis yang menunjukkan efektivitas terapi CP untuk penanganan COVID-19.
Jakarta (ANTARA) - Amerika Serikat, sama dengan banyak negara di dunia termasuk Indonesia, sedang berjuang keras menekan penyebaran virus corona tipe baru dan menyembuhkan pasien terpapar Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19.

Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 333.811 orang di Amerika Serikat (AS) terinfeksi dan terdapat 26.493 kasus baru COVID-19 pada Selasa (7/4), dengan angka kematian mencapai 9.559 jiwa.

Pengembangan vaksin terus berjalan, namun kemungkinan untuk dapat diproduksi massal masih membutuhkan waktu setidaknya beberapa bulan ke depan.

Baca juga: Ujicoba vaksin corona pada manusia dilakukan September 2020

Setelah Presiden AS Donald Trump secara antusias mendukung obat yang sering digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan beberapa jenis malaria untuk eksperimental perawatan pasien COVID-19, kini Negeri Paman SAM mencoba menggunakan convalesent plasma (CP) untuk membantu penyembuhan mereka yang terinfeksi serius dan membahayakan jiwa.

Bahkan Palang Merah Amerika Serikat dalam situs resminya mengumumkan menerima sumbangan plasma dari pasien COVID-19 yang sembuh untuk membantu memulihkan mereka yang masih terinfeksi serius, atau bagi mereka yang memiliki risiko tinggi sakit parah dan mengancam jiwa.

Mereka yang sepenuhnya pulih dari COVID-19 memiliki antibodi dalam plasma yang dapat menyerang virus. Saat ini, CP sedang dievaluasi sebagai terapi untuk pasien yang sakit parah di Amerika Serikat.

Dan Palang Merah telah diminta oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) AS untuk membantu mengidentifikasi calon donor dan mengelola distribusi plasma ke rumah sakit yang merawat pasien yang membutuhkan.

Virus Corona (FOTO/ReutersHandout- NIAID/hp.)
Baca juga: Kemenkes: belum ada bukti secara ilmiah pengobatan untuk COVID-19
 

Convalesent plasma

Jika memang terapi plasma cepat menyembuhkan tentu akan sangat membantu pasien COVID-19 yang memiliki penyakit penyerta atau mereka yang sistem imunitasnya kurang baik.

Peneliti Bioteknologi pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endah Puji Septisetyani kepada ANTARA menjelaskan pengobatan dengan CP dilakukan dengan mengambil plasma darah dari pasien yang telah sembuh dari penyakit infeksi tertentu dan telah menghasilkan antibodi sebagai bagian dari sistem imunitasnya untuk melawan agen infeksi tersebut, sebagai sumber antibodi yang potensial guna menyembuhkan penyakit infeksi tersebut.

Jadi dalam kaitannya dengan COVID-19, convalesent plasma ini diambil dari pasien yang telah berhasil sembuh, sebagai sumber antibodi-anti SARS-CoV-2 yang potensial untuk menyembuhkan pasien lain yang masih terinfeksi.

Sehingga sebagai catatan, merujuk pada FDA, minimal donor plasma COVID-19 memiliki data, pertama, sebagai pasien yang telah sembuh, atau dengan kata lain donor plasma adalah orang yang pernah menderita COVID-19 dan menunjukkan gejala yang dibuktikan dengan pemeriksaan positif pada tes swab dengan metode reverse transcript-polymerase chain reaction (RT-PCR).

Kedua, telah berhasil sembuh dengan dibuktikan hasil uji swab yang negatif dengan metode RT-PCR. Ketiga, uji serologis menunjukkan terbentuknya antibodi spesifik anti-SARS-CoV-2.
 

Tatik (37), petugas Palang Merah Indonesa sedang memisahkan sel darah merah dengan plasma menggunakan alat Compomat G4 di PMI Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (31/7). Untuk menanggulangi penurunan stok darah saat Bulan Ramadhan yang mencapai 60 persen, Palang Merah Indonesia menerapkan sistem jemput bola dalam menghimpun kebutuhan darah dengan menyediakan 105 unit mobil transfusi darah di kota-kota besar Indonesia. (FOTO ANTARA/Herka Yanis Pangar)

Untuk mendapatkan hasil yang optimal saat terapi plasma tersebut maka plasma dari pendonor perlu diuji dulu apakah titer antibodinya cukup tinggi untuk menetralkan virus SARS-CoV-2. Dengan kata lain, ujar Endah, apakah plasma tersebut memiliki efek antivirus yang tinggi untuk mengatasi infeksi SARS-CoV-2.

Meskipun demikian, ia menegaskan saat ini belum ada uji klinis yang menunjukkan efektivitas terapi CP untuk penanganan COVID-19. Yang ada baru uji klinis terbatas yang dilaporkan pada publikasi ilmiah.

“Tetapi Indonesia bisa memulai untuk uji klinis sendiri di RS Indonesia terutama bagi pasien dengan gejala berat atau kritis mengingat meningkatnya jumlah pasien COVID-19 dengan tingkat kematian yang cukup tinggi (8,7 persen). Selain mendapat terapi plasma, pasien juga tetap mendapatkan prosedur penanganan standar lainnya,” ujar dia.

Ia juga menegaskan donor plasma potensial adalah pasien yang pernah dirawat di rumah sakit dan kemudian dinyatakan sembuh. Sebelum keluar rumah sakit, diambil dulu sampel darahnya untuk diuji titer antibodinya dalam menetralkan virus dan untuk terapi CP.

