Jakarta (ANTARA) - Dalam kehidupan beragama, ada kondisi-kondisi di mana manusia dengan segala kemampuannya, keunggulan pikiran dan kehebatan akademiknya, serta kehebatan-kehebatan yang disangkakan pada dirinya, mengalami fase frustasi dan bahkan menyerah pada keadaan.

Informasi bagaimana seorang ilmuwan tingkat dunia --salah satunya adalah Prof Dr Maurice Bucaille, ahli bedah kenamaan Prancis dan pernah mengepalai klinik bedah di Universitas Paris-- menemukan kebenaran tentang eksistensi Tuhan dengan kemahabesarannya adalah salah satu contohnya.

Pada 1975, ilmuwan yang lahir di Pont-L'Eveque, Prancis, pada 19 Juli 1920 dan meninggal pada 17 Februari 1998 itu intens mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama terkait mumi Fir'aun, raja Mesir pada masa Nabi Musa, AS.

Dalam "tarikh" (sejarah) Islam, Firaun adalah gelar bagi raja-raja Mesir masa purbakala di mana Firaun di masa Nabi Musa adalah Minephtah (1232-1224 SM), putra dari Ramses II.

Atas kerja sama antara Pemerintah Prancis dan Mesir, maka dilakukan penelitian untuk mempelajari dan menganalisis mumi Firaun, di mana mumi itu dibawa ke Pusat Purbakala Prancis guna mengungkap rahasia di baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Prancis.

Penanggung jawab utama dalam penelitian mumi itu adalah Prof Dr Maurice Bucaille.

Dalam penelitian itu, ia juga terlibat diskusi dengan peneliti dan ilmuwan Muslim dan meminta penjelasan tentang kehidupan Nabi Musa, perbuatan Firaun hingga pengejaran pada Musa sampai akhirnya Fir'aun tenggelam di Laut Merah.

Ketika berdiskusi dengan ilmuwan Muslim tersebut, Maurice Bucaille diberikan rujukan Al Quran surah Yunus ayat 92, yang artinya: "Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah mu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami".

Simpulan akhir penelitian itu, salah satunya menghasilkan temuan bahwa sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh mumi itu adalah bukti terbesar bahwa Fir'aun memang mati karena tenggelam, dan itu sekaligus menunjukkan Al Quran selaras dengan sains.

Pada Firman Allah SWT itu membuktikan tentang bagaimana keadaan tubuh Firaun setelah diangkat dari dasar laut, dan kemudian mengantarkan Maurice Bucaille bersyahadat.

Lantas, apa makna dari pengalaman empirik dan spiritual itu? Khususnya bagaimana manusia saat ini menghadapi pandemi COVID-19?

Baca juga: KPID dukung lembaga penyiaran tayangkan doa bersama di tengah pandemi

Baca juga: Bekasi berdoa satu menit untuk sejuta umat



Kekuatan ilahiyah

Hakikat manusia itu lemah, sehingga ketika mentok atau tidak bisa menemukan solusi atas suatu masalah, terlebih berskala sangat berat, secara alamiah umumnya adalah menyandarkan diri pada kekuatan ilahiyah yang bersifat transendental.

Sifat transendental itu, yakni mengutamakan atau menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian.

Pandemi global COVID-19, diakui atau tidak, berimplikasi pada kekhawatiran atau ketakutan pada bahaya, termasuk kematian sehingga manusia berupaya untuk mencari dan menemukan sandaran pada kekuatan ilahiyah, tatkala upaya-upaya non-ilahiyah belum mendapatkan jalan keluar.

Ikhtiar untuk mencari solusi jelas merupakan hal yang diwajibkan pada manusia guna mengatasi masalah yang dihadapi. Itu terlihat dari upaya ilmuwan kesehatan dunia untuk menemukan obat --apapun bentuknya-- guna mengatasi COVID-19.

Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Anwar Abbas, M.Ag, dalam konteks COVID-19, mengajak umat Islam untuk patuh dan tidak menyepelekan ilmu yang datang dari ilmuwan dan para ahli.

Menurut Wakil Rektor II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Jakarta itu, perbuatan berdasarkan ilmu adalah mencerminkan keimanan dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Tugas dan kewajiban umat Islam adalah mendengarkan nasihat dan pandangan dari ilmuwan, karena di dalamnya terdapat kebenaran yang telah mereka temukan dan gali dari ayat-ayat Allah SWT yang ada, yang bukan hanya ayat-ayat "qouliyah" atau ayat-ayat Al Quran saja, tapi juga ayat-ayat "kauniyah", yaitu ayat-ayat atau hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Allah SWT di dalam alam itu sendiri.

Ayat-ayat kauniyah itu yang telah mereka susun dan sistematisasi menjadi ilmu, termasuk menyangkut virus corona itu.

Anwar Abbas yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI itu merujuk pada Al Quran Surat Al-Baqarah ayat 195, yang menyatakan, "Allah SWT melarang manusia membiarkan diri jatuh ke lembah kebinasaan."

Karena itu, manusia harus berusaha dan berjuang untuk membuat dirinya selamat, tidak mati dan tidak sakit, di mana salah satu tujuan disyariatkannya agama Islam adalah untuk melindungi jiwa manusia dan untuk membantu mewujudkan apa yang disyariatkan agama tersebut, diperlukan ilmu.

Ilmu yang diperlukan untuk itu, selain ilmu agama, juga ilmu-ilmu yang terkait dengan ilmu alam (natural sciences) atau lebih khusus lagi dengan biologi (bioscienses) dan lain-lain.

Para ahli ilmu tersebut telah menyatakan bahwa virus corona ini berbahaya dan menular dan mereka juga sudah menyampaikan dan menjelaskan bagaimana cara-cara menghindarinya, sehingga untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama, umat Islam diajak mengikuti petunjuk dari para ahli tersebut.

Spirit transendental terkait COVID-19 ini, juga disampaikan oleh imam tertinggi umat Katolik di dunia Paus Fransiskus.

Dalam laporan yang dikutip "Vatican News", dalam misa ibadah khusus di Basilika Santo Petrus, Vatikan, Jumat (27/3), ia menyatakan: "Merangkul Tuhan untuk merangkul harapan: itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari rasa takut dan memberi kita pengharapan,".

Sri Paus juga mengajak melakukan meditasi tentang krisis yang dihadapi dunia saat ini, yaitu pandemi global COVID-19 dengan refleksi yang diambil dari Injil Markus.

Sementara itu, berdasarkan laman https://katoliknews.com, Paus Fransiskus memohon pertolongan kepada Bunda Maria atas penderitaan dan kesedihan jutaan orang yang terkena dampak pandemi COVID-19 saat ini.

Paus, melalui pesan video yang disiarkan pada 11 Maret 2020 berdoa di depan lukisan Maria Bunda Kasih Ilahi, memohon padanya untuk "Tidak mengabaikan permohonan kami yang sedang di dalam pencobaan" tetapi "menjauhkan kami dari setiap mara bahaya".

"Kami mempercayakan diri kami kepadamu, kesehatan orang-orang sakit. Di bawah kayu Salib engkau ikut serta dalam penderitaan Yesus, dengan iman yang teguh," kata Paus dalam doanya.

Baca juga: Wapres Ma'ruf sebut iman, imun, aman, amin untuk tangkal COVID-19

Baca juga: Kardinal Suharyo pimpin doa untuk masyarakat terdampak COVID-19



Implementasi

Sandaran pada kekuatan ilahiyah itu, diimplementasikan dalam wujud yang beragam.

Contoh-contoh yang terekam, di antaranya seperti peristiwa langka di Benua Eropa, seperti diperbolehkannya mengumandangkan suara adzan melalui pengeras suara pada ratusan masjid di Jerman, Belanda, dan Belgia.

Sebelum wabah corona, kondisi seperti itu sangat jarang terjadi, kecuali pada apa yang dilaporkan Kantor Berita Turki Anadolu sebagai "terkecuali pada acara-acara khusus".

Hal ini karena sebelumnya pengadilan Jerman pada Februari 2018 berdasarkan laporan DW.com, pernah meminta sebuah masjid untuk berhenti menyiarkan azan dengan alat pengeras suara setelah keluhan datang dari sepasang warga Kristen yang tinggal sekitar satu kilometer dari masjid.

Sejak itu, pengadilan Administratif Gelsenkirchen memutuskan bahwa kota itu belum mengizinkan penyiaran azan dari komunitas Muslim Turki setempat, namun pihak masjid masih dibebaskan untuk kembali mengajukan izin.

Kumandang azan di Jerman itu dilaksanakan komunitas Muslim Turki di bawah payung organisasi DITIB Merkez Mosque di bagian barat kota Duisburg dan the Islamic Community National pada Jumat (3/4).

Laporan lainnya menyebutkan Belanda juga ikut memberlakukan hal yang sama seperti di Jerman.

Lebih kurang 40 masjid di Belanda Utara, Flevoland, dan Friesland ikut mengumandangkan adzan yang dilakukan pada waktu dzuhur pukul 14.00 waktu setempat.

Dewan Masjid Maroko di Belanda Utara menyatakan mereka melakukan itu untuk mendukung kaum Muslim serta meminta sang Pencipta untuk membantu dan meneguhkan diri di masa sulit ini.

Sedangkan di Belgia, adzan dengan pengeras suara juga diperbolehkan pada saat pandemi COVID-19 saat ini.

Disebutkan bahwa untuk pertama kali suara adzan berkumandang melalui pengeras suara di seluruh masjid di Kota Brussels pada Rabu (1/4).

Yang menarik, Presiden AS Donald Trump pun -- di tengah kontroversi yang dibuatnya dengan pernyataan ajakan bagi warga AS untuk menyuntikkan disinfektan agar kebal dari COVID-19, dan kemudian menuai kecaman keras dari pelaku kesehatan karena timbul kasus ratusan keracunan warganya akibat melaksanakan saran itu, juga memakai pendekatan transendental ini.

Pada Sabtu (14/3), bertempat di Gedung Putih, Trump di saat memproklamasikan Hari Berdoa Nasional di tengah pandemik COVID-19 dengan mengajak rakyatnya berdoa dan disebutkan "mengajak semua orang kembali kepada Tuhan".

Melalui akun Twitternya @realDonaldTrump, penggalan yang dicuitkannya berbunyi: "Kami adalah negara yang sepanjang sejarah kami, telah mencari perlindungan dan kekuatan di saat-saat seperti ini kepada Tuhan,".

"Di mana pun anda berada, saya mendorong anda untuk berdoa dalam tindakan iman. Bersama-sama, kita akan dengan mudah menang!".

Pada akhirnya, meski kemasan transendental itu tidak lugas disuarakan sebagai sebuah keniscayaan bahwa sebagai manusia beriman wajib percaya kepada kemahakuasaan Tuhan --yang dalam konteks adzan dibalut dengan narasi seperti "bentuk solidaritas untuk melawan pandemi virus corona", "untuk mendorong semangat moral warga Muslim di terhadap virus corona", atau juga adzan "diperuntukkan bagi komunitas Muslim untuk membangun semangat spiritual"-- sejatinya, manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan, dan bila saatnya tiba, tetap menengadahkan tangan ke atas, memohon perlindungan dan pertolongan kepada sang "Khalik".*

Baca juga: COVID-19 musibah global, Wapres apresiasi PBNU gelar pertobatan global

Baca juga: Lakukan doa dan usaha beriringan untuk lewati wabah COVID-19, kata MUI

Copyright © ANTARA 2020