Palangka Raya (ANTARA) - Semangat perjuangan sosok Kartini tak hanya diwariskan kepada para wanita yang bekerja pada instansi pemerintahan, politisi, maupun pengusaha, namun juga didapati pada mereka yang berprofesi sebagai wartawati atau jurnalis pada kondisi pandemi COVID-19.

Salah satunya adalah jurnalis pada Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) Kalimantan Tengah, Septina Trisnawati yang mengabdikan dirinya sebagai pejuang informasi sejak 2011.

"Saya bekerja di RRI sejak 2011 berawal sebagai penyiar, kemudian pindah ke bagian pemberitaan di tahun yang sama dan bertahan hingga saat ini," ungkapnya di Palangka Raya, Selasa.

Septina menjelaskan, banyak tantangan yang harus ia hadapi dalam menjalankan pekerjaannya, utamanya pada masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.
Baca juga: Jurnalis Perempuan di tengah pandemi COVID-19

Diketahui bersama, kini wilayah Kalteng didominasi zona merah terkait kasus COVID-19 yang dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan perluasan wilayah penyebarannya.

Meski kondisi di lapangan kian berbahaya dan potensi ancaman virus tersebut terus meningkat, ia mengaku tetap harus melaksanakan tugasnya dengan terjun langsung melakukan peliputan. Walaupun kini, intensitasnya ke lapangan sudah mengalami penurunan jika dibandingkan kondisi normal.

"Kantor mengizinkan melakukan 'work from home' (WFH) bagi yang tidak ada tugas yang mengharuskan ke kantor. Tapi faktanya agak sulit WFH, apalagi berkaitan dengan penyempurnaan penghimpunan informasi di lapangan," katanya.

Hanya saja ia mengakui, sejak pandemi COVID-19 kegiatan lembur sudah jauh berkurang dan lebih banyak waktu luang yang tersedia. Sekalipun ke lapangan dan melakukan peliputan, Septina mengatakan pihaknya selalu berupaya mengikuti berbagai anjuran pemerintah.

Mulai dari menggunakan masker dan sarung tangan, penerapan pembatasan sosial maupun pembatasan kontak fisik, serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat, seperti mencuci tangan secara rutin menggunakan cairan pembersih tangan atau sabun menggunakan air mengalir.
Baca juga: Jurnalis perempuan pertama dan Ibu Soed diusulkan jadi pahlawan

"Tetap harus pergi ke lapangan guna menghimpun informasi yang dibutuhkan dan menyiarkannya kepada publik, meski saat pandemi COVID-19, sudah menjadi risiko dari pekerjaan saya. Kalau boleh dibilang, ini salah satu cara pengabdian, sekaligus kontribusi saya dan rekan-rekan jurnalis lainnya untuk bangsa dan negara tercinta," kata dia.

Lebih lanjut, wanita lulusan Universitas Kristen Petra Surabaya jurusan sastra Inggris tersebut bercerita, pada awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Namun saat adanya peluang tersebut dan ia ambil, ternyata banyak hal menarik yang didapat.

Septina mengatakan ada kepuasan tersendiri setelah menghasilkan karya yang bisa didengar masyarakat. Terlebih karya tersebut memberikan banyak manfaat, agar berbagai pihak menerima informasi yang akurat dan bukan informasi palsu atau kabar bohong atau hoaks.

Meskipun terkadang karenanya harus begadang, dikejar batas waktu atau 'deadline' namun ia tetap merasa senang dan tak jera. Banyak hal baru yang bisa ia dapatkan saat bekerja.

"Menjadi jurnalis juga membuat saya sadar bahwa masih banyak yang belum diketahui dan banyak yang perlu dipelajari," kata Septina.

Ia menjabarkan, bekerja sebagai jurnalis radio juga menuntut dirinya terus berpacu dan meningkatkan kemampuan komunikasi, tidak gampang terbawa perasaan dan gigih. Bahkan menurutnya, ia merasa banyak bertumbuh secara karakter dan kemampuan ketika menjalani profesi tersebut.
Foto Arsip - Septina Trisnawati saat dialog pagi bersama narasumber. (ANTARA/Dokumentasi Pribadi)


"Seandainya dulu saya tahu di masa depan akan menjadi jurnalis, mungkin kuliahnya bakal ambil jurusan jurnalistik," ucapnya.

Banyak tantangan yang harus ia hadapi saat bekerja sebagai jurnalis, salah satunya bersaing dan berdesak-desakkan dengan rekan satu profesi yang kebanyakannya adalah laki-laki.
Baca juga: Tiga jurnalis perempuan luncurkan buku "Bukan Perempuan Biasa"

Selebihnya, ia mengungkapkan, asal memiliki kesiapan fisik yakni kesehatan, mental dan penguasaan materi, maka menjadi jurnalis perempuan sama saja dengan jurnalis laki-laki.

"Salah satu pengalaman tak terlupakan selama menjadi jurnalis, yakni meliput mantan PM Inggris Tony Blair yang pernah datang ke Palangka Raya," ujar Septina.

Pada kesempatan ini pula ia mengungkapkan, Kartini merupakan sosok inspiratif, karena mampu melampaui orang-orang pada zamannya melalui pemikirannya.

"Menurut saya yang membatasi seorang wanita untuk maju di zaman sekarang adalah pikirannya sendiri. Kita ini sudah tidak hidup pada zaman yang serba sulit bagi perempuan, seperti halnya di zaman Kartini hidup," ucapnya.

Untuk itu, dirinya menyimpulkan kesempatan untuk maju dan berkembang bahkan bisa mengimbangi laki-laki dalam berkontribusi terhadap pembangunan, potensinya sangatlah besar dan terbuka lebar.
 

Pewarta: Kasriadi/Muhammad Arif Hidayat
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020