Phnom Penh (ANTARA) - Parlemen Kamboja pada Jumat mengeluarkan undang-undang untuk mempersiapkan jalan bagi penentuan keadaan darurat, yang mungkin akan diumumkan oleh Perdana Menteri Hun Sen untuk memperkuat kampanye melawan wabah virus corona.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa keadaan darurat di Kamboja akan memberi kekuasaan besar kepada Hun Sen, yang sudah lama dikecam oleh negara-negara Barat karena tindakan kerasnya terhadap kalangan lawan politik, kelompok hak-hak sipil dan media.

Undang-undang itu memungkinkan pemerintah Kamboja untuk dalam keadaan darurat memantau komunikasi, mengontrol media dan media sosial, melarang atau membatasi distribusi informasi yang dapat menimbulkan ketakutan atau keresahan publik, atau yang dapat mengganggu keamanan nasional.

Baca juga: Kamboja larang masuk para pengunjung dari lima negara akibat corona

"Tujuan membuat undang-undang ini untuk Kamboja bukan sesuatu yang unik, karena undang-undang ini sudah ada di banyak negara demokratis lainnya," kata juru bicara Kementerian Kehakiman, Chin Malin.

"Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi ketertiban umum, keamanan, kepentingan masyarakat, kehidupan, kesehatan, properti, dan lingkungan," ujar dia.

Kamboja melaporkan satu kasus baru virus corona pada Jumat, dengan total kasus mencapai 119, kata kementerian kesehatan.

PM Hun Sen awalnya terlihat skeptis tentang ancaman yang ditimbulkan oleh virus corona tetapi, karena kasusnya terus meningkat, pemerintah Kamboja dalam beberapa pekan terakhir telah memerintahkan restoran, bar dan kasino untuk tutup. Kamboja juga membatasi visa masuk bagi orang asing.

Baca juga: PM Kamboja perintahkan penutupan kasino saat kasus corona meningkat

Hun Sen mengatakan dia mungkin membutuhkan wewenang darurat untuk membantu menghambat penyebaran virus corona.

Partainya memegang setiap kursi di Majelis Nasional Kamboja yang beranggotakan 125 orang dan semua anggota yang hadir memilih untuk mengadopsi Undang-Undang tentang Pemerintahan Negara dalam Keadaan Darurat.

Namun, kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa undang-undang tersebut memuat ketentuan yang luas dan tidak jelas yang akan dapat melanggar hak-hak dasar dan dapat disalahgunakan untuk menindak para pengkritik pemerintah.

Undang-undang itu memungkinkan hukuman penjara hingga 10 tahun bagi siapa saja yang dianggap bersalah karena menghalangi pihak berwenang atau tidak menghormati tindakan pemerintah yang mengarah pada kerusuhan atau memengaruhi keamanan nasional.

Baca juga: Komoditas sanitasi mudah ditemukan di Kamboja, terbatas di Filipina

Direktur Kawasan Asia untuk Human Rights Watch, Brad Adams, mengatakan Pemerintah Kamboja harus meloloskan undang-undang untuk melindungi kesehatan masyarakat, namun tidak menggunakan wabah virus corona sebagai alasan untuk memperluas kekuasaan pemerintah.

"Pemerintah Kamboja menggunakan pandemi COVID-19 sebagai alasan untuk menegaskan kekuasaan absolut atas semua aspek kehidupan sipil, politik, sosial, dan ekonomi. Itu semua tanpa batas waktu atau pemeriksaan pada penyalahgunaan kekuasaan," kata Adams dalam suatu pernyataan.

Kelompok hak asasi Amnesty International mengatakan Pemerintah Kamboja telah melanggar hukum dengan membuat undang-undang melalui proses legislatif tanpa transparansi, tanpa konsultasi dan tanpa proses hukum.

"Gagasan untuk memusatkan kekuatan yang bahkan lebih besar ke tangan pemerintah ini sangat mengkhawatirkan," kata David Griffiths, pejabat Amnesty International.

Sumber: Reuters

Baca juga: China uji kekuatannya di Asia Tenggara di tengah wabah virus corona

Baca juga: WHO sebut Asia Tenggara butuh 1,9 juta perawat dan bidan


 

Ancaman pidana 1 tahun dan denda Rp100 juta, PSBB di Jakarta berlaku 14 hari

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020