Jakarta (ANTARA News) - Staf khusus kepresidenan bidang hukum, Denny Indrayana, meminta agar semua pihak tidak mendramatisir pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pascaledakan bom di kawasan bisnis Mega Kuningan, Jakarta.

Denny yang dihubungi ANTARA News di Jakarta, Senin, mengatakan, polemik dan perang pernyataan tidak akan membantu pengungkapan pelaku serta motif ledakan bom yang menewaskan sembilan orang itu.

"Polemik dan perang pernyataan tidak akan membantu pengungkapan siapa pelaku dan apa motifnya. Pascatragedi demikian, justru kita semua harus meningkatkan kebersamaan dan tidak terlalu mendramatisir pernyataan presiden," tutur Denny.

Menanggapi pernyataan tim kampanye nasional Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto yang menilai pernyataan Presiden Yudhoyono melanggar konstitusi, Denny mengatakan, semua pihak seharusnya justru mendukung kerja pemerintah dan aparat kepolisian guna mengungkap tuntas kasus peledakan bom di Mega Kuningan.

"Saya pikir, sebaiknya semua pihak memberikan kesempatan kepada polisi untuk bekerja dan menuntaskan tragedi pemboman tersebut," ujarnya.

Sekitar enam jam setelah dua ledakan yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada Jumat pagi 17 Juli 2009, Presiden Yudhoyono memberikan keterangan pers yang mengungkap informasi intelijen tentang rencana sekelompok teroris untuk melakukan kekerasan berkaitan hasil Pemilu 2009.

Presiden Yudhoyono juga memperlihatkan foto-foto dari hasil penyelidikan intelijen yang menggambarkan foto dirinya dijadikan sasaran latihan tembak oleh sekelompok orang bertopeng.

Informasi intelijen yang didapat sejak sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 dan baru pertama kali dibuka kepada publik setelah ledakan bom di Mega Kuningan itu, menurut Yudhoyono, mengindikasikan rencana sekelompok teroris untuk menggagalkan pelantikan dirinya sebagai presiden untuk periode kedua.

Menanggapi pernyataan Presiden Yudhoyono itu, Ketua tim advokasi pasangan Megawati-Prabowo, Gayus Lumbuun, dalam konferensi pers bersama di kantor Partai Golkar menilai Presiden telah melakukan perbuatan tercela dan mendesak DPR untuk memproses indikasi pelanggaran konstitusi dalam pidato tersebut.

"DPR harus segera didesak mewakili rakyat untuk mengonfirmasi pernyataan-pernyataan yang tidak tepat karena menimbulkan ketidaknyamanan di tengah masyarakat," kata Gayus.

DPR, lanjut dia, dapat mengusahakan rapat-rapat bersifat luar biasa dan rapat badan musyawarah yang berujung pada kesepakatan terhadap rapat paripurna luar biasa.

Jika DPR sepakat mengenai indikasi perbuatan tercela dalam pernyataan Presiden Yudhoyono, maka DPR dapat menghadapkan Presiden ke Mahkamah Konstitusi untuk diproses secara hukum.

Apabila MK sepakat Presiden melakukan perbuatan tercela, maka proses selanjutanya berada pada MPR yang dapat menjatuhkan sanksi sesuai pasal 7 a UUD 1945 yang mewajibkan Presiden dan Wakil Presiden untuk tidak melakukan pelanggaran hukum, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.

Menurut Denny, semua pihak seharusnya jangan terlalu mudah menilai suatu pernyataan melanggar konstitusi atau tidak, karena konstitusi adalah norma dasar yang mengatur hal-hal umum dalam kehidupan bernegara.

"Pernyataan Presiden yang merespon tragedi pemboman karenanya adalah justru pelaksanaan tugas konstitusional Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk segera menegakkan keamanan dan ketertiban pascatragedi peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton," demikian Denny. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009