Jakarta (ANTARA) - BMKG memprediksi puncak kemarau 2020 terjadi pada Juli hingga September, karenanya perusahaan perlu mulai bergerak mengurus lahan gambutnya guna mencegah kebakaran hutan dan lahan, kata Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo.

Bambang Hero dalam diskusi digital Badan Restorasi Gambut (BRG) bertema Restorasi Gambut di Konsesi Perkebunan di Jakarta, Senin, mengatakan jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), hanya perlu berpikir sederhana, berarti ada persoalan di manajemen gambutnya.

Menurut dia, memang ada korporasi yang tidak bergerak untuk mengelola lahan gambutnya dengan benar.

"Saya pernah datang ke korporasi, tanya ke manajernya di mana titik penaatan air gambut, eh malah dia balik tanya apa itu titik penaatan. Di rawan kahutla provinsi lainnya saya lakukan hal sama, tapi yang ditunjukkan itu titik mengukur subsiden. Itu jelas persoalan," kata dia.

Ia mengatakan sesuai peraturan pemerintah maka itu menjadi kewajiban perusahaan yang ada di wilayah gambut. Karena ketika air sempat drop, mereka terpaksa harus mengeluarkan budget untuk menaikkan muka air di lahan tersebut, sehingga tidak menimbulkan persoalan karhutla di musim kemarau.

Kasubpokja Supervisi Pengelolaan Lahan Konsesi BRG Dermawati Sihite mengatakan dari target sekitar 2,6 juta hektare (ha) hutan dan lahan gambut yang harus direstorasi sekitar 1,7 juta ha ada di area konsesi. Keberhasilan restorasi gambut tentu sulit jika intervensi tidak dilakukan menyeluruh.

Rencana Tingkat Tahunan (RTT) program restorasi gambut pun, menurut dia, belum disinkronkan dengan kegiatan supervisi untuk pemegang konsesi atau perusahaan yang beroperasi di atas lahan gambut, terlebih sifatnya hanya voluntary dan tidak semua perusahaan mau disupervisi oleh BRG.

Ada pula yang, menurut dia, sudah memiliki rencana pemulihan dan ada pula yang belum punya rencana pemulihan gambut. Meski demikian perencanaan restorasi Kesatuan Hidrologi Gambut sedang dilakukan sehingga supervisi dapat disinkronkan untuk rapid assessment.

Baca juga: Akademisi: Rencana lahan gambut untuk pangan punya nilai ekonomis

“Bertahap memang akan dilakukan sehingga akan sinkron di kawasan mereka,” ujar dia menjelaskan soal restorasi gambut di area perusahaan.

Ia mengatakan memang ada juga perusahaan yang meminta BRG melakukan supervisi restorasi gambut di kawasannya, namun perusahaan tersebut di luar target dan termasuk tidak memiliki hak guna usaha (HGU). “Kami hanya supervisi yang HGU,” katanya.

Baca juga: BRG fasilitasi restorasi 656.884 ha gambut di Sumsel

BRG pun, menurut dia, tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan jika setelah supervisi dilakukan, rekomendasi tidak dijalankan oleh perusahaan.

Sementara itu, General Manager Water Management PT TH Indo Plantations Abdul Manaf Sirait mengatakan perusahaannya yang telah mengikuti supervisi BRG tersebut mengantisipasi kemarau dengan mengupayakan menahan air hujan selama mungkin, terutama di zona rawan kekeringan. Konservasi kubah gambut dilakukan sehingga air tidak keluar sedikit pun, kemudian kanal tengah dan kanal tersier disekat sedemikian rupa sehingga air di tengah konsesi tetap terisi.

Baca juga: BPBA: Kebakaran lahan gambut di Aceh Jaya meluas capai 30 hektare

Sekat kanal untuk manajemen air dibuat, menara pantau sudah tersedia, simulasi pemadaman dan pencegahan karhutla dilakukan, ikut memadamkan di wilayah masyarakat terdekat konsesi. Pemanfaatan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk manajemen air gabut dengan memanfaatkan android untuk pemantauan tinggi muka air tanah gambut.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020