Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah siap dikritisi oleh berbagai kalangan dalam pengelolaan utang meskipun pengelolaan utang saat ini sudah lebih baik dibanding masa lalu.

"Meski pengelolaan sudah lebih baik, saya yakin orang akan terus mengkritisi, tapi itu hal yang wajar," kata Menkeu dalam jumpa pers di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Minggu.

Ia menyebutkan, selama kritikan itu basisnya adalah informasi yang komplit, pihaknya siap menanggapi, tapi kalau hanya retorika dan manfaatnya tak banyak maka pihaknya akan menahan diri.

"Menkeu harus hati-hati menjaga kata-katanya dan seluruh informasinya karena konstituen banyak, harus bijaksana, hati-hati, dan tidak ada ikatan politik," katanya.

Menkeu menyebutkan, sudah ada kemajuan dalam pengelolaan utang termasuk utang luar negeri di mana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada seluruh komponen pembukuan mengenai utang.

"Seluruh komponen pembukuan mengenai utang sudah dalam opini WTP untuk seluruh bagian baik dari biaya utang, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri, pembayaran pokok surat berharga negara, kinerja makin membaik, juga ada penerapan pengendalian internal dan `compliance` terhadap aturan perundangan," katanya.

Ramainya isu utang yang digulirkan oleh banyak kalangan (LSM, pengamat, parpol) pada masa kampanye pilpres ini mendorong Menkeu menjelaskan posisi utang Indonesia termasuk dari luar negeri.

Menurut dia, topik utang sering diangkat dalam tema kampanye atau evaluasi kinerja pemerintah, padahal masalah utang ini terjadi di banyak negara.

"Terlepas dari pilihan politik masing-masing, fakta jangan sampai diburamkan. Isu utang adalah isu yang di semua negara ada. Yang terpenting dari pemerintah yang saat ini mengelola, kita perlu menyampaikan transparansi dan akuntabilitasnya," katanya.

Ia menyebutkan, masalah utang di Indonesia menjadi pembahasan serius karena media, masyarakat termasuk LSM menggunakan isu utang ini sebagai refleksi terhadap kekecewaan di masa orde baru. Menurut Sri Mulyani, pada masa orde baru inilah posisi utang ditempatkan tidak transparan.

"Bahkan sering disebut, keuangan negara selama zaman orba bocor 30 persen," katanya.

Namun menurut dia, sekarang ini rejim berubah, yaitu keseluruhan proses sejak reformasi dalam prosedur proses penganggaran semua dibahas oleh pemerintah dan DPR yang disetujui dalam UU APBN. Di antara komponen dalam APBN antara lain pembiayaan defisit atau utang.

Masalah utang, lanjut Sri Mulyani, harus dikelola secara terbuka. Meskipun ia mengatakan ada suatu periode pemerintahan di Indonesia, justru bukan utang yang dominan tetapi penjualan aset dari pengambilalihan dari swasta.

"Tapi sejak 2001 tidak lagi privatisasi atau penjualan aset sebagai hal yang dominan melainkan penerbitan surat berharga," jelasnya.

Sri Mulyani menambahkan kenaikan jumlah utang secara nominal, baik dalam bentuk rupiah, yen, atau dolar AS terjadi karena akumulasi utang pada masa lalu. Akumulasi ini disebabkan masa jatuh tempo dan strategi fiskal, karena terkait langkah "refinancing" atau "repayment" (pembayaran kembali).

"Utang kita naik tinggi sewaktu krisis ekonomi 97-98, bukan hanya karena nominal utang yang meningkat tetapi juga sebagai dampak dari depresiasi rupiah ketika itu," katanya.

Saat ini kata Sri Mulyani, Indonesia masih memiliki ikatan utang di beberapa kreditor utama yaitu Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia. Rasio utang Indonesia terhadap PDB setiap tahunnya terus turun meski jumlah hutangnya terus bertambah. Pada tahun 2009 ini rasio utang terhadap diperkirakan hanya mencapai 32 persen atau turun dari tahun 2004 yang mencapai 57 persen.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009