Jakarta (ANTARA News) - Bumi terbakar oleh emisi karbon yang dikeluarkan kendaraan bermotor, cerobong asap pabrik, kebakaran hutan maupun lahan gambut, hingga hancurnya terumbu karang.

"International Energy Agency" (IEA) memperkirakan pertumbuhan emisi karbon di seluruh penjuru bumi akan mencapai 57 persen, dan mampu meningkatkan suhu bumi enam derajat celsius pada 2030.

Bayangan krisis pangan, krisis energi, hingga krisis kemanusiaan akibat bencana alam dan merebaknya berbagai jenis penyakit baru akibat kenaikan suhu bumi semakin nyata mengancam dunia.

Dunia otomotif sebagai bagian peradaban dan menyumbang pertumbuhan emisi karbon di atas bumi telah memulai melakukan pembenahan, dan terus mencari model terbaik sebagai moda transportasi yang ramah lingkungan.

Entah berapa tepatnya populasi kendaraan di seluruh dunia saat ini. Namun dapat dibayangkan betapa sesaknya permukaan bumi oleh asap knalpot kendaraan bermotor jika penjualan otomotif di Amerika Serikat (AS) dan Kanada maupun di daratan Eropa saja telah menembus angka 16 juta unit, sedangkan di Cina penjualan otomotif telah menembus angka 8,5 juta unit  tahun 2007.

Jika negara tirai bambu menargetkan peningkatan produksi kendaraan roda empat menjadi 11 juta unit tahun 2011, maka di Indonesia, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) sendiri memperkirakan produksi kendaraan roda empat akan mampu mencapai satu juta unit tahun 2010.

Akal budi manusia berhasil menciptakan peradaban hingga memunculkan revolusi industri, termasuk berkembangnya industri otomotif. Sudah sepatutnya manusia juga lah yang harus mengatasi krisis lingkungan yang timbul sebagai dampak dari limbah peradaban masal di era industrialisasi yang mereka ciptakan sendiri.

Produsen otomotif dunia memiliki tantangan untuk mampu menghasilkan mobil-mobil ramah lingkungan dari bahan baku dan proses produksi yang ramah lingkungan. Termasuk menciptakan dan memproduksi mobil tanpa emisi karbon yang paling aman dan terjangkau untuk digunakan manusia.

Hibrid, mobil dengan kombinasi bahan bakar jenis minyak dan listrik, menjadi jenis mobil ramah lingkungan yang paling aman dan telah banyak terjual di dunia. Sementara fuel cell, mobil berbahan bakar hidrogen dan sel, masih terus disempurnakan karena sebagian kalangan masih menganggap mobil jenis ini belum sepenuhnya aman digunakan.

Kesempurnaan mobil fuel cell suatu saat nanti diyakini akan mampu membuat otomotif dicoret dari daftar hitam sebagai salah satu penyumbang peningkatan emisi karbon di atas bumi, sekaligus mampu memecahkan masalah krisis energi karena tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak.

Energi alternatif

Selain inovasi teknologi otomotif ramah lingkungan yang terus dikembangkan, bahan bakar ramah lingkungan juga terus dikembangkan. Jenis bahan bakar ramah lingkungan yang sudah mulai tersosialisasi di berbagai belahan bumi adalah bahan bakar nabati (BBN).

Namun evaluasi penggunaan BBN yang berbahan dasar minyak sawit sebagai substitusi dari solar, sedangkan jagung, kedelai, singkong, dan tebu sebagai substitusi dari bensin dilakukan. Eropa yang pada awalnya menargetkan penggunaan 10 persen BBN pada bahan bakarnya, kini mulai mengkaji ulang dampaknya terhadap ketersediaan pangan dan keselamatan hutan dunia.

Indonesia, negara kepulauan di khatulistiwa, merupakan negara yang sangat beruntung karena dianugerahi berbagai kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai jenis energi alternatif terbarukan.

Taiwan melalui perwakilan dari Kamar Dagang dan Industrinya telah melakukan pertemuan dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) untuk meningkatkan kerjasama, termasuk diantaranya pengembangan energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.

Pada kesempatan itu, Chairman of Chinese International Economic Cooperation Assosiation, Wenent Pan mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha Taiwan tertarik mengembangkan bioenergi yang berasal dari tanaman jarak di Indonesia.

"Kami tertarik untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan berupa bioenergi dari Jatropha (tanaman jarak)," ujar dia.

Perubahan iklim telah memaksa masyarakat dunia untuk mencari energi alternatif, tegas Pan. Dan Pemerintah Taiwan dalam lima tahun terakhir telah memulai mengembangkan energi terbarukan tersebut.

Indonesia, menurut dia, lebih unggul dalam pengembangan biofuel dari tanaman jarak tersebut, karena itu Taiwan tertarik bekerjasama mengembangkan dan memproduksi biofuel di Indonesia. Keseriusan Taiwan ditunjukkan dengan mengajak tiga perwakilan dari industri pengembangan biofuel, yakni Enicycle Bio Tech Co Ltd, Shine Sun Biomass Co Ltd, dan Chiuan Yi Biotechnology Co Ltd yang paling baru beroperasi.

