Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof Hariadi Kartodihardjo mengingatkan kembali dampak korupsi sumber daya alam yang sangat besar melebihi atau beyond kerugian ekonomi.

Prof Hariadi dalam webminar seri 1 Evalusi Pemberantasan Korupsi pada Sektor Sumber Daya Alam yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Rabu, mengatakan korupsi sumber daya alam (SDA) biasanya bersinggungan dengan sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanahan, pertanian, perikanan dan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah dari waktu ke waktu.

"Perusakan fungsi ruang bukan hanya kekayaan secara finansial, tapi akumulasi bencana alam meningkat dari tahun ke tahun, termasuk jumlah korban dan sebarannya. Jadi korupsi SDA itu 'beyond' ekonomi," katanya.

Jumlah bencana alam meningkat setiap tahunnya, melewati angka 3000 kejadian di 2019. Sementara angka korban dari yang terluka hingga meninggal dunia menembus angka 12 juta jiwa di 2018, ujar dia.

Bencana kekeringan di 2018 dan 2019 bergerak menuju angka 200 kali kejadian sementara di tahun-tahun sebelumnya grafiknya sangat rendah. Sedangkan jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan di 2019 bergerak ke angka 800 kejadian sementara di 2016 tidak melewati 600 kejadian.

Dari cataran tim evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) KPK 2018, sektor SDA yang merupakan salah satu pendukung ekonomi nasional berkontribusi sekitar 10,89 persen atau Rp1.480 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2017 yang mencapai Rp13.589 triliun. Penyerapan tenaga kerja di sektor SDA mencapai 37,31 juta orang, sedangkan kontribusi pajak dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya Rp99,91 triliun atau 3,87 persen.

Sedangkan untuk penguasaan lahan dari sektor SDA perkebunan sawit, tim evaluasi GNP-SDA KPK mencatat 2.535.495 juta hektare (ha) dimiliki 10 perusahaan sementara 4.756.272 ha dikelola 2,1 juta pekebun. Dan untuk penguasaan lahan hutan, tercatat 40.463.104 ha dipegang pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sedangkan 1.748.931 ha dikelola masyarakat.

Dan ekses ketimpangan dalam penguasaan lahan tersebut antara lain eksternalitas lingkungan, ketimpangan ekonomi dan askes serta pelanggaran hak, korupsi.

Masih mengambil data tim evaluasi GNP-SDA KPK 2018, ia mengatakan korupsi terjadi secara masif, tidak jarang menyandera kepentingan negara. Suap-menyuap, pemerasan terjadi hampir di setiap lini administrasi, dari perencanaan hingga pendenalian, misalnya di sektor kehutanan suap per izin per tahun mencapai Rp688 juta sampai dengan Rp22 miliar per tahun.

Aset sumber daya alam tidak pernah dianggap kekayaan negara, nilainya dengan sengaja dimanipulasi, dikaburkan atau tidak divaluasi. Pada 1998-2013, Perhutani diperkirakan kehilangan aset tegakan hutannya senilai Rp988 miliar pet tahun.

Lalu, tim evaluasi juga menyebutkan potensi PNBP sektor kelautan Rp70 triliun per tahun namun hanya diperoleh Rp230 miliar per tahun. Sedangkan untuk potensi pendapatan sawit di 2018 diketahui mencapai Rp40 triliun namun pajak terpungut hanya mencapai Rp21,87 triliun.

Sementara itu, tim evaluasi GNP-SDA KPK untuk 2018 mencatat dari sektor minerba potensi kerugian bersumber dari kurang bayar pajak sebesar Rp15,9 triliun dan dari administrasi serta perizinan yang buruk mencapai Rp28,5 triliun.

Konflik kepentingan menghambat upaya penataan kewajiban pemanfaatan SDA, berbagai bentuk kerugian negara terjadi secara masif dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan, ujar Prof Hariadi. Sebagai catatan di sektor perkebunan kelapa sawit, tingkat kepatuhan WP Orang Pribadi hanya 6,3 persen dan WP Badan sebesar 46,3 persen.

Baca juga: Peneliti ingin realisasi kebijakan impor beras segera dipertimbangkan

Baca juga: Puspolkam: Perlu komando terpusat ketahanan pangan antisipasi COVID-19

Baca juga: Peneliti sebut ketahanan pangan lebih efektif dengan penguatan petani

Baca juga: Presiden Jokowi soroti ancaman krisis pangan dan ketahanan energi


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020