Apakah itu pasukan khusus, apa saja tugasnya, bagaimana cara bereaksinya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering muncul di benak kaum awam yang relatif berjarak dengan dunia militer, yang karena berbagai hal maka banyak hal terkait pasukan khusus cenderung tidak dibuka untuk umum.

Hugh McManners, alumnus Akademi Militer Kerajaan Inggris Sandhurst, bekas anggota British Commando, pasukan khusus Angkatan Darat Kerajaan Inggris, dalam bukunya, "Ultimate Special Forces" setebal 192 halaman penuh foto, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara lebih komprehensif.

Di Indonesia, buku-buku militer memang cukup sulit dijumpai. Namun kini konglomerat penerbit Indonesia, Gramedia Grup, bekerja sama dengan penerbit buku Inggris, DK, menerbitkan buku yang mengupas apa dan bagaimana pasukan khusus yang beroperasi di banyak negara itu dalam edisi bahasa Indonesia, dalam kemasan luks sehingga bisa menjadi pelepas rindu para pecinta buku masalah-masalah kemiliteran.

Dalam kata sambutan, Brigadir Jenderal David L Grange, menyatakan pasukan khusus itu sebagai "prajurit profesional yang tenang, selalu bergerak yang pertama kali untuk membuka dan mempersiapkan jalan bagi pasukan reguler. Sering kali mereka adalah pasukan yang terakhir kali pergi saat peperangan mereda".

Banyak hal yang menggambarkan hal itu, bisa dimaknai dari berbagai semboyan yang menjadi falsafah semua pasukan khusus itu. Misalnya, "Who Dares Wins" (Siapa Berani Menang - Special Air Service, Angkatan Darat Kerajaan Inggris), dan "De Opresso Liber" (Untuk Membebaskan Yang Tertindas - US 5th Special Forces Group, Angkatan Darat Amerika Serikat).

Ada juga "Sua Sponte" (Atas Keinginan Pribadi - US 75th Infantry Regiment, AD AS), atau Spetsnaz, pasukan elit terbesar jumlahnya di dunia dari Angkatan Bersenjata Federasi Rusia (dahulu Uni Soviet), hingga "Legio Patria Nostra, Honneur et Fidelite, Marche ou Creve" (Legiun Tumpah Darah kami, Kehormatan dan Kesetiaan, Bertempur Atau Mati milik pasukan elit multi kewarganegaraan Perancis, Legiun Asing alias Legion Etrangere de Francais), polisi khusus anti teror Jerman GSG 9 (Grenzschutgruppe 9) yang legendaris, GIGN Perancis (Groupe d`Intervention Gendarmerie Nationale) yang juga adalah polisi paramiliter anti teror Perancis.

McManners memulai bukunya dengan membahas terminologi "pasukan khusus", yaitu pasukan yang memiliki sifat unik, dipilih dan dilatih secara khusus, ditugaskan untuk misi rahasia dan berbahaya, memiliki tingkat kegagalan yang bisa berujung pada kematian personel siswa dalam proses pendidikan. Jumlah pasukan khusus biasanya sedikit dan cenderung menjadi bagian dari mesin militer yang jauh lebih besar.

Di balik itu, karena mereka memiliki keahlian multi bidang namun tetap menjadi seorang spesialis misi, unit elit militer selalu memiliki potensi memenangi pertempuran dan peperangan dalam skala besar. Paling tidak, mereka menjadi penentu kemenangan pasukan yang berkekuatan lebih besar karena daya rusak dan daya hancur mereka yang sangat besar.

Lebih jauh lagi, pihak yang memiliki otoritas memakai kehadiran mereka biasanya adalah kepala negara, kepala pemerintahan, atau minimal menteri pertahanan atau panglima angkatan bersenjata masing-masing negara.