Energi alternatif lain yang hingga kini masih terus dikembangkan berasal dari kekayaan laut Indonesia, yakni rumput laut. Giliran Korea Selatan yang tertarik bekerja sama untuk mengembangkan bio energi dari rumput laut ini.

Melalui "Memorandum of Understanding" (MoU), Indonesia-Korea Selatan sepakat untuk mengembangkan budidaya rumput laut bersama untuk pengembangan energi alternatif di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung.

Bahkan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim pun mengungkapkan bahwa pengembangan rumput laut untuk bio energi sangat lah tepat karena diyakini tidak akan mengganggu kebutuhan pangan. Rumput laut sangat mudah untuk dikembangkan, hanya dalam hitungan minggu dapat di panen dan tidak memerlukan pupuk.

Kebijakan di awang-awang

Dengan adanya inovasi teknologi otomotif yang mengarah pada ramah lingkungan, serta ditemukannya berbagai energi alternatif yang mampu menjadikan mobil semakin ramah lingkungan, tidak ada alasan untuk tidak menjadikan bumi menjadi lebih sejuk.

Namun tampaknya teknologi otomotif dan energi alternatif bukan hanya faktor penentu pengurangan emisi karbon di suatu negara. Karena pada kenyataannya kebijakan pemerintah menjadi faktor lain yang dapat mensukseskan pengurangan emisi karbon di udara.

Pemerintah Cina mendukung penuh kemajuan otomotif yang ramah lingkungan di negaranya, terbukti insentif bagi investor yang menjalankan kebijakan "kendaraan beremisi rendah".

Baru pada hari Senin (6/7) lalu Fiat, produsen otomotif asal Italia, melakukan joint venture dengan membuat mobil dan mesin mobil dengan "Guangzhou Automobile Group" (GAG). Investasi sebesar 557 juta dolar AS ditanamkan untuk membangun pabrik yang memiliki kapasitas produksi 140.000 unit mobil dan 220.000 mesin mobil per tahun.

Fiat akan mulai memproduksi mobil sedang di Cina pada Semester II tahun 2011, dan akan menerima insentif dari Pemerintah Cina sebagai bagian dari promosi investasi baru di Cina tengah.

Pemerintah Jepang juga menjadi contoh negara yang mendukung perkembangan mobil ramah lingkungan. Penjualan kendaraan yang efisien dalam penggunaan bahan bakar mendapat bantuan dari pemerintah dengan membebaskan pajak khusus untuk kendaraan jenis ramah lingkungan tersebut.

Di ASEAN, Thailand memimpin dalam pengembangan kebijakan kendaraan ramah lingkungan. Pemerintah Thailand membuat iklim investasi otomotif di negara tersebut bergairah dengan memberikan insentif potongan pajak penjualan dari 30 hingga 50 persen menjadi hanya 17 persen.

Pemerintah Indonesia cq Departemen Perindustrian sedang mengembangkan program mobil murah ramah lingkungan. Namun, hingga saat ini tampaknya belum ada produsen otomotif yang "menangkap" program ini.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu sendiri secara tegas pernah menyampaikan bahwa Indonesia memilih untuk mengembangkan mobil ramah lingkungan di dalam negeri dan bukannya impor.

Presiden Direktur Grup Indomobil, Gunadi Sindhuwinata mengatakan bahwa akan sulit mengembangkan mobil murah ramah lingkungan di Indonesia. Alasan utama yang ia lontarkan adalah harga.

Hal serupa juga disampaikan oleh Managing Director General Motor Indonesia, Mukiat Sutikno.

"Harganya tidak masuk"

Ketua Umum Gaikindo, Bambang Trisulo sendiri sempat mengatakan bahwa produsen otomotif sangat siap untuk meramaikan jalan-jalan Indonesia dengan mobil ramah lingkungan seperti mobil hibrid. Namun sangat sulit jika pemerintah tidak meringankan bea masuk bahan baku kendaraan ramah lingkungan.

Sementara sudah sangat jelas bahwa jenis mobil ramah lingkungan, seperti hibrid dan "fuel cell", memiliki harga lebih mahal dari pada jenis mobil konvensional. Penggunaan dua mesin pada sistem hibrid membuat harga jual mobil jenis ini lebih mahal.

Atas alasan itu pula Pemerintah Jepang memberikan subsidi agar harga mobil tersebut dapat lebih murah dan lebih terjangkau. Kebijakan tersebut mampu membuat penjualan mobil hibrid di Jepang meningkat hingga lebih dari 22.000 unit di bulan Juni.

Kini kebijakan pemerintah yang tepat untuk pengembangan mobil ramah lingkungan di Indonesia, sehingga impian mengurangi emisi karbon dari kendaraan bermotor di tanah air dapat tercapai dan bukan hanya di awang-awang.  (*)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009