Penerapan UU TPPU dari total 1.125 orang terdakwa sepanjang 2019 hanya dilakukan terhadap 8 orang terdakwa...
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penegak hukum baik Kejaksaan Agung maupun KPK masih jarang menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam menangani perkara korupsi sepanjang 2019.

"Penerapan UU TPPU dari total 1.125 orang terdakwa sepanjang 2019 hanya dilakukan terhadap 8 orang terdakwa padahal kami mengharapkan penegak hukum selalu memasukkan TPPU karena secara yuridis dan realitas tindak pidana korupsi dan TPPU sangat erat," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Minggu.

Dari segi yuridis, menurut Kurnia, korupsi merupakan salah satu predicate crime yang diatur dalam Pasal 3 UU TPPU dan dari segi sosiologis pelaku kejahatan sudah barang tentu akan menyembunyikan atau mengalihkan hasil kejahatan dalam bentuk apa pun.

Baca juga: ICW: Terdakwa korupsi divonis bebas dan lepas pada 2019 meningkat

"Kita kecewa Kejaksaan Agung dan KPK belum berani mendakwa terdakwa dengan regulasi TPPU, contohnya pada 2018 ada perkara yang sudah jelas terdakwanya melakukan TPPU yaitu mantan ketua DPR Setya Novanto, tapi sampai saat ini Setnov tidak pernah disidik TPPU-nya, padahal regulasi TPPU sangat progresif karena mengadopsi pendekatan aturan pembalikan beban pembuktian dan pendekatan baru yaitu 'follow the money' bukan 'follow the suspect'," ungkap Kurnia.

Kurnia menilai penegak hukum enggan menerapkan TPPU dalam perkara korupsi karena kesulitan kemampuan penegak hukum itu sendiri sebab untuk penerapan TPPU harus ada fase melacak, pembekuan aset dan lainnya, termasuk juga tantangan politik terhadap tindakan penegak hukum.

Sepanjang 2019, ICW mencatat upaya pemulihan kerugian negara masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan pada 2019 sebab negara telah dirugikan sebesar Rp12 triliun sedangkan total uang pengganti hanya Rp748,163 miliar.

"Ini sangat jauh sekali perbedaannya dan pemberian efek jera terwujud dalam pemidanaan penjara maksimal dan pengenaan pasal 18 UU Tipikor yaitu terkait uang pengganti tapi faktanya pemidanaan mengecewakan karena rata-rata hanya 2 tahun 7 bulan penjara dan total uang pengganti juga masih sangat jauh dibanding kerugian negara," jelas Kurnia.

Baca juga: ICW nilai proses pengisian pejabat struktural KPK abaikan integritas

Namun ICW memberikan apresiasi terhadap putusan hakim dalam 2 perkara korupsi yaitu karena menjatuhkan pemidanaan penjara maksimal dan pengenaan uang pengganti.

Pertama pada kasus mantan Kepala Kantor Pajak Ambon La Masikamba yang menerima suap Rp790 juta dengan tuntutan 12 tahun penjara dan dijatuhi vonis 15 tahun penjara ditambah uang pengganti Rp7,88 miliar di Pengadilan Negeri Ambon.

Perkara kedua adalah perkara dengan terdakwa Dirut A&C Trading Network (ACTN) Antonius Aris Saputra yang terbukti melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara Rp63,342 miliar dengan tuntutan 18 tahun 6 bulan penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan penjara 16 tahun ditambah uang pengganti Rp61 miliar

"Kami harap penegak hukum di Kejaksaan Agung dan KPK harus selalu menggunakan UU TPPU ketika mendakwa pelaku korupsi. Kejaksaan Agung lebih banyak menggunakan pencucian uang yaitu 7 perkara dibanding KPK yang hanya 1 perkara, jadi KPK harus lebih serius untuk melakukan pemulihan kerugian negara walau kami tidak yakin pada era kepemimpinan Firli bisa terjadi karena fokus di pencegahan," tambah Kurnia.

Baca juga: ICW nilai vonis kasus korupsi 2019 masih rendah
Baca juga: ICW nilai pengisian empat jabatan struktural KPK abaikan integritas

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020