Di Indonesia, walau tidak dibahas dalam buku ini, penggelaran pasukan khusus TNI dari berbagai matra adalah atas restu Panglima TNI, Menteri Pertahanan melalui Panglima TNI, atau Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Mungkin hal itu tidak banyak diketahui umum. Di sinilah McManners mengungkap sedikit hal itu, yang berujung pada pengungkapan sekelumit proses perekrutan, pemilihan taktik dan strategi, pemilihan senjata, kendaraan, dan perlengkapan pendukung operasi, hingga dukungan operasi intelijen.

Masyarakat banyak membayangkan bahwa kehidupan personel pasukan khusus itu cukup "glamor" untuk ukuran kehidupan tentara. Hal ini tidak salah, karena film-film Holywood mencekoki pikiran dengan imaji seperti itu; ambillah contoh Agen 007 James Bond dari Military Intelligence Service 6 (MI6) buah rekaan Ian Fleming yang terkenal itu.

Siapa yang tidak tahu Commander Bond, yang secara resmi dicitrakan sebagai perwira menengah Angkatan Laut Kerajaan Inggris?

Dalam kenyataannya, menurut McManners, kehidupan mereka jauh dari dunia glamor seperti itu. "Suatu kehidupan tanpa nama, kerja keras tanpa ucapan terima kasih dalam kondisi menyengsarakan, bahaya yang meruntuhkan moral, serta latihan keras yang melelahkan," katanya.

"Pada masa perang dan damai, sering bertugas di belakang garis musuh untuk misi pengintaian dan sabotase. Peran lain adalah kontra terorisme dan pendukung kontra intelijen," demikian dia mendefinisikan pasukan khusus secara ringkas.

Singkatnya, mereka bertugas untuk misi luar biasa dengan cara di luar kebiasaan pasukan konvensional.

Berdasarkan definisi itu, maka personel yang menjalani peran tugas seperti itu haruslah dipilih secara sangat selektif. Mereka berasal dari pasukan reguler secara sukarela dari matra militer dan kepolisian masing-masing ---kecuali Spetsnaz, yang dimiliki oleh tiap matra Angkatan Bersenjata Rusia, termasuk Divisi Peluru Kendali--- dan tingkat kegagalan perekrutan sangat tinggi. Ini yang penting untuk dipahami umum.

Sebagai pembanding yang terjadi di Tanah Air, seorang anggota di Pasukan Katak TNI-AL, pernah menyatakan, pada masa pendidikan komandonya di Surabaya, dari sekitar 50 siswa didik, kurang dari tujuh orang yang bisa menyandang brevet Manusia Katak Trimedia di dada kiri seragamnya pada akhir pendidikan.

Menyitir pendapat sumber yang tidak ingin diketahui nama dan pangkatnya itu, "Waktu hell week itu kami sampai dibuat mampu bangun dari tidur dan langsung siaga dengan senjata terkokang pada posisi tempur hanya karena siulan pelan dari instruktur. Padahal kami tidur setengah direndam di dalam rawa pantai."

Pasukan khusus, sebagai alat kepanjangan kepentingan negara dan pemerintahan yang sah, dalam proses pembentukan, pelatihan, penggelaran kekuatan, hingga falsafah hidupnya, sangat ditentukan oleh ideologi dan pola kehidupan suatu bangsa dalam berbagai aspek.

Kecenderungannya, negara maju cenderung akan "jor-joran" untuk melengkapi pasukan khususnya sementara bagi negara berkembang menengah seperti Indonesia, hal itu tidak terjadi.

McManners, sebagai perwira Inggris, tentu memiliki cara pandang berbeda ketimbang sejawatnya dari Amerika Serikat tentang penggelaran kekuatan pasukan khusus karena beda doktrin.

Pada saat satu serbuan dilakukan, sebagai misal, Amerika Serikat cenderung untuk habis-habisan menggelar kekuatannya; sementara Inggris yang memiliki sumber daya lebih sedikit akan cenderung mengerem sumber daya kekuatan militernya.

