lembaga yang penuh dengan anak-anak muda yang berdedikasi
Jakarta (ANTARA) - Prof Herawati Sudoyo, PhD, seorang ilmuwan bidang biologi molekuler yang juga salah satu dari pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) Indonesia saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala LBME bidang Penelitian Fundamental.

Dalam mengemban tugasnya, dia ikut berperan dalam mendukung dan memastikan penelitian yang dilakukan Lembaga Eijkman berjalan sesuai arahan dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. "Jadi apa yang kita lakukan dalam penanganan COVID-19 ini bukan saya sendiri bahwa kita bersama-sama setuju akan peran lembaga dalam deteksi virus yang menyebabkan COVID-19," tutur perempuan kelahiran Jawa Timur pada 2 November 1951.

Lembaga Eijkman berfokus diantaranya pada upaya mengembangkan vaksin COVID-19, mempelajari strain virus penyebab COVID-19 dengan melakukan whole genome sequencing, melakukan uji PCR pada spesimen dari suspek COVID-19 untuk mengetahui keberadaan virus sehingga dapat membuktikan seseorang positif atau negatif COVID-19, serta mengembangkan plasma plasma convalescent yang diambil dari darah pasien COVID-19 yang telah dinyatakan empat minggu sembuh.

Plasma darah dari pasien COVID-19 yang telah sembuh mengandung antibodi yang dapat dimanfaatkan untuk membantu memerangi virus yang ada dalam tubuh pasien COVID-19.

Bagi Hera, menjadi peneliti tidak bisa dipaksa melainkan datang dari diri sendiri. Konsisten dan komitmen menjadi bekal utama bagi seorang peneliti. "Kalau kita memang tidak suka tidak akan bisa dipaksa menjadi peneliti karena peneliti itu ada idealismenya," ujar perempuan yang memiliki ketertarikan pada penelitian di bidang membran transduksi energi dan penyakit kompleks, keragaman genom manusia dan epidemiologi penyakit, serta forensik DNA.

Setelah berhasil melakukan satu penelitian, Hera lalu bertanya pada diri apa lagi yang bisa dibuat, dilakukan dan diteliti. Tidak pernah habis rasa ingin tahunya dan laparnya akan penelitian. Bahkan, dari suatu fokus besar penelitian yang sudah ditekuni sejak bertahun-tahun, tetap ada hal baru yang bisa diteliti.

"Selama hampir 20 tahun melakukan penelitian mengenai manusia Indonesia itu tidak pernah ada habisnya karena pertanyaannya itu langsung makin melebar dan makin lama makin rumit dan makin lama makin menarik," ujar alumnus Monash University di Australia itu.

Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu memilih menekuni bidang Biologi molekuler karena bagi dirinya, bidang itu terbilang kompetitif, banyak dimanfaatkan di bidang industri dan masih sedikit sekali orang yang memiliki keahlian di bidang itu. "Itu merupakan suatu tantangan buat saya," tuturnya.

Baca juga: Trisnawati, sosok Kartini di tengah pandemi COVID-19

Baca juga: Lembaga Eijkman akan kembangkan obat terapi pengobatan pasien COVID-19


Keragaman genetik

Hera juga memiliki hasrat besar untuk mempelajari keragaman genetik populasi Indonesia, terutama pada hubungannya dengan resistensi dan kerentanan terhadap penyakit serta melacak migrasi manusia. Tim penelitiannya dijuluki "Gene Hunter" dan telah mengumpulkan sampel dari banyak tempat di seluruh nusantara, termasuk daerah yang sangat terpencil.

Dengan menggunakan penanda DNA, Herawati juga memainkan peran penting dalam identifikasi pelaku kasus bom Kedutaan Australia 2004 yang kemudian membawanya untuk mendirikan Laboratorium DNA Forensik di Lembaga Eijkman. Dia juga memprakarsai penelitian forensik satwa liar dan studi populasi.

Perempuan yang mendapat gelar Profesor Kehormatan dari Sydney Medical School, The University of Sydney, Australia itu adalah anggota aktif dari berbagai organisasi lokal dan internasional, konsorsium, dan panel ilmiah tentang forensik DNA, biorisk dan biosafety, genetika manusia, dan jaringan biologi molekuler.