Lalu bagaimana efek samping terapi convalesent plasma?

Endah menjelaskan bisa saja muncul infeksi lainnya akibat patogen yang terdapat di dalam plasma donor, atau reaksi ketidakcocokan plasma donor dengan plasma resipien.

Baca juga: Presiden jelaskan penggunaan klorokuin untuk pengobatan COVID-19
 

Antibodi pasien COVID-19

Antibodi adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh manusia, yang dihasilkan oleh sel B limfosit, baik yang berada di limpa atau di kelenjar getah bening akibat paparan agen infeksi, semisal virus.

Orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 akan menghasilkan antibodi anti-SARS-CoV-2 untuk mencegah si virus meluaskan infeksinya di dalam tubuh. Jika afinitas atau ikatan antibodi terhadap virus tinggi selain jumlahnya yang mencukupi, maka, menurut Endah, virus akan dapat dinetralkan oleh antibodi di dalam tubuh.

Respons tiap orang setelah terpapar virus ini berbeda-beda, sehingga ada yang tidak muncul gejala sama sekali, ada yang hanya muncul gejala ringan sampai sedang, ada juga yang punya gejala berat dan akhirnya menyebabkan kematian.

Salah satunya, menurut dia, tergantung pada bagaimana tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan virus ini. Plasma dari pasien yang telah sembuh merupakan sumber antibodi yang potensial sebagai bentuk imunisasi pasif untuk mendapatkan imunitas pada jangka waktu yang pendek.

Sebagai catatan, sifat antibodi yang dihasilkan dari donor satu dengan donor yang lainnya adalah bervariasi. Selain itu, semakin lama jarak dari kesembuhan, maka tinggi titer antibodinya dalam menetralisir virus akan menurun, kata Endah merujuk pada rekomendasi untuk investigasi convalesent plasma COVID-19 yang dikeluarkan FDA.

Petugas medis mengambil sampel spesimen saat swab test secara drive thru di halaman Laboratorium Kesehataan Daerah (LABKESDA) Kota Tangerang, Banten, Senin (6/4/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/wsj. (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Baca juga: China gabungkan pengobatan tradisional dan modern tangani virus corona

Convalesent plasma diuji

Jika mengacu pada publikasi ilmiah berjudul Effectiveness of convalescent plasma therapy in severe COVID-19 patients milik peneliti Zhu Chen dan kawan-kawan yang terbit pada 6 April 2020 di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), tertulis bahwa setiap donor diambil 200-400 ml darah, tergantung dari umur dan berat badan donor.

Sel darah dipisahkan dari plasma dan kemudian setiap 200 ml sampel disimpan di suhu 4°C tanpa tambahan deterjen dan tanpa perlakuan pemanasan.

Plasma ini kemudian diberi perlakuan untuk menginaktivasi virus dengan metode methylene blue photochemistry.

Aktivitas netralisasi dari CP terhadap SARS-CoV-2 diuji dengan plaque assay terhadap virus yang sudah diisolasi. Pada batch I dari sampel CP dari 40 pasien COVID-19 yang telah sembuh, 39 CP menunjukkan titer antibodi yang tinggi setidaknya 1:160, sedangkan 1 pasien yang lainnya hanya memiliki titer antibodi 1:32.

Terdapat 10 pasien resipien CP dirawat di ICU dan tetap menerima terapi suportif yang lain semisal antivirus, antibiotik, antijamur dan glukokortikoid. Satu dosis CP sebanyak 200 ml ditransfusikan pada pasien tersebut dalam waktu 4 jam, mengikuti protokol transfusi dari WHO.

Baca juga: Ikhtiar kalahkan pandemi COVID-19 dengan antivirus Ebola dan Malaria

Lalu bagaimana hasilnya?

Pemberian 1 dosis CP dengan titer antibodi yang tinggi dapat menurunkan kadar virus pada pasien dengan cepat (pada rentang 1-5 hari menunjukkan deteksi virus yang negatif) dan menunjukkan efek positif pada terapi.

Hasil tes negatif COVID-19 dalam waktu 1 hari terjadi pada 3 orang pasien. Sedangkan hasil tes negatif dalam waktu 2 hari terjadi pada 5 pasien lainnya, sementara untuk pasien ke-10 terjadi pada waktu 5 hari. Satu pasien lagi tidak tersedia data pengujian virus 1 hari sebelum perlakuan dengan CP.

Faktor yang menentukan dalam terapi CP ini adalah dosis CP yang optimal dengan titer antibodi yang tinggi serta waktu yang tepat untuk memberikannya pada pasien COVID-19. Meskipun demikian, studi lanjutan pada uji klinik acak (randomized clinical studies), menurut Endah, masih perlu dilakukan.

Apapun yang akan digunakan sebagai cara penyembuhan suatu penyakit tentu tidak boleh main-main.

Koordinator peneliti pada Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Masteria Yonavilsa Putra berpendapat kontrol kualitas CP itu mungkin agak rumit.

Yang jelas, Masteria mengatakan setiap yang akan diberikan ke manusia harus ada uji klinis terlebih dahulu, termasuk untuk convalesent plasma.

Baca juga: Peneliti UI kembangkan propolis alternatif pengobatan COVID-19

Pesawat militer Indonesia tiba di Shanghai untuk jemput obat-obatan

 

Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020