Jakarta (ANTARA News) - Masih ingat Gelombang Cinta? Bunga jenis anthurium ini pernah ngetop dan diburu banyak penyuka tanaman hias, meski harganya bisa sampai puluhan juta rupiah.

Kini, bunga yang akar dan urat daunnya memesona banyak orang itu, tidak lagi menjadi buruan karena orang ramai membudidayakannya sehingga tak sulit lagi mendapatkannya.

"Harganya turun sekali. Dulu baru mekar saja daunnya langsung dicomot orang," kata Mohamad Nur, pedagang bunga depan Cempaka Mas, Jalan Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.

Kawasan seluas 100 meter persegi yang sejak 1980an menjadi tempat jualan aneka tanaman hias ini, selain menjadi tempat bisnis, juga adalah kawasan hijau yang berfungsi sebagai penyeimbang udara kota yang dikotori polusi asap knalpot kendaraan bermotor.

Di sini, orang dengan mudah bisa mendapatkan anthurium, adenium, palem, atau aneka bonsai.

Tak hanya tananam, anda juga bisa mendapatkan pupuk kompos, pupuk organik, dan aneka pot terbuat dari tanah liat dan semen yang diantaranya bercorak ukir.

Para penjualnya menempati beberapa kavling, satu pemilik satu kavlingan. Semuanya ditata apik sehingga membangkitkan hasrat memiliki dari para pengunjung dan penikmat tanaman hias.

Pada kurun 1997 - 2008, para pedagang tanaman hias di kawasan Cempaka Mas ini pernah mengeruk rupiah dari gelombang cinta.

"Waktu itu jangankan sudah mekar, bijinya saja sudah mahal," kenang Mohamad Nur yang mengaku jualan anthurium telah membuatnya menjadi haji.

Biji anthurium sebesar biji jagung, biasa dijualnya antara Rp5.000 hingga Rp10.000, namun jika tumbuh sampai setidaknya memiliki lima hingga tujuh lembar daun, tanaman hias ini bisa dijual hingga Rp1,5 juta.

Nur tidak paham mengapa waktu itu Gelombang Cinta tiba-tiba diburu orang bak berlian saja, padahal manfaat tanaman asal Solo, Jawa Tengah itu, nyaris sama dengan tanaman hias lainnya, kecuali mungkin khasiatnya dalam membuat pria lebih perkasa.

"Tapi sekarang bijinya sudah tidak ada yang cari. Orang mau simpel saja, langsung yang ada daunnya," kata pria yang melakoni bisnis tanaman hias sejak 20 tahun silam itu.

Anthurium
berdaun pun tidak lagi dihargai jutaan rupiah, bahkan yang berdaun lima sampai tujuh daun pun dibeli cukup dengan Rp100 ribu.

Perawatan khusus


Ada beberapa keluarga anthurium yang dikenal para penjual tanaman, diantaranya indokeri dan cemani yang hanya berbeda dari Gelombang Cinta dari bentuk batang dan daunnya.

Daun Gelombang Cinta agak lebar dan panjang dengan batang hijau, sedangkan Indokeri berdaun panjang dengan batang kemerah-merahan. Harganya juga beda tipis.

Loso, pedagang tanaman hias di kompleks itu juga menuturkan hal sama dan menyebut harga Gelombang Cinta benar-benar anjlok. "Malah sekarang sudah jarang yang cari," katanya.

Kendati harga anjlok, Loso dan Mohamad Nur setia merawat anthurium mengingat orang-orang tertentu masih mencarinya.

"Biasanya kalau hari Sabtu atau Minggu, saya sudah mengantongi uang Rp300 ribu sampai Rp500. Tapi sekarang sulit sekali," ujarnya.

Meski sudah menyiasati dengan "nyambi" berbisnis pot, pria dua anak ini konsisten dengan anthurium yang tiap hari dirawatnya dengan sepenuh hati.

"Setiap tiga hari saya menyiramnya. Diantara hari itu saya hanya menyemprot pakai air saja supaya tidak terlalu kering," kata Loso sembari menarik pelatuk semprotnya.

Butuh waktu ekstra untuk merawat anthurium yang memang harus diperlakukan agak khusus. Misalnya, wadah bagus yang sebaiknya terbuat dari sekam dan gabus. Agar tanaman lebih sehat, tanah dicampur dengan sekam.

Perawatan ekstra khusus ini dibenarkan Firdaus, seorang peyuka tanaman hias dari Pondok Gede, Jakarta Selatan. Dia menuturkan, hampir setiap hari ia melototi anthurium miliknya sekaligus mengembangkan tanaman hias yang ia dapatkan saat harganya tengah melambung tinggi.

"Saya memang suka bunga. Tapi mengembangkan Gelombang Cinta itu biayanya mahal," katanya.

Meski begitu, Firdaus tetap saja memelihara Gelombang Cinta dengan tekun, diantaranya dengan membuatkan bangunan khusus untuk tanaman peliharaannya itu agar tidak tersorot langsung sinar matahari.(*)

Oleh Oleh Adha Nadjemuddin
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009