Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah 184).
Jakarta (ANTARA) - Puasa pada bulan Ramadhan bagi orang beriman adalah momen yang ditunggu-tunggu karena semua ibadah ditingkatkan pahalanya.

Bahkan ada yang suka memunculkan pernyataan bahwa tidurnya orang berpuasa pun mendapatkan pahala. Pernyataan itu didasarkan pada hadits yang oleh banyak kalangan dinyatakan lemah (dhaif).

Terlepas dari itu, berpuasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi umat Islam. Allah ta'ala telah mewajibkan berpuasa bagi umat Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang Allah SWT wajibkan kepada umat-umat sebelumnya.

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (QS. Al Baqarah 183).

Dari ayat ini dinyatakan bahwa puasa wajib bagi orang-orang yang beriman (mukmin) dan tidak diwajibkan bagi orang-orang yang tidak beriman. Kedudukan iman dalam agama Islam sangat penting karena menjadikan seseorang berbeda dengan insan lainnya.

Puasa juga bukan hanya diwajibkan kepada umat Islam saja tetapi juga pada umat-umat sebelumnya, seperti yang diperintahkan pada umat Nabi Isa AS, Nabi Musa AS dan seterusnya.

Baca juga: Keutamaan bersedekah di bulan Ramadhan

Berpuasa lebih baik

Al Quran ayat berikutnya menyatakan: "(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah 184).

Dalam ayat ini terdapat beberapa kata yang perlu digaris bawahi. Pertama, hari-hari tertentu. Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan ini menunjukkan bahwa hari-hari tersebut sedikit, tidak banyak. Artinya puasa itu bukan berbulan-bulan, bukan bertahun-tahun, bukan berminggu-minggu, akan tetapi ia hanya pada hari-hari yang terbilang.

Kedua, orang sakit. Sakit yang dimaksud di sini yaitu sakit yang berat. Adapun kalau cuma sakit ringan, pilek (flu) sedikit, atau hanya sariawan sedikit yang kalau kita puasa tidak terganggu, maka itu tidak dimasukkan dalam ayat ini.

Ketiga, safar atau muslimin yang melakukan perjalanan. Di sini Allah pun juga tidak menyebutkan safar jauh atau safar dekat. Pokoknya selama itu disebut safar, boleh tidak berpuasa.

Sebagian ulama membuat batasan bahwa boleh tidak berpuasa jika melakukan perjalan dalam jarak tertentu (sekitar 80 km), namun ulama lain mengatakan selama melakukan perjalanan (safar) maka dia boleh tidak berpuasa.

Keempat, mengganti puasa. Artinya, sakit dan safar dan alasan lain (haid atau nifas) tidak menghilangkan kewajiban untuk menggantinya (mengqadha).

Kelima, mengganti puasa dengan puasa atau membayar fidyah. Mengganti puasa dengan berpuasa, artinya mengganti sebanyak bilangan hari tidak berpuasa pada Ramadhan dengan berpuasa di bulan lain setelah Ramadhan.

Membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin. Ini menunjukkan bahwa fidyah itu tidak boleh berupa uang karena Allah sudah menjelaskan bahwa makna fidyah itu memberi makan, bukan memberi uang.

Kata-kata tha’am dalam bahasa Arab itu bermakna makanan pokok berupa burr. Maka, diqiyaskan kepada burr atau makanan pokok itu untuk semua makanan pokok yang ada di sebuah negeri.

Keenam, berpuasa lebih baik daripada membayar fidyah. Sudah banyak kajian secara Islam maupun ilmiah tentang manfaat puasa untuk kesehatan. Jadi jika ada pilihan berpuasa atau tidak (karena safar ringan atau sakit ringan) maka berpuasa lebih baik (untuk dunia akhirat dan kesehatan), bahkan dari sekadar membayar fidyah.

Baca juga: Protokol kesehatan yang wajib dijalani saat Ramadhan dan pandemi

Puasa dan pandemi

Lalu, bagaimana dengan usulan agar di bulan Ramadhan tahun ini (karena pandemi COVID-19) umat Islam, khususnya di Indonesia agar tidak berpuasa tetapi cukup membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.

Usulan yang terkesan soleh karena meringan umat Islam untuk tidak berpuasa dengan alasan COVID-19 dan sebagai pengganti memberi orang miskin dan tidak mampu yang kehilangan pekerjaan atau terputus sumber pendapatannya.

Mungkin pengusul mengacu pada ibadah lain, seperti shalat berjamaah, bahkan shalat Jumat bisa diganti dengan shalat Zuhur.

Ide mengganti puasa dengan membayar fidyah jelas tidak relevan karena tidak ada alasan untuk tidak berpuasa dalam suasana pandemi COVID-19. Umat Islam yang sehat dan tidak dalam perjalanan --sebagaimana yang disyaratkan oleh QS. Al Baqarah 184-- tidak punya dasar untuk tidak berpuasa.

Bagi mereka yang sakit, baik karena virus corona atau karena sakit lain yang memberatkan, diizinkan untuk tidak berpuasa sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Baqarah 184 dan menggantinya dengan berpuasa di bulan lain dan atau membayar fidyah.

Sekretaris Satgas COVID-19 Majelis Ulama Indonesia, KH M Cholil Nafis mengatakan puasa di saat wabah COVID-19 saat ini tidak bisa diganti dengan membayar fidyah, kecuali terhadap orang-orang yang sudah ditentukan sesuai syariah.

Di masa pandemi COVID-19, kata dia, tak ada halangan untuk melaksanakan puasa. Membayar fidyah hanya diberlakukan kepada wanita hamil dan orang menyusui.

Membayar fidyah juga dibolehkan bagi orang tua yang tak mampu berpuasa karena berusia lanjut dan bagi orang sakit yang tidak ada harapan sembuh.*

*dari berbagai sumber di antaranya,
1.https://www.radiorodja.com/47995-penjelasan-ayat-tentang-puasa-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-184-185/
2. aplikkasi MyQuran myquranina.com
3.https://www.antaranews.com/berita/1437896/mui-puasa-saat-wabah-covid-19-tidak-bisa-diganti-bayar-fidyah

Baca juga: Ketum PGI: semangat ibadah puasa di tengah pandemi COVID-19

Quraish Shihab imbau masyarakat ikuti ketetapan pemerintah



 

Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020