Hera menuturkan penelitian tentang virus Corona bukan menjadi hal baru bagi Lembaga Eijkman. Kurang lebih lima tahun lalu, Eijkman sudah melakukan surveilans dan mendapatkan adanya virus corona positif di Indonesia. Virus-virus baru yang muncul semakin intensif dipelajari sejak Eijkman memiliki laboratorium penelitian yang menangani khusus virus-virus baru yang muncul.

Penerima Habibie Award 2008 turut terlibat dalam pembentukan dan pengembangan suatu laboratorium di Eijkman yang fokus pada penelitian virus-virus yang baru muncul yang bernama Unit Penelitian Virus Emerging atau Emerging Virus Research Unit (EVRU). Kini, penelitian di laboratorium itu juga berkutat dalam mempelajari virus corona baru penyebab pandemi COVID-19 yang menjadi masalah Indonesia dan dunia.

Penelitian tentang COVID-19 di Lembaga Eijkman pun berkonsentrasi pada deteksi untuk surveilans dan untuk melihat epidemiologi dari COVID-19.

EVRU yang diresmikan pada 2012 ini adalah unit virologi yang baru didirikan di Eijkman Institute yang berfokus pada studi virus endemik dan yang muncul yang beredar di Indonesia.

"Kami membangun suatu lembaga yang penuh dengan anak-anak muda yang berdedikasi," tuturnya.

Utamanya, unit ini melakukan penelitian dan menyediakan data tentang prevalensi virus baru dan yang muncul (etiologi penyakit) khususnya yang memiliki risiko pandemi di Indonesia, serta mengembangkan dan meningkatkan kemampuan diagnostik untuk virus yang muncul.

"Laboratorium ini memang dikembangkan untuk merespons terhadap banyaknya penyakit-penyakit yang 'emerging' (baru muncul), contohnya SARS dan MERS, dan kini SARS-Cov-2 penyebab COVID-19," ujarnya.

COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, China, dan sudah mewabah ke berbagai negara. Bahkan pandemi ini mulai menjangkiti Indonesia sejak awal Maret 2020, dan menyebabkan banyak orang terinfeksi virus berbahaya ini. Hingga Selasa (21/4) pukul 12.00 WIB, di Indonesia terdapat 7.135 kasus positif COVID-19, yang mana 842 orang diantaranya dinyatakan sembuh dan 616 orang meninggal.

Penelitian dasar mempelajari virus penyebab COVID-19 terus dilakukan oleh Lembaga Eijkman untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang menjadi pengetahuan akan strain virus COVID-19 dari orang asli Indonesia.

Informasi itu diperlukan untuk mengetahui asal usul virus dan seberapa cepat virus bermutasi. Informasi itu juga akan membantu pengembangan vaksin yang diperlukan di Indonesia untuk menangkal virus penyebab COVID-19 ini.

Hera menuturkan informasi tentang strain virus COVID-19 yang menginfeksi orang Indonesia asli menjadi penting bukan hanya untuk pengembangan vaksin tapi juga untuk tes deteksi cepat COVID-19 sehingga alat deteksi dan vaksin dapat bekerja lebih responsif terhadap virus yang ditargetkan spesifik. Dalam kata lain, dapat dibuat alat deteksi cepat COVID-19 buatan lokal yang memiliki sensitivitas jauh lebih tinggi dibanding alat yang diimpor dari luar negeri sehingga makin sensitif mendeteksi COVID-19.

"Kita bisa desain vaksin yang yang berdasarkan protein rekombinan," tuturnya.

Berangkat dari hasil penelitian dasar mengenai virus penyebab COVID-19, maka dapat dibuat mutasi-mutasi sendiri untuk mempersiapkan langkah-langkah antisipasi jika virus itu bermutasi sehingga tidak menunggu mutasi terjadi secara alami baru mulai memikirkan tindakan apa yang harus dilakukan.

Ini akan menjadi langkah preventif dalam menangani virus itu ke depannya. Namun, dalam melakukan mutasi di laboratorium itu, pastinya tidak boleh menyebabkan virus lebih virulen dan lebih resisten terhadap pengobatan.

Obat-obat yang ditargetkan juga dapat diuji efektivitasnya langsung terhadap virus di laboratorium Eijkman sehingga obat yang muncul tidak diadopsi langsung tapi perlu dibuktikan efektivitasnya secara ilmiah.

Baca juga: Selandia Baru sumbang Rp1,5 M untuk Indonesia tingkatkan tes COVID-19

Baca juga: Lembaga Eijkman: Konsentrasi virus lebih tinggi di ruang tertutup


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020