Jakarta (ANTARA News) - Akhir 1980an, Erich Follath, wartawan mingguan Jerman Der Spiegel, mengunjungi kota suci syiah di Qom, Iran, ditemani seorang pemandu.

"Anda mau menemui Ayatullah Muhammad Taqi Mizbah Yazdi, Kepala Departemen Pendidikan Dar Rah-e Haq (Institut Ilmu dan Budaya)?" tanya pemandu kepada Erich.

Asal tahu saja, pada Mei 2006, Ayatullah Mizbah Yazdi --ahli tafsir Alquran, sufi dan memahami masalah-masalah kontemporer seperti liberalisme dan pluralisme-- mengunjungi Indonesia guna menyampaikan kuliah pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS), Jakarta.

Semula Erich tidak tertarik pada tawaran pemandunya karena selama berada di kota dimana puteri Rasulullah Muhammad SAW Siti Fatimah dimakamkan itu, dia lelah mewawancari lusinan ahli tafsir.

Tapi dia berubah pikiran setelah pemandu menerangkan bahwa Mizbah Yazdi adalah pemikir paling cemerlang dan amat berpengaruh di Qom serta murid paling bersemangat dari Ayatullah Khomeini.

Mizbah pun diwawancarai. Erich kemudian menyimpulkan bahwa sang mullah adalah seorang eksentrik yang kosmopolit dan melek teknologi informasi.

Tapi dia juga seorang ultrakonservatif garis keras dan teolog radikal yang terang-terangan mendukung bom bunuh diri, menjadi promotor fatwa mati terhadap penyair Inggris Salman Rushdie, berikrar menuntut balas terhadap siapapun yang menyakiti Islam, dan menyebut zionis sebagai sumber angkara di muka bumi.

Ulama kelahiran tahun 1934 ini menuntut ilmu di Qom dan menjadi murid Khomeini pada 1950an. Dia melahap semua ilmu, termasuk filsafat politik dan pemikiran filsuf besar Islam Mulla Sadra, dan tertarik pada segala diskusi mengenai ideologi.

Dia tidak menonjolkan diri, kecuali saat memimpin perkumpulan yang diambil dari nama perguruannya, Haqqani, tetapi ini bukan tariqat sufi Naqsabandiyah Haqqani.

Mantan dosen Universitas Teheran, Farhang Rajaee, dalam bukunya "Islamism and Modernism; The Changing Discourse in Iran" menuturkan, gerakan Haqqani dikenal luas pada 1989 setelah fatwa mati terhadap Salman Rushdie dimana Mazhab Haqqani bersumpah akan mengeksekusi mati Rushdie.

Pemikiran mereka mengingatkan orang Iran kepada gerakan kanan radikal di pertengahan 1990an, meski sebenarnya mereka sudah muncul pada 1964 di tengah pertarungan ideologis yang hebat antara teologi Islam versus marxisme dan sosialisme yang diantaranya dikenalkan pemikir besar Iran, Ali Shariati.

Semasa berkuasa, Imam Khomeini berusaha mencegah kelompok Haqqani tidak mendominasi perpolitikan Iran. Untuk ini, Khomeini mendudukkan tokoh kiri Mir Hossein Mussavi yang kini menjadi figur sentral oposisi utama Iran, menjadi Perdana Menteri.

Sepeninggal Khomeini, kaum Haqqani mencengkeram hampir semua pilar kekuasaan.

Begitu Mizbah menjadi kepala kehakiman Iran, alumni Haqqani menguasai posisi-posisi kunci seperti Kementerian Intelijen dan Keamanan, Organisasi Dakwah Islam, Garda Republik, Mahkamah Revolusi, Mahkamah Khusus Mullah, sampai Pengadilan Media yang mengendalikan media massa.

Ahmadinejad

Haqqani adalah juga tempat menimba ilmu seorang pemuda ambisius nan saleh, namanya Mahmoud Ahmadinejad.

Semasa remaja, putera pandai besi ini selalu tertarik pada paham-paham berbau revolusi sosial Islam hingga sempat berkenalan dengan pemikiran Islam Kiri dari filsuf Ali Shariati yang berusaha mengharmonikan sosialisme dengan Islam.

Umur 20an, Ahmadinejad menjadi murid Mizbah Yazdi di Madrasah Haqqani dan asyik kemasuk dalam pemikiran Haqqani yang disebut Farhang Rajaee sebagai kutub pemikiran politik paling berpengaruh di Iran dewasa ini.

Pada 2005, Mizbah mengambil langkah yang tidak lazim dilakukan seorang Ayatullah, yaitu mendukung secara terbuka calon presiden (Ahmadinejad). Sejak itu, ulama ultrakonservatif ini dikenal sebagai mentor ideologis dan spiritual Ahmadinejad.

Gerakan Haqqani sebenarnya mirip gerakan Wahabi di Arab Saudi atau Evangelisme di AS dimana mantan Presiden George Bush menjadi pengikutnya. Farhang Rajaee menyebutnya sebagai perpaduan tradisionalisme (sufisme) dan radikalisme.

Pengikut Haqqani memang terkenal radikal, diantaranya tercermin dari retorika keras Ahmadinejad saat menyerukan penghapusan Israel dari peta dunia, kendati seruan itu sebenarnya hanya sebatas pandangan metafisik.

Belasan tahun setelah berbincang dengan Mizbah Zahdi, Erich Follath mewawancarai Ahmadinejad. Erich mendapati Ahmadinejad sebagai seorang yang santun dan mempesona, namun agak mistis dan mesianik.

Erich Follath dalam Der Spiegel (22/6) mengungkapkan, di depan parlemen Iran, Ahmadinejad mengaku ditaburi cahaya saat berpidato di Majelis Umum PBB di New York sehingga para pemimpin dunia tersihir untuk menyimak pidatonya.

Ahmadinejad mengaku menjadi pengikut tariqat Haqqani hanya untuknya seorang, namun para mullah moderat mencurigainya. Para mullah memiliki alasan untuk curiga, mengingat mendiang Khomeini sendiri tidak pernah mau dekat dengan kelompok Haqqani.

Bahkan penerus Khomeini, yaitu Ayatullah Ali Khamenei, turut mencurigai tariqat itu meski Khamenei yang kemudian membela Ahmadinejad dalam sengketa pasca pemilu 12 Juni.

Elite politik dan mullah Iran juga kerap menyorot patronase spiritual Mizbah Yazdi-Ahmadinejad. Mereka heran mengapa ulama yang menjadi penasihat tidak resmi Ahmadinejad itu, harus melibatkan diri dalam semua keputusan yang seharusnya menjadi kewenangan Presiden Iran.

Ahmadinejad memang rutin menemui sang mentor setiap minggu untuk mendapat siraman rohani, apalagi mullah yang kini berusia 74 tahun itu mengepalai Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, yang sangat referensial di Iran.

Taqqiya

Pada Desember 2006 setelah meninggalnya Ayatullah Ali Meshkini, ulama radikal itu kalah bersaing dengan para mullah moderat pimpinan mullah kaya raya Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dalam menduduki kursi Ketua Majelis Pakar yang sangat berkuasa di Iran.

Mizbah tersingkir, lalu mengumpulkan orang-orang yang tidak bersetuju dengan pandangan kelompok reformis dan bertekad membersihkan syiah Iran dari gerakan reformis yang disebutnya sebagai "sekelompok pemabuk penenggak arak."

Para ulama dan tokoh Iran mencemaskan pandangan teologis Ayatullah Mizbah yang cenderung menentang kompromi, bahkan mantan Presiden Mohammad Khatami yang mendukung Rafsanjani menyebut Mizbah sebagai "teoritikus kekerasan."

"Jika implementasi nilai-nilai Islam tidak mungkin dilakukan kecuali dengan kekerasan, maka kekerasan itu menjadi wajib," kata Ayatullah Mizbah seperti tertulis dalam buku Farhang Rajaee halaman 178.

Prinsip itu lalu dihubungkan dengan konsep "taqqiya" (berkelit demi kebaikan umat yang lebih besar) guna melawan ancaman yang bakal merobohkan Republik Islam.

Erich Follath curiga, jangan-jangan "taqiyya" yang berada dibalik sengketa suara pemilu demi mencegah naiknya kubu reformis. Tetapi, dia lalu meralatnya karena terlalu instan menyimpulkan apa yang terjadi di Iran sekarang.

Bahkan Israel, Presiden Barack Obama dan negara-negara Teluk hati-hati berkomentar, seolah ada konsensus bahwa apa yang berlaku di Iran bukan lagi persaingan kekuasaaan, tapi sudah merupakan pertarungan ideologi yang sulit ditengahi siapapun.

Yang terjadi di Iran adalah pertarungan antara mullah reformis pimpinan Rafsanjani melawan ulama konservatif pimpinan Ayatullah Khamenei atau antara kubu ultrakonservatif Mizbah Yazdi-Ahmadinejad versus kaum moderat reformis pimpinan Khatami-Rafsanjani.

Ini juga adalah pertarungan antara para mullah makmur namun korup, melawan kubu ultrakonservatif radikal dimana Ali Khamenei dan para demonstran sebenarnya berada di luar lingkaran itu.

Ini bahkan bisa disebut perseteruan antara kubu revisionis mesianik melawan para mullah berpikiran maju yang keduanya berpijak pada landasan teokrasi yang sama dan berjuang dengan kadar fanatisme yang selevel.

Kondisi Iran mirip dengan perang metodologi antara klik Hu Yaobang dengan intrik Deng Xiaoping di China menjelang Tragedi Tiananmen 1989.

Jelas, krisis Iran tak bisa disederhanakan sebagai konflik prodemokrasi versus antidemokrasi sehingga dunia perlu berhati-hati bersikap. Sebaliknya, mengutip editorial Jordan Times (23/6), para pemimpin Iran mesti dibiarkan menyelesaikan sendiri kemelut dengan damai dan jujur. (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009