Jakarta (ANTARA) - Lagi-lagi, kasus penembakan warga sipil oleh aparat keamanan kembali terjadi. Kali ini menelan dua warga sipil bernama Eden Armando Bebari dan Roni Wandik . Keduanya adalah anak muda yang tengah berburu ikan di sungai di sekitar Mile 34, Distrik Kwamki Narama. Kawasan ini masuk dalam area raksasa tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia.

Menanggapi hal ini, kapolda Papua, Paulus Waterpauw telah menyatakan permohonan maaf, dan membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus ini secara hukum.

Namun, yang cukup disayangkan dalam kasus ini adalah pernyataan Kapolda Papua yang menekankan bahwa pihak aparat keamanan gabungan kepolisian dan TNI cukup sulit untuk membedakan antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan warga sipil yang berlalu lalang di kawasan tersebut.

"Sementara situasinya begitu terbuka, sehingga terkadang kami sulit juga untuk bisa membedakan mana kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kita, kelompok yang senantiasa mengganggu masyarakat biasa," Ujar Kapolda Papua, Irjen Pol. Paulus Waterpauw, melalui wawancara dengan awak media, Rabu (14/4).

Baca juga: Komnas HAM: Panglima TNI-Kapolri turun tangan hentikan kekerasan Papua

Sejarah Pelanggaran HAM di Papua

Terlepas dari apakah kasus di atas kelalaian manusia atau bukan. Hal ini tentu menjadi catatan sejarah pelanggaran HAM di Papua. Sejarah mencatat bahwa terdapat belasan kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dan kekerasan terhadap warga sipil. Kasus-kasus itu di antaranya kasus besar seperti Biak Berdarah 1998, peristiwa Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001 dan Wamena 1 April 2003 (Akbar, 2019)

Pada 2014 lalu misalnya, terjadi peristiwa penembakan yang menewaskan empat warga sipil. Menanggapi kasus ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menjelaskan bahwa sepanjang 2019 hingga 2020 telah terjadi sekian kali kasus penembakan yang menyasar warga sipil.

"Pada tahun 2019 itu sekitar ada beberapa kasus (penembakan) baik di Merauke, Deiyai, Nduga, dan Intan Jaya. Kemudian di tahun 2020 itu ada di Mamberamo Tengah, Intan Jaya, dan Timika," Ucapnya dalam kesempatan diskusi dengan media lokal Papua.

Baca juga: Komnas HAM minta pemerintah evaluasi pendekatan keamanan di Papua


Memantik Propaganda Negatif

Pada dasarnya, dalam sanubari masyarakat asli Papua tertanam bahwa mereka adalah bangsa yang berbeda dengan Indonesia dan memiliki sejarah negeri yang berbeda pula.

Menurut Zainuddin Djafar, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia menjelaskan bahwa masyarakat Papua merasakan dorongan yang semakin kuat untuk memisahkan diri dari NKRI akibat beberapa hal berikut ini 1) Penindasan 2).Adanya ruang yang semakin luas bagi seseorang untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas serta 3).Semakin banyaknya informasi yang dapat diakses mengenai masa depan Papua yang lebih baik .

Bekas sejarah pasca penembakan terhadap warga sipil di Papua oleh oknum aparat, tentu tidak menguap begitu saja. Hal ini memberikan efek domino bagi masyarakat asli Papua. Efek dominonya yaitu semakin menguatnya propaganda dan beredarnya narasi negatif terhadap NKRI dan ini tentu dapat mengikis jiwa nasionalisme masyarakat asli Papua terhadap NKRI.

Clyde R. Miller dari Universitas Columbia menjelaskan bahwa propaganda merupakan pendapat yang diekspresikan atau tindakan-tindakan oleh individu atau kelompok yang sengaja dirancang untuk mempengaruhi pendapat atau tindakan individu atau kelompok lain untuk mencapai tujuan tertentu.

Dengan penetrasi internet di Indonesia yang semakin baik, masyarakat semakin bebas berpendapat dan menyebarkan narasi yang mengandung muatan opini yang sesuai dengan pikiran mereka.

Jika membaca berbagai media massa online di Papua, maka dapat diamati bahwa kasus pelanggaran HAM yang menelan warga sipil dibingkai (framing) sebagai kesalahan dari pihak aparat keamanan Republik Indonesia.

Baca juga: LAKSI kritik Komnas HAM terkait tragedi Paniai Papua

Beropini yang sesuai dengan fakta tidaklah salah, namun dampaknya bahwa jejak digital dari opini negatif tersebut akan terus bersemayam di dunia maya.

Narasi adalah representasi realitas, pemerintah harus paham betul efek domino ini. Semakin banyak kelalaian yang dilakukan oleh aparat keamanan saat menjalankan standar operasional prosedur (SOP) dalam melaksanakan tugas, maka peluang kasus di atas untuk terulang kembali juga semakin besar.

Akibatnya, narasi propaganda yang menyudutkan NKRI di mata warga Papua akan terus bergulir. Tidak dipungkiri lagi bahwa propaganda merupakan salah satu senjata perang yang tidak bisa dianggap main-main, pesan propaganda tidak memusnahkan jasad namun mampu terpatri dalam pikiran seseorang.

Begitu kuatnya efek propaganda, saat perang dunia kedua, Hitler sampai mendirikan Kementerian Pencerahan Publik dan Propaganda (Reichsministerium für Volksaufklärung und Propaganda) yang salah satu pekerjaannya adalah memproduksi film-film propaganda.

Terlepas dari efek domino tersebut, sebaiknya aparat keamanan Republik Indonesia lebih berhati-hati lagi. Tolong “jangan asal tembak”.

Orang Papua itu orang Indonesia juga. Mereka hadir dalam Kongres Sumpah Pemuda II tahun 1928 (Katharina, 2019). Mereka adalah bagian dari kita. Satu bahasa Indonesia, satu bangsa Indonesia dan satu tanah air, Tanah Air Indonesia.

Bukankah ini yang melandasi semangat perjuangan dan mengikat kita untuk bersatu dari Sabang hingga Merauke.

*) Faris Budiman Annas, peneliti dan dosen Universitas Paramadina

Copyright © ANTARA 2020