Depok (ANTARA News) - Universitas Indonesia (UI) menelaah kajian mengenai pengalaman perempuan peranakan Arab Ba-Alawi di Jakarta (di singkat perempuan Ba-Alawi) dalam sistem perkawinan.
Menurut Deputi Direktur Kantor Komunikasi UI Devie Rahmawati di Depok, Minggu, kajian itu merupakan promosi doktor dalam bidang studi Antropologi yang dilakukan Kunthi Tridewiyanti dengan disertasi berjudul "Identitas Etnik Gender dan Pluralisme Hukum Kajian Perempuan Peranakan Arab dalam Perkawinan di Jakarta".
Promovendus dalam penelitiannya, selain menelaah pengalaman perempuan Ba-Alawi dalam sistem perkawinan, juga mengkaji peran mereka sebagai aktor reproduksi kebudayaan dan resistensi dengan tujuan menjelaskan tentang pengalaman mereka dalam perkawinan yang diharapkan (preference marriage).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode "genealogical history" dari empat generasi pada empat keluarga luas Ba-Alawi, pengalaman terlibat dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mereka sebagai bagian dari komunitas Ba-Alawi dikonfrontir oleh nilai-nilai perkawinan yang diharapkan berlandaskan pada sistem patrilineal nilai sekufu/kafa`ah yang dipengaruhi oleh mazhab Syafi`i.
Pemaknaan yang ketat terhadap nilai sekufu/sekafaah menyebabkan perkawinan diharapkan berbentuk endogami bangsa (perkawinan sesama Ba-Alawi) untuk perempuan, sedangkan eksogami bangsa (perkawinan campuran) diperkenankan bagi laki-laki.
Dalam perkawinan, perempuan berada dalam pembatasan yang ketat, sehingga perempuan cenderung berada dalam dominasi laki-laki (budaya patriarki).
Penelitian itu juga memperlihatkan bahwa perubahan pola, "trend", dan dinamika perkawinan pada komunitas Ba-Alawi disebabkan pemaknaan nilai sekufu/kafaa`ah yang lebih longgar.
Ada temuan menarik bahwa data dari empat keluarga dalam penelitian ini menujukan bahwa "trend" perkawinan campuran meningkat dilakukan oleh perempuan.
Adapun perkawinan campuran tersebut dapat terjadi antara perempuan Ba-Alawi dengan laki-laki di luar komunitas Ba-Alawi yaitu dengan laki-laki muslim, mualaf, atau bahkan dengan laki-laki beda agama dimana masing-masing pihak tetap bertahan pada agamanya.
Namun perkawinan beda ini masih amat langka dan ditolak keras oleh komunitasnya. Setelah tahun 1974, perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan ditunjang oleh keragaman hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara.
Perempuan Ba-alawi dapat memilih melakukan perkawinan siri, perkawinan sesuai dengan ketentuan negara (disebut perkawinan KUA) atau kedua-duanya.
Penelitian itu menemukan bahwa perempuan merupakan aktor yang dapat mengembangkan strategi-strategi untuk reproduksi kebudayaan dan resistensi terhadap budaya patriarki.
Perempuan sebagai aktor pada prinsipnya didukung juga oleh aktor lain, yaitu laki-laki dalam keluarga, ulama/tokoh masyarakat, organisasi volunter dan aparat negara (terutama institusi agama).
Sedangkan reproduksi kebudayaan dan resistensi yang dilakukan oleh perempuan itu terlihat pada arena-arena sosial, yaitu pada media kekerabatan (seperti dalam silsilah keluarga dan perkawinan), media religi, dan media sosial.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009