Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) meminta kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membuktikan dugaan bahwa komponen biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge/FS) kartel.

"Silakan buktikan. KPPU kan memang tugasnya untuk itu," kata Sekretaris Jenderal INACA, Tengku Burhanuddin saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Penegasan tersebut terkait dengan desakan KPPU sebelumnya agar maskapai domestik menghapus atau menghilangkan komponen biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge/FS) karena diduga kental dengan praktik kartel dan tidak termasuk dalam struktur tarif.

Namun, Tengku menegaskan, sebenarnya permintaan agar FS dihapuskan itu berlebihan karena sejatinya apa yang terjadi di Indonesia (penerapan FS oleh maskapai domestik, red) juga terjadi di dunia internasional.

"Kalau pada akhirnya di Indonesia, FS dihapuskan, akan menjadi aneh karena penumpang asal Indonesia yang ke luar negeri juga tak bebas dari FS oleh maskapai asing," katanya.

Hanya saja, Tengku heran, jika benar FS oleh maskapai Indonesia diduