Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto mengungkapkan pengelolaan utang luar negeri Indonesia dari segi rasio dan rating menunjukkan kinerja yang terbaik selama masa pemerintahan SBY.

Dalam sejarah kredit rating RI, kata Rahmat di Jakarta, Minggu pada rejim sebelum SBY pernah mengalami `selective default` dua kali, artinya perekonomian negara dianggap brengsek dan tidak bisa bayar utang.

"Sejak 2005 peringkat RI membaik dan tahun 2009 Moody`s justru memperbaiki `outlook` rating RI dari `stable` ke positif, meskipun di tengah krisis banyak negara yang rating utang turun termasuk negara maju seperti Jepang, Inggris dan AS," katanya.

Selain itu, fakta menunjukkan bahwa meski utang nominal bertambah tetapi PDB naik tajam sehingga rasio utang terhadap PDB turun tajam terutama sejak 2005 dari 54 persen menjadi 32 persen pada 2009.

Data Depkeu juga menunjukkan bahwa tambahan pinjaman luar negeri neto negatif sejak 2005. "Artinya kita membayar pinjaman luar negeri jauh lebih besar dari penarikan pinjaman baru," kata Rahmat.

Sementara mengenai jumlah utang yang bertambah nominalnya adalah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SUN dan Sukuk) rupiah yang diterbitkan di dalam negeri agar dapat mengurangi pinjaman luar negeri sekaligus mendorong pengembangan pasar modal.

"Rejim sebelum Pemerintahan SBY justru hanya mengandalkan penjualan aset negara melalui privatisasi dan penjualan aset bank rekap. Ada mantan menteri yang meng`amini` penjualan aset ke asing, meskipun sekarang bilang ketika itu dia tidak berdaya," katanya.

Prestasi kinerja lain, lanjut Rahmat adalah hasil audit BPK yang memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian atas bagian anggaran pengelolaan utang dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2008.

"Artinya khusus untuk pengelolaan utang, BPK telah memberikan nilai terbaik meskipun LKPP secara keseluruhan masih `disclaimer` karena masih adanya kelemahan pengeloaan keuangan di berbagai Kementrian/Lembaga," katanya.

Pengelolaan utang negara saat ini, lanjut Rahmat juga sudah dipenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas sesuai prinsip `good governance` karena telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan, misalnya UU No 24/2002 tentang Surat Utang Negara, UU 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara/Sukuk Negara, PP 2/2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, dan UU APBN yang setiap tahun ditetapkan DPR bersama Pemerintah.

"Penambahan utang harus melalui mekanisme APBN dengan persetujuan DPR. Pengelolaannya dilakukan Pemerintah dalam hal ini Menkeu, Meneg PPN/Ketua Bappenas, dan BI sementara pengawasan pasar Surat Berharga Negara (SUN dan Sukuk) dilakukan oleh Bapepam dan LK.

Data Depkeu menyebutkan rasio utang terhadap PDB (debt to GDP), pada tahun 1995 29 persen, tahun 1996 24 persen, tahun 1997 38 persen, tahun 1998 58 persen.

"Jadi jelas, saat ini rasio utang 32 persen lebih rendah dari sebelum masa krisis 1998," kata Rahmat.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009