Seoul (ANTARA) - Otoritas kesehatan Korea Selatan sedang menyelidiki penyebaran virus corona dari sejumlah klub malam di Seoul, dan berupaya mengendalikan infeksi saat negara tersebut mulai melonggarkan langkah pembatasan sosial yang ketat.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC) pada Jumat menyatakan sedikitnya 15 orang telah terinfeksi virus yang terkait dengan klub-klub di Itaewon, sebuah lingkungan yang populer bagi warga Korea maupun warga asing di kota itu.

Korea Selatan telah melaporkan hanya sedikit kasus dalam beberapa hari terakhir, yang mayoritas adalah orang yang baru kembali dari luar negeri.

Penyebaran di klub malam, meskipun masih sedikit, diperkirakan akan meningkat dan muncul pada saat negara itu telah mengurangi pembatasan sosial.

"Tempat-tempat ini memiliki kondisi berbahaya yang paling kami khawatirkan," kata Direktur KCDC Jeong Eun-kyeong, merujuk pada lokasi yang penuh sesak.

"Kami pikir penting untuk memperkuat pengelolaan di tempat-tempat tersebut, dan kami mendesak Anda untuk sebisa mungkin tidak mengunjungi fasilitas itu."

Baca juga: Mulai 6 Mei, Korea Selatan longgarkan lagi aturan "social distancing"

Pejabat kota Seoul mengatakan mereka telah mendaftar sekitar 1.500 orang yang mengunjungi klub, dan lebih banyak kasus telah dikonfirmasi di kota-kota lain di mana pasien tinggal atau bepergian.

Pihak berwenang telah meminta siapa pun yang mengunjungi klub selama akhir pekan untuk diuji dan mengisolasi diri selama 14 hari.

Rangkaian infeksi juga menimbulkan kontroversi mengenai kemungkinan efek samping yang tidak diinginkan dari pelacakan besar-besaran yang dilakukan Korea Selatan, dan pengungkapan beberapa informasi pasien kepada publik.

Ketika beberapa media lokal mengidentifikasi klub malam sebagai "klub gay," muncul kritik bahwa pengungkapan dan liputan media bisa mengarah pada diskriminasi terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ), jika tidak seizin mereka.

Gay dan Itaewon corona menjadi istilah yang paling populer di portal pencarian situs Korea Selatan, Naver, setelah laporan tersebut.

Beberapa pengguna media sosial khawatir bahwa ketakutan akan pengungkapan kepada publik dapat menghalangi beberapa pengunjung klub untuk diuji, dan membandingkan klaster dengan wabah terbesar di negara itu, yang menginfeksi ribuan anggota gereja rahasia.

Baca juga: Pakai masker, siswa Korea Selatan kembali ke sekolah

Laporan tersebut mencakup usia, jenis kelamin, lokasi, dan pergerakan individu pertama yang dites positif setelah mengunjungi klub-klub tersebut, serta jenis pekerjaan mereka, menurut Solidaritas untuk Hak Asasi Manusia LGBT di Korea.

"Tidak hanya tidak membantu untuk mengungkapkan informasi tentang gerakan individu untuk upaya pencegahan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang mengganggu privasi individu dan mengungkapkannya ke masyarakat," kata kelompok pembela hak asasi manusia itu.

Beberapa media lokal kemudian mengubah berita utama dengan menghapus referensi ke bar gay tetapi tidak membuat permintaan maaf resmi.

Homoseksualitas tidak dianggap ilegal di Korea Selatan, dan ada peningkatan penerimaan publik atas hubungan LGBTQ.

Namun, diskriminasi masih tersebar luas dan beberapa orang gay menderita kejahatan rasial, kata para pembela hak asasi manusia.

Untuk memerangi wabah virus corona, Korea Selatan telah menerapkan pendekatan teknologi tinggi untuk melacak kontak, yang dapat mencakup mengakses data lokasi ponsel pasien, rekaman kamera pengintai, laporan kartu kredit, dan informasi lainnya.

Peringatan pada ponsel otomatis kemudian dikirim ke siapa pun yang diduga berada di area yang sama dengan kasus yang dikonfirmasi. Otoritas kesehatan sering kali mengungkapkan rincian tentang jenis kelamin, usia, keberadaan, dan kadang-kadang tempat kerja seseorang, dalam upaya melacak kasus baru.

Sumber: Reuters

Baca juga: Cara Korea Selatan dan Vietnam perangi COVID-19

Baca juga: Indonesia dapat belajar dari data penanggulangan COVID-19 Korsel



 

Reagen PCR bantuan Korsel terkirim ke seluruh daerah

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020