Dalam menggelar kekuatan pasukan khusus, menurut McManners, diperlukan sejumlah persiapan operasi yang rumit. Mulai dari penyiapan data intelijen, metodologi operasi hingga penguasaan bahasa dengan dialek lokal, penentuan alat dan senjata pendukung, skenario operasi, taktik dan strategi, sampai masalah kemungkinan ditangkap hidup-hidup oleh musuh.

Untuk satu aspek ini, McManners sebagai bekas aktor pelaksana banyak operasi pasukan khusus Inggris, mengisahkan berbagai operasi yang dilakukan pasukan khusus banyak negara.

Terlalu banyak untuk diutarakan di sini satu demi satu karena masing-masing memiliki keistimewaan dan daya inspirasi bagi pasukan lain sejawat.

Ada satu kasus terkenal jika salah satu hal itu dilewatkan. Masih ingat kisah nyata dari film "Blackhawk Down" tentang aksi pasukan Rangers dan Delta Force Angkatan Darat Amerika Serikat? Dua helikopter UH-60 jatuh dihantam pelontar granat murahan, RPG-7, milisi Somalia, 19 tentara negara adidaya itu tewas percuma dan 100 terluka.

Peristiwa pada 3 Oktober 1993 itu sangat memalukan dan memilukan bagi negara sebesar Amerika Serikat, karena penyebabnya cukup sepele: meremehkan kemampuan klandestine warga sipil.

Keputusan pemerintah Amerika Serikat menggelar pasukan khusus yang tergabung dalam 160th Special Operations Aviation Regiment di Mogadishu, Somalia, itu kental demi kepentingan politik dan ekonomi Amerika Serikat. Kalau dedengkot milisi lokal, Farrah Aidid, tidak segera dimusnahkan, maka perang sipil berkelanjutan yang bisa mengganggu kepentingan Amerika Serikat di pantai Afrika Barat.

Daripada menggelar pasukan konvensional dalam skala besar, lebih baik mengirim tim-tim kecil pasukan khusus untuk memusnahkan orang berbahaya seperti Aidid itu. Di sinilah pasukan khusus sesuai asasinya sebagai alat khusus negara dipergunakan secara langsung.

Berbahaya, itu pasti; tetapi gagal atau berhasil, itu resiko yang seharusnya bisa dikalkulasi secara matang sebelum misi diperintahkan.

Pasukan khusus, memang khusus dalam banyak hal. McManners melukiskan, di satu sisi mereka adalah etalase kemampuan satu negara yang seksi untuk dipotret; di sisi lain mereka tetap dibiarkan misterius dan jauh dari publikasi.

Dalam berbagai adu argumen pasca peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, banyak yang menyayangkan CIA dan National Security Council yang dipimpin Condoleeza Rice tidak mau memanfaatkan suplai informasi dari banyak badan intelijen asing, di antaranya Mossad-nya Israel; bahwa ada kelompok ekstrim kanan Arab yang akan melancarkan aksi teror skala masif di negara itu.

Analisis menyebutkan, kalau saja George Tenet sebagai Direktur CIA saat itu mau mengolah data dan masukan secara lebih rumit, maka teror di Gedung Selatan dan Utara WTC New York laksana "Pearl Harbour Kedua" itu bisa digagalkan.

Salah satu prasyaratnya, menyarankan kepada Presiden George W Bush untuk memakai kekuatan antiteror dan kontra intelijen dari pasukan khusus Angkatan Bersenjata Amerika Serikat untuk menggulung kawanan teroris Arab Saudi itu.

Masih ingat saat Korps Pasukan Sandhi Yudha TNI-AD bisa menggulung pembajak DC-9 "Woyla" Garuda Indonesia di Bandar Udara Internasional Don Muang, Bangkok, Thailand, pada masa tokoh intelijen Indonesia, Benny Moerdani, memiliki kekuasaan begitu besar?

Itulah salah satu contoh makna eksistensi pasukan khusus. (*)

Oleh Oleh Ade P Marboen
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009