Magelang (ANTARA) - Dalam banyak sinema eletronik di berbagai tayangan televisi, adegan menggiring pemirsa untuk menyentuh nilai kemanusiaan dengan terkesan mudah disuguhkan melalui pemain utama terbaring karena menderita sakit.

Siapa pun pemain utama itu, baik orang tua, lansia, pemuda dan pemudi, remaja, maupun anak-anak, ketika sudah terbaring, lalu disusul narasi dan visualisasi tentang pesan syukur, antara lain karena sembuh, penyesalan atas peristiwa sebelumnya yang berujung ungkapan maaf, atau pasrah dan doa takzim di pemakaman karena kematian sang tokoh.

Untuk menyentuh nilai kesadaran atas kemanusiaan, kenyataannya memang tidak harus semuanya karena sakit. Banyak peristiwa kehidupan bisa membawa manusia sampai kepada introspeksi atas kesadaran tentang nilai kemanusiaan.

Kecerdasan emosional, spiritual, dan intelektual bisa saja secara parsial maupun komplementer membawa manusia sampai pada kesadaran kemanusiaan atas dirinya ketika menghadapi realitas pengalaman kehidupan, termasuk menyangkut sakit dan penderitaan.

Serangan virus corona jenis baru (COVID-19) yang kemudian ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi global dan hingga menyentuh bumi Indonesia pun, sasarannya manusia menjadi sakit dan bahkan banyak korban harus meregang nyawa, serta dampak penderitaan lainnya.

Dampak ikutannya secara langsung menyangkut kepanikan dunia medis karena harus berpacu menemukan antivirus sembari bergegas menolong penderita agar pulih dan kesibukan sana sini menghadirkan segala sarana prasana perawatan.

Bahkan, tenaga medis pun mesti diinjeksi dengan insentif dan berbagai jaminan lain agar tetap bersemangat dalam pelayanan profesional mereka kepada pasien.

Belum lagi perlambatan perputaran roda perekonomian karena aktivitas produksi dan industri secara umum mandeg, pasar-pasar lesu, kegiatan ekspor-impor terhenti, gemerlap keparwisataan menjadi senyap, pemutusan hubungan kerja, bekerja dan belajar dari rumah, lalu lintas moda transportasi mesti dihentikan, dan kurs mata uang melemah.

Begitu pula dampak pandemi terhadap berbagai program pemerintahan dan pembangunan yang telah disusun secara mendetail untuk menjangkau semua aspek kehidupan masyarakat dengan rincian pembiayaan melalui anggaran negara, yang harus ditata, dirancang, dan direka ulang alokasinya karena pandemi.

Berbagai protokol pun berhulu kepada nilai hakiki yakni menjaga dan mempertahankan kehidupan manusia. Kewarasan menjadi mahkota yang harus tetap ditegakkan.

Bahkan, ekspresi sebagai manusia beriman melalui agama yang dianut pun ikut terdampak. Mereka secara berjamaah harus melepaskan arogansi rohaninya melalui kesediaan untuk ibadat di rumah guna menghindari penularan dan memutus mata rantai penyebaran virus corona itu.

Hal demikian, setidaknya telah terlaksana dengan masa Pekan Suci Paskah 2020 bagi umat Kristiani, di mana mereka tak melalui ibadat secara bersama-sama di gereja, ibadah puasa Ramadhan bagi umat Islam saat ini yang tak harus berjamaah pula, dan perayaan Tri Suci Waisak yang biasanya dilakukan puluhan ribu umat tidak harus terpusat di Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, serta wihara dan kelenteng di berbagai tempat di Indonesia.

Pandemi COVID-19 juga membawa manusia kepada ruang dan waktu ujian bagi kesadaran kemanusiaan sebagai pribadi sosial, di mana saling ketergantungan hidup bersama dan seiring dengan pemenuhan kebutuhan individu, harus mencari bentuk harmoninya yang baru.

Keterkejutan karena tak harus bersalaman, kecekatan adaptasi dengan kebijakan jaga jarak, naluri solidaritas dalam wujud berbagi dengan sesama, dan semangat gotong royong serta tepa selira sedang dipertaruhkan karena tidak diketahui dengan seketika siapa pembawa virus, siapa terpapar virus, dan siapa menularkan virus.

Serangan virus itu bagaikan menerjang pemain wayang orang di Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Eka Pradaning dan sejumlah seniman desa dalam kelompok Tapak Liman Jogowisan, hingga mereka mencapai tataran introspeksi atas kesadaran kewarasan bahwa manusia mesti meletakkan takabur terhadap sesama, alam, dan jagat raya.
Tangkapan layar perbincangan virtual pengamat budaya Yogyakarta Toto Rahardjo dengan artis yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Annisa Hertami, Selasa (6/5/2020) malam. (ANTARA/Hari Atmoko)


Manusia harus kembali kepada sikap rendah hati karena keberadaan sebagai makhluk mulia ternyata sekaligus berhimpitan dengan kelemahan raga pada jaringan badaninya. Raga manusia setiap saat lenyap oleh waktu, perilaku, dan perubahan cepat zaman, termasuk melalui serangan pagebluk.

"'Sidhem sintru kahanane iki saya angluh kebak panalangsa. Kana kene pada wae. Katon amarikelu. Panyebabe pagebluk neki'. (Hening sepi suasana ini. Kian mencekam penuh kesedihan. Di sana sini sama saja. Nampak terpuruk. Disebabkan adanya pandemi ini)," demikian sepenggal syair tembang Jawa dilantunkan Surono dalam performa berjudul "Manekung Bumi" untuk merespons situasi prihatin atas multidampak pandemi global COVID-19.

Sambil duduk bersila menjaga asap dupa di areal persawahan, Surono yang mengenakan kain lurik duduk bersila menembangkan syair Dandanggula itu, saat bersama sejumlah seniman Dusun Jogowisan, Desa Mejing di mana Sanggar Tapak Liman dikelola oleh Eka Pradaning memainkan performanya, "Manekung Bumi", belum lama ini.

Suara-suara alam berupa kicauan burung pipit dan kupu-kupu beterbangan yang menyapu desahan angin persawahan di desa itu, seakan mengiring performa mereka yang juga ditandai dengan pembacaan guritan oleh Eka Pradaning.

Dua seniman lainnya, Sapto Murdiono dan Muhammad Fahrudin, melakukan performa gerak tari. Dalam kelebat selendang sebagai bagian properti kostum tarian, mereka taburkan pula bunga mawar warna merah dan putih, sedangkan asap dupa membumbung tipis bagi menghantar persembahan doa manusia dari titik kerendahan hatinya kepada Sang Penguasa Jagat.

"Kabeh iku mung kari sumarah, manekung mring Bumi (Semua tinggal pasrah, sujud ke Bumi)," demikian baris terakhir guritan diucapkan Eka sebelum mereka berperformanya selama beberapa waktu di persawahan setempat.

Performa mereka yang kemudian mereka unggah di kanal Youtube dalam durasi beberapa menit itu, seakan hendak menyampaikan pesan yang nampaknya sederhana, yakni tentang tempat manusia berpijakan di Bumi, namun menjadi berarti penting ketika COVID-19 membangun pandemi.

Oleh karenanya, manusia mesti mencintai dan merawat Bumi dengan menjaga kewarasan dalam berelasi dengan sesama dan lingkungan sekitarnya.

Sebagaimana Bumi menjadi penyangga kehidupan ragawi manusia dengan harmoni jiwanya, maka manusia pun dengan rendah hati menyangga kehidupan di Bumi, tempatnya berpijak.

Dalam perbincangan secara virtual dengan pemerhati budaya dari Yogyakarta Toto Rahardjo, Selasa (5/5) malam, artis yang juga salah satu pegiat Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Annisa Hertami, mengemukakan tentang pandemi virus yang menantang kewarasan manusia dalam menyikapi.

Kesadaran kepada kepentingan menjaga kewarasan dalam menghadapi pandemi yang ujung akhirnya belum tampak jelas itu, menyangkut ramuan harmoni atas kekuatan berpikir, mengelola emosional, dan memperkukuh landasan laku spiritual.

Bahwa upaya menyelesaikan pandemi dengan berbagai dampaknya, butuh kewarasan manusia melalui kesadaran keberadaan untuk selalu "Manekung Bumi".
Baca juga: "Email phising" jadi tren serangan siber selama pandemi COVID-19
Baca juga: Neuer ingin para pemain Bundesliga lebih bertanggung jawab
Baca juga: "Ustadz Jaga Jarak", untuk temani ngabuburit saat pandemi COVID-19
Baca juga: Gugas COVID-19: Kaum muda kebanyakan tidak sadar terinfeksi COVID-19

 

Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020