Jakarta, (ANTARA News) - "Aku merasa sedikit tegang. Perutku terasa mulas. Berlindung di belakang tukang sate di jalan yang gelap, kuamati kedatangan kawan-kawan seperjuangan yang banyak lagak itu, yang semuanya tidak memakai tutup kepala karena ingin seperti orang barat yang berkulit putih.

Aku awalnya merasa ragu-ragu. Kemudian aku berdebat dengan diriku sendiri."
"Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?"

"Aku seorang pemimpin," jawabku tegas.

"Kalau begitu, buktikanlah," kataku lagi pada diriku.

"Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat...SEKARANG!!!"

"Begitulah yang kulakukan. Setiap orang ternganga melihatku tanpa bicara. Agaknya lebih baik memecahkan kesunyian itu dengan berbicara, `Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat`."

"Mereka masih saja menatapku. Aku lanjutkan kata-kataku, `Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh Bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka`."

Itu adalah nukilan kisah Bung Karno dalam biografinya "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang ditulis Cindy Adams. Ternyata, pemimpin besar yang mampu menyatukan Indonesia dan membawa kemerdekaan ke bumi pertiwi itu merasakan mulas dan harus menguatkan hati karena persoalan peci.

Peristiwa pengenalan peci yang kemudian menjadi ciri khas penampilan Bung Karno itu terjadi pada Juni 1921, ketika ia baru tiba di Bandung dari Surabaya untuk berkuliah. Ketika itu, ia menghadiri rapat Jong Java yang menyebut diri sebagai kaum intelegensia namun membenci memakai blangkon, sarung, dan peci karena dianggap sebagai cara berpakaian kaum lebih rendah.

"Mereka seharusnya belajar, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Karena tidak seorang pun di kalangan kaum intelektual melakukan hal demikian, aku memutuskan sendiri untuk menjadikan diriku bagian dari rakyat jelata. Pada rapat berikutnya, aku memutuskan memakai peci."

Itulah alasan Bung Karno memberanikan diri memakai peci sampai harus merasakan mulas perut. Bung Karno memang terbukti seorang tokoh besar, karena pengaruhnya sampai hal seperti peci pun masih bertahan hingga kini.

Foto-foto calon presiden maupun calon wakil presiden laki-laki yang sekarang tersebar di ruang publik pada masa kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 tidak ada yang bertelanjang kepala. Semua menebar senyum dengan mengenakan peci hitam.

Pada masa kini, mereka tentu tidak perlu mengalami mulas perut atau perdebatan dengan diri sendiri karena urusan peci. Cukup Bung Karno yang mengalaminya. Pada masa kini, para calon pemimpin itu tinggal mengenakan simbol yang telah diperkenalkan oleh Bung Karno dan publik diharapkan dapat mengerti.

Perbedaannya, Bung Karno masih amat muda dan belum terbayang menjadi presiden ketika pada 1921 memutuskan mengenakan peci. Ia baru berusia 20 tahun ketika memutuskan menjadi rakyat jelata dengan berpeci dan memang benar-benar hidup seperti rakyat jelata untuk memperjuangkan kemerdekaan sehingga ketika baru terpilih sebagai presiden pertama ia merayakannya dengan memakan sate di pinggir jalan di sebelah got dan tempat sampah, tanpa tukang sate tahu bahwa ia melayani seorang presiden.

Rentang waktu berpuluh tahun antara peci sebagai kepribadian dan peci sebagai simbol menemukan ruang eksploitasi makna ketika pada masa kampanye Pemilu Presiden 2009, para calon pemimpin berpeci berebut klaim mampu berpikir seperti rakyat jelata dan mampu berjuang demi mereka.

Dengan kepala berpeci hitam dan kemeja biru melambangkan warna Partai Demokrat, Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis malam 4 Juni 2009 memberikan pidato politik perdana mengawali masa kampanye di Hall D Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.

Pidato politik selama 40 menit bertajuk "Membangun Pemerintahan yang Bersih Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat" itu dibawakan di atas panggung melingkar beralas karpet biru dan berhias kain merah putih di tengah ruang.

Pengaturan ruang persis meminjam gaya Barrack Obama ketika berkampanye pada akhir 2008 untuk merebut kursi presiden Amerika Serikat ke-44. Selama masa kampanye hingga terpilih presiden, Obama adalah tokoh berkulit hitam terpopuler dibicarakan dunia karena gaya pidatonya yang simpatik dan meyakinkan, dengan slogan-slogan politik, "Change, We Believe", dan "Yes, We Can."

Kemenangan Obama diyakini para pengamat politik sebagai ekspresi mayoritas warga AS yang jenuh dengan politik perang era mantan Presiden George W Bush serta kebijakan ekonomi longgar minim regulasi yang berbuah krisis finansial.

Di atas panggung gaya Obama, Yudhoyono lancar berpidato dipandu dua prompter di kanan-kiri podium bertuliskan "SBY Presidenku" untuk meyakinkan pendengarnya bahwa pemerintahan yang ia pimpin selama hampir lima tahun telah bekerjakeras dan akan meningkatkan hasilnya jika ia terpilih lagi sebagai presiden selama lima tahun mendatang.

Pidato Yudhoyono seringkali disambut riuh tepuk tangan dan gaduh teriakan "lanjutkan" dari sekitar seribu penonton yang duduk melingkari panggung, sehingga pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur, itu harus sering menghentikan pidatonya dan bahkan harus berkata "Diam dulu", kepada para penonton.

Para pendengar pidato itu juga semangat mengacung-acungkan karton segi empat bertuliskan "SBY-Boediono", "Lanjutkan", dan "I Love SBY", berukuran cukup besar yang juga dicetak persis sama dengan gaya kampanye Obama.

Pada era modern, sejarah bisa diperlakukan sebagai sesuatu yang dihadirkan kembali pada masa kini dengan mengambil kepingan-kepingan dari masa lalu, entah itu berupa gaya atau bentuk, seperti yang terjadi pada peci dan gaya Obama.

Pemikir sosial yang mengupas masalah post modern, David Harvey, dalam karyanya "Time-Space Compression" menyebutnya sebagai diskontinuitas historis. Usaha memilih kepingan-kepingan dan merangkainya menjadi satu rangkaian campuran itu sering disebut sebagai bentuk eklektisisme, yaitu mengambil yang terbaik dari semua sistem.

Menurut Harvey, penilaian dasar estetika yang kemudian hadir adalah spektakuler dan fantastis yang dapat menimbulkan kebahagiaan fisik dan mental yang justrumengandung efek orgasmik.

Namun, keterputusan historis itu juga menandakan pencarian dengan cara serba cepat atau instan yang membawa resiko kehilangan kedalaman, persis seperti tayangan televisi yang menyiarkan beragam gambar dari pelosok dunia tanpa henti dan mencabut para penontonnya dari kondisi sebenarnya untuk berkelana di awang-awang.

Menurut Harvey, kenyataan dalam citra elektronik seperti itu pada dasarnya memberikan kesempatan "mengalami" sesuatu tanpa harus secara langsung mengalaminya.

Pengalaman menyimak pidato Yudhoyono tentu nyata karena suara tegasnya jelas terdengar di telinga. Tapi Obama dan peci sepertinya hanya bisa bertemu di alam awang-awang.(*)

Oleh Oleh Diah Novianti
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009