Urumqi, China (ANTARA News/Reuters) - Sedikitnya 140 orang tewas dalam kerusuhan di wilayah Xinjiang, barat laut China, dimana pemerintah China menuduh kaum separatis di pengasingan berada di balik kerusuhan terburuk dalam beberapa tahun terakhir di wilayah yang penduduknya mayoritas muslim itu.

Ratusan orang ditahan menyusul unjuk rasa kaum minoritas Uighur yang menguasai jalanan ibukota provinsi itu, Minggu, sambil membakar dan melempari kendaraan dan toko-toko, dan bentrok dengan polisi anti huru hara, demikian kantor berita Xinhua.

"Dari kaca mata perekonomian domestik China, kerusuhan yang terjadi di wilayah pedalaman ini secara umum tidak berdampak besar sampai ada bukti yang menunjukkan pemerintah telah kehilangan kendalinya," kata Arthur Kroeber, Direktur Pelaksana Dragonomics, sebuah lembaga riset dan advokasi di Beijing.

Bersama dengan Tibet, Xinjiang adalah salah satu kawasan yang secara politik sangat sensitif, dan di kedua wilayah ini pemerintah pusat memperkuat cengkeramannya dengan mengendalikan kehidupan agama dan budaya seraya menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.

Namun suku-suku minoritas ini telah lama mengeluhkan bahwa suku Han China mendapatkan banyak subsidi dari pemerintah sehingga membuat penduduk lokal merasa menjadi orang luar di tanah mereka sendiri.

Belum ada gambaran mengenai identitas etnis para korban tewas namun seorang pejabat keamanan senior menyatakan bahwa kebanyakan mayat berasal dari etnis mayoritas Han China yang mempertegas adanya kecemburuan sosial terhadap kelompok yang secara ekonomi memang dominan itu.

"Keadaan di sini seperti zona perang saja, dengan banyak tubuh warga beretnis Han bergelimpangan di jalanan," lapor Xinhua mengutip Huang Yabo, Deputi Direktur Biro Keamanan Masyarakat Urumqi.

Sampai Senin malam, jam malam diberlakukan. Polisi anti huru hara berpatroli membersihkan, mengamankan jalanan, di wilayah di mana sejak lama China menggelar pasukan keamanan dalam jumlah besar.

Namun jika kekerasan memicu pengawasan ketat dari kebijakan-kebijakan Beijing di Xinjiang atau jika pemerintah melancarkan tindakan keras, posisi China sebagai kekuatan global akan menghadapi pukulan, kata para analis.

"Peristiwa ini akan membawa dampak negatif terhadap citra China sebagai kekuatan yang bertanggungjawab. Tekanan saja tidak akan menyelesaikan masalah. Jika anda hanya menggunakan pemaksaan maka akan memperburuk masalah saja," kata Zheng Yongnian, Direktur East Asian Institute pada Universitas Nasional Singapura.

Sekjen PBB Ban Ki-moon, manakala ditanyai mengenai kerusuhan Xinjiang, Senin, mendesak pemerintah menghormati hak berunjuk rasa warga negaranya.

"Semua perbedaan pendapat, apakah di dalam negeri atau pun internasional, mesti ditangani secara damai melalui dialog," kata Ban dalam jumpa pers di Jenewa.

Pasar modal China sendiri tidak terpengaruh oleh berita kerusuhan itu, dimana indeks benchmark Shanghai Composite ditutup naik 1,2 persen pada level tertinggi dalam 13 bulan terakhir, yang mengecualikan diri dari kecenderungan melemah pasar regional Asiaa.

"Kerusuhan itu hanya lokal," kata analis Zheshang Securities, Zhang Yanbing.

Jumlah tewas dalam kerusuhan Urumqi yang terletak 3.270 km arah barat Beijing itu, mencapai 140 orang dan diperkirakan terus bertambah, dimana 800 orang terluka, demikian Xinhua mengutip kepala polisi Xinjiang, Liu Yaohua.

Mengomentari penindasan di wilayah strategis yang berdekatan dengan wilayah Pakistan dan Asia Tengah ini, seorang pejabat senior pemerintah China menuduh kerusuhan itu sebagai buah tangan dari kekuatan ekstrimis di luar negeri.

"Ini adalah kejahatan atas kekerasan yang telah dirancang dan diorganisasikan," lapor Xinhua mengutip pejabat pemerintah yang tak disebutkan namanya itu.

Pejabat ini menyalahkan kekerasan ini kepada Kongres Uyghur Dunia yang dipimpin Rebiya Kadeer, seorang perempuan pengusaha yang kini berada di pengasingan di AS setelah bertahun-tahun dipenjara karena dituduh seorang separatis. Rebiya tidak mengomentari tuduhan ini.

Namun kelompok Uighur di pengasingan menolak keras tuduhan persekongkolan dari pemerintah China itu. Mereka menyatakan kerusuhan itu semata reaksi dari kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi etnis Han.

Kerusuhan itu terjadi menyusul bentrok antara suku Han dan Uighur di China Selatan, dimana dua orang Uighur meninggal dunia karena tuduhan bahwa enam orang Uighur memperkosa seorang perempuan etnis Han.

Hampir setengah dari 20 juta penduduk Xinjiang adalah orang Uighur, namun mayoritas penduduk kota Urumqi beretnis Han China.

"Insiden-insiden ini menunjukkkan kekeliruan besar kebijakan pemerintah dalam soal etnis minoritas, kendati tidak ada satu pun pembenaran untuk melakukan kekerasan," kata Nicholas Bequelin dari Human Rights Watch di Hong Kong.

"Orang-orang yang keluar berdemonstrasi di jalanan kota Urumqi tahu bahwa redistribusi kekayaan sangat timpang. Bagi mereka yang keluar berunjuk rasa dan melakukannya dengan mengetahui risiko yang bakal ditanggungnya, itu menunjukkan mereka sudah putus asa dalam mengatasi penderitaannya."

Televisi pemerintah China mempertontonkan warga sipil yang terluka dan berdarah-darah yang kebanyakan beretnis Han, para perusuh melemparkan batu ke polisi dan menjungkirbalikkan mobil polisi serta membakar bus.

"Saya melihat sendiri sejumlah orang Han ditikam. Kebanyakan orang dalam bus ketakutan," kata Zhang Wanxin, seorang warga Urumqi, melalui telepon.

Pengakuan dari Rumah Sakit Rakyat, salah satu rumah sakit terbesar di Urumqi, juga menyebutkan bahwa etnis Han menjadi target serangan.

Xinhua melaporkan bahwa rumah sakit menerima 291 korban luka yang 17 diantaranya meninggal dunia kemudian. Diantara jumlah itu, 233 warga etnis Han, 39 Uighurs, sementara lainnya dari etnis minoritas lainnya.

Polisi telah menciduk ratusan orang yang terlibat dalam peristiwa itu, termasuk lebih dari 10 otak intelektual serta memburu 90 lainnya, demikian Xinhua.

Warga kota Urumqi tidak bisa mengakses Internet. "Kota dalam kondisi darurat sipil," kata Yang Jin, pedagang buah, melalui telepon. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009