Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 213 pengaduan terkait pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari para siswa di berbagai daerah di Indonesia.

"Sampai Kamis (9/4) KPAI terus mendapatkan pengaduan dari para siswa di berbagai daerah di Indonesia terkait berbagai penugasan sekolah yang mereka harus kerjakan di rumah," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan setelah penerapan kebijakan belajar dari rumah berlangsung tiga pekan, KPAI sudah menerima pengaduan terkait PJJ sebanyak 213 kasus.

Pengaduan-pengaduan tersebut didominasi oleh pengaduan terkait berbagai penugasan guru yang dinilai berat dan menguras energi serta kuota internet.

Dari 213 pengaduan tentang PJJ tersebut, KPAI menyimpulkan beberapa poin terkait pengaduan-pengaduan yang disampaikan.

KPAI menemukan bahwa di antara masalah yang diajukan terkait PJJ tersebut adalah bahwa siswa merasa penugasan yang diberikan guru terlalu berat dengan waktu pengerjaan yang pendek sehingga semakin menyulitkan mereka.

"Pengaduan terkait penugasan adalah pengaduan yang tertinggi, hampir 70 persen pengadu menyampaikan betapa beratnya penugasan-penugasan yang diberikan setiap harinya oleh para guru, dan waktu yang diberikan untuk mengerjakan juga sangat pendek," katanya.

Siswa SMA atau SMK banyak yang ditugasi menulis esai hampir di semua bidang studi, dan ada juga siswa SMP yang pada hari kedua PJJ sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya.

Selain itu, siswa SD di Bekasi juga ada yang diminta mengarang lagu tentang corona yang kemudian harus dinyanyikan disertai musik dan harus divideokan.

Kemudian, masalah berikutnya yang digarisbawahi dari pengaduan-pengaduan tersebut adalah bahwa banyak siswa diminta untuk merangkum bab dan menyalin soal di buku.

"Padahal, tugas yang paling tidak disukai anak-anak adalah merangkum bab materi dan menyalin soal di buku cetak," katanya.

Ia mengatakan dari beberapa pengaduan menyebutkan ada guru di jenjang SMP dan SMA yang selalu memberikan tugas merangkum bab baru setiap jam pelajarannya tiba.

"Ada siswa SD yang mendapat tugas menyalin 83 halaman buku cetak sebagai bentuk penugasan dari gurunya. Selain itu, siswa SD kelas 4 juga ditugaskan untuk menuliskan bacaan shalat, mulai dari bahasa Indonesianya, Bahasa Latinnya dan Bahasa Arabnya. Padahal semuanya ada di buku cetak," ujarnya.

Banyak siswa mengaku dapat tugas menjawab soal, tetapi harus dituliskan soalnya. Padahal, soal itu ada di buku cetak mereka.

Selain itu, jam belajar juga dianggap kaku karena dilaksanakan seperti jam sekolah normal.

Proses pembelajaran di sekolah, kata dia, seharusnya tidak disamakan dengan jam belajar di sekolah, tidak kaku dalam penerapan jam pertama sampai jam terakhir.

Setiap pergantian jam dan mata pelajaran, katanya, guru memberikan tambahan tugas baru yang tak kalah berat, sementara tugas sebelumnya belum selesai dikerjakan para siswa.

Sementara itu, pembelajaran daring juga ternyata banyak dikeluhkan oleh anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.

"Ada sopir ojek online (ojol) yang memiliki tiga anak, dengan dua di jenjang, SD dan jenjang SMA. Mereka merasa kewalahan dalam membeli kuota internet. Padahal penghasilan sebagai ojol menurun drastis," katanya.

Kemudian, seorang guru di Yogyakarta juga menceritakan bahwa pembelajaran daring dengan para siswa hanya bisa dilakukan pada minggu pertama belajar di rumah. Setelah itu sudah tidak bisa lagi karena orang tua peserta didik tidak sanggup lagi membeli kuota internet.

Selain itu, banyak di antara siswa yang tidak memiliki laptop atau komputer PC. Sebagian siswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi merasa kesulitan dengan persiapan ujian daring yang akan dilaksanakan akhir April-Mei 2020.

"Ada anak sopir ojol yang mengaku gantian menggunakan handphone dengan ayahnya. Kalau siang dipakai bekerja, jadi malamnya baru bisa digunakan si anak untuk mengerjakan tugas dari gurunya. Masalah sinyal juga menjadi kendala di beberapa daerah yang berbukit-bukit. Akibatnya ada siswa yang setiap hari harus berjalan 10 KM untuk mendapatkan signal dan wifi," katanya.

Sementara itu, dari 213 pengaduan tersebut, KPAI juga menemukan masih adanya aktivitas siswa dan guru di sekolah. Padahal proses belajar mengajar seharusnya dilakukan dari rumah.

Pada awal penerapan kebijakan belajar dari rumah, KPAI menerima tiga pengaduan, yaitu dari DKI Jakarta, Kota Bekasi dan Palangkaraya, yang menyatakan bahwa ada beberapa sekolah yang belum memberlakukan belajar dari rumah.

Padahal pemerintah daerahnya sudah memutuskan untuk belajar dari rumah. Ketiga sekolah swasta tersebut berada di jenjang SD. Kemudian, pada minggu kedua KPAI juga menerima pengaduan ada SD swasta di Kabupaten Bogor yang meliburkan sekolah, tetapi tetap melayani les atau privat di sekolah.

Masalah lainnya adalah adanya penolakan untuk membayar biaya SPP bulanan secara penuh karena siswa belajar dari rumah bersama orang tua.

"Menjelang minggu ke-4 kebijakan belajar dari rumah, ada beberapa pengaduan siswa sekolah swasta yang menyatakan keberatan membayar uang iuran sekolah (SPP) secara penuh karena tidak ada aktivitas pembelajaran di sekolah dan banyak orang tua mengalami masalah ekonomi pascaperpanjangan masa belajar dan bekerja dari rumah. Bahkan, yang orang tuanya pengusaha juga turut terpukul secara ekonomi sehingga memiliki masalah finansial," katanya.

Oleh karena itu, masalah-masalah yang menjadi pengaduan tersebut sepatutnya dijadikan bahan evaluasi agar ditindaklanjuti dengan kebijakan yang lebih matang dan lebih baik.

Pewarta: Katriana
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020