Pandeglang (ANTARA) - Masjid Cikoneng yang berlokasi di Kampung Manungtung Desa Cilaban Bulan, Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang yang dibangun sekitar tahun 1840-an sebagai pusat syiar Islam di Provinsi Banten.

"Dulu, masjid itu banyak dikunjungi jamaah dari berbagai daerah di Provinsi Banten untuk melaksanakan shalat Jumat," kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Cikoneng Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang Abdul Hakim, Rabu.

Pembangunan Masjid Cikoneng itu diperkirakan dibangun setelah pembangunan Masjid Caringin di Kecamatan Labuan, sebab kedua masjid tersebut sebagai pusat penyebaran agama Islam di Provinsi Banten.

Kondisi masjid itu hingga kini masih utuh tanpa perbaikan baik mimbar, empat tiang penyangga dari kayu nangka juga ruangan depan untuk musyawarah.

Baca juga: Wisata jejak "Hoftbestoor" PBNU di Ampel-Surabaya

Namun, ada beberapa bagian yang diperbaiki seperti tembok ditempel keramik, pintu jendela juga tempat wudhu.

Sedangkan, beduk dan tongtong untuk memanggil shalat berusia ratusan tahun hingga kini belum mengalami kerusakan.

Pembangunan Masjid Cikoneng itu dipastikan dibangun para penyebar Islam di Tanah Jawa, sebab interior masjid tersebut tidak jauh dengan Masjid Banten, Caringin dan Demak, Jawa Tengah.

Kebanyakan masjid sebagai pusat penyebar agama Islam selalu terdapat empat penyangga kayu juga jendela terbuka.

Meskipun Masjid Cikoneng sudah ratusan tahun, namun kini belum dijadikan sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan.

"Kami minta pemerintah segera menetapkan Masjid Cikoneng Menes diterbitkan cagar budaya sebagai saksi penyebaran Islam di Banten," katanya menjelaskan.

Menurut dia,  Masjid Cikoneng saat bulan suci Ramadhan dan shalat Jumat banyak dikunjungi jamaah dari Mandalawangi, Saketi, Cipecang, Pandeglang hingga Serang dan mereka berjalan kaki hingga puluhan kilometer.

Baca juga: UGM bertekad cetak pemimpin Muslim moderat melalui Masjid Mardliyyah

Sebab, Masjid Cikoneng dibangun para penyebar Islam di Tanah Jawa sehingga memiliki  nilai religius cukup tinggi.

Bahkan, masjid tersebut menjadi saksi kekejaman Belanda yang menembaki para jamaah yang tengah melaksanakan shalat Jumat.

Saat itu, kata dia, pasukan Belanda mencari ulama yang memberontak melakukan perlawanan terhadap Belanda tahun 1948-an atau agresi kedua.

Meski Belanda menembaki,  para jamaah berlarian menyelamatkan diri dan tidak ada satupun jamaah yang luka atau meninggal dunia.

"Pasukan Belanda menembaki jamaah di Masjid Cikoneng itu setelah ada mata-mata dari kepala desa setempat yang bersekutu dengan Belanda," katanya menjelaskan.

Sementara itu, Cecep Sumarna (80) mengatakan dirinya selamat dari tembakan pasukan Belanda saat umat Muslim melaksanakan shalat Jumat di Masjid Cikoneng.

Pasukan kompeni itu, kata dia, saat mencari ulama yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Saat itu, kata dia, dirinya masih kecil dan melaksanakan shalat Jumat di masjid tersebut hingga berlarian untuk menyelamatkan diri.

"Kami sebagai warga asli  Manunggtung yang rumahnya tidak jauh dengan Masjid Cikoneng sama sekali tidak mengetahui pembangunan masjid itu. Kami sebelum lahir masjid itu sudah ada," kata Cecep yang kini tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.

Baca juga: Masjid-Gereja di Kendari berdampingan bukti kerukunan umat beragama
Baca juga: 'Masjid versus Pasar' dalam masa pandemi COVID-19
Baca juga: Peserta tadarus Masjid Persis Rangkasbitung wajib gunakan masker

Pewarta: Mansyur suryana
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020