Jakarta (ANTARA) - Menjelang bulan ketiga setelah pengumuman kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, wacana penanganan pandemi oleh pemerintah belum menunjukkan visi yang jelas.

Ketika berbagai institusi kesehatan menyebutkan penyebaran wabah bakal meluas oleh adanya relasi fisik yang tak berjarak, pemerintah mengeluarkan imbauan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Physical distancing jadi gerakan pertama masyarakat di awal masa penularan. Semua tercekam saat pasien positif beranjak dari angka dua, empat, puluhan, ratusan, dan saat tulisan ini dibuat telah menyentuh angka tujuh ribuan. Dan yang juga penting, kematian akibat penyakit itu di Indonesia mencapai 8 sampai 9 persen dari yang dinyatakan positif terserang COVID-19.

Walaupun imbauan karantina mandiri dengan jaga jarak fisik tak segera memperoleh sambutan serempak, namun beberapa pihak menjalankan dengan patuh.

Work from home jadi kecenderungan baru di kalangan masyarakat luas. Ini terindikasi dari banyak hal: kota jadi sepi, ritual ibadah seminggu sekali pelan-pelan pindah ke rumah, para siswa dan mahasiswa berkegiatan dari jarak jauh dengan pengajarnya.

Dampak ekonomi yang memburuk juga tampak di sana sini.

Para pekerja harian makin sulit memperoleh rezeki sehari-hari, pedagang keliling makin sulit meraih target pendapatan sebagaimana yang biasa dikantongi, hingga beberapa sektor industri merumahkan bahkan mem-PHK karyawannya.

Riak-riak persoalan sosial turut bermunculan.

Entah mana dulu yang sebenarnya muncul: persoalan pandemi memunculkan persoalan ekonomi kemudian diikuti persoalan sosial atau persoalan pandemi mendorong persoalan sosial yang kemudian memicu masalah ekonomi.

Seiring dengan berjalannya waktu, permasalahan berkembang menjadi multidimensi, mikro hingga makro.

Sementara pemerintah dituntut memulihkan keadaan normal, hingga hari ini langkah-langkah yang diambil belum mengindikasikan bakal memulihkan situasi.

Angka penularan terus bertambah, sebagaimana diumumkan juru bicara pemerintah setiap hari. Demikian juga dengan angka kematian pasien positif yang dikonfirmasi positif terserang virus corona penyebab COVID-19.

Namun, yang membesarkan hati, jumlah pasien yang berhasil sembuh juga bertambah.

Terlepas dari keraguan berbagai pihak, data resmi pemerintah menunjukkan bahwa tak terlihat adanya ledakan penularan maupun kematian sebagaimana di Amerika dan Singapura. Tak ada juga gejolak sosial parah imbas dari larangan berada di luar rumah sebagaimana di India.

Di luar keadaan yang tampak ‘biasa-biasa’ itu, masyarakat disuguhi manuver kebijakan pemerintah, yang tak jarang membuat bingung. Contoh, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang terbilang paling awal merespons merebaknya wabah meluncurkan kebijakan melepaskan sebagian  narapidana.

Visinya manusiawi : menghindarkan penularan antar penghuni lembaga pemasyarakatan. Ini relevan, jika yang dikhawatirkan adalah penularan akibat jumlah penghuni lapas yang melebihi kapasitas.

Memang rata-rata lapas Indonesia terlalu penuh. Manifestasi kebijakan itu, berdasar pernyataan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, hingga 3 April 2020 telah dilepas sebanyak 22.158 narapidana umum dan anak di seluruh Indonesia.

Melepas napi di kala wabah merebak tidak hanya dilakukan di Indonesia. Infografis kerjasama IJCR, IJRS, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi dan Peradilan serta Kementerian PPN / Bappenas 2020 menyebutkan Iran melepas 85.000 napi, Thailand 8.000 napi, Turki 90.000-100.000 napi, Polandia 9.000-12.000 napi, New Jersey 1.000 napi, dan Afghanistan 10.000 napi.

Yang menjadi kebingungan masyarakat. Sementara banyak napi telah dilepas, sebagian belum siap hidup di luar lapas sehingga melakukan kejahatan lagi.

Namun kekhawatiran ini ditepis lewat infografis gabungan lembaga di atas. Disebutkan, 10,18 persen dari napi berdasar data 2017 hingga 31 Maret 2020 mengulang kejahatannya dan 0,07 persen dari napi yang dilepas terkait COVID-19 kembali melakukan tindak pidana.

Respons Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly atas keadaan itu, ia mengaku pusing dengan adanya napi yang kambuh. Ini jadi paradoks dalam pikiran masyarakat.

Sementara napi berkekuatan hukum tetap dilepaskan, masyarakat bebas yang melanggar aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bisa dikurung selama enam bulan. Melihat besarnya potensi yang melanggar PSBB, tampaknya lapas bakal penuh. Jadi seperti hanya gantian penghuni.

Kebijakan lain yang juga tak kunjung tegas berkaitan dengan physical distancing adalah posisi pemerintah terkait mudik 2020.

Memang pada akhirnya Presiden Jokowi pada 21 April 2020 melarang semua kalangan, bukan hanya ASN, TNI dan Polri, untuk mudik. Namun wacananya sempat maju mundur.

Suatu saat larangan mudik diusulkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Ini untuk mencegah mudik dini masyarakat yang mengalami kesulitan hidup akibat pembatasan gerak di wilayah episentrum penularan DKI Jakarta.

Namun larangan Gubernur DKI itu dibatalkan oleh Menteri Perhubungan ad interim lantaran belum dikaji implikasi ekonominya. Belakangan muncul kembali usul mencegah mudik, sebab menurut catatan Masyarakat Transportasi Indonesia hingga pertengahan April 2020 sudah ada 900 ribuan orang mudik dini.

Jika tak ada larangan, masih sekitar 1,3 juta orang yang hendak mudik dan tentu berpotensi menyebarkan virus di kota tujuan mudik. Angka-angka potensi mudik ini bervariasi. Beda lembaga beda besarannya.

Namun yang jadi pokok perhatian, mudik yang dibiarkan bakal memunculkan ledakan penularan baru di berbagai wilayah Indonesia.

Di sini terlihat, penanganan pemerintah untuk meminimalkan resiko sekecil-kecilnya, berbenturan dengan banyak hal. Penyebaran itu sendiri berlangsung begitu cepat, sedangkan implikasi ekonomi dan sosial turut mengintai. Sementara beberapa kebiasaan budaya masyarakat sulit ditinggalkan.

Ini mengesankan masyarakat sulit di atur. Tak heran, berbagai persoalan baru sudah di ambang pintu. Tak mungkin memang, menuntut hasil sempurna.

Hanya saja, pemerintah perlu mengkomunikasikan secara jelas dan transparan visinya jika penularan berlangsung panjang. Tanpa itu, masyarakat seakan menonton sajian yang membingungkan. Sementara kehidupan yang makin sulit, terasa mencekam.

*) Dr. Firman Kurniawan S adalah pemerhati budaya dan komunikasi digital serta pendiri LITEROS.org

Copyright © ANTARA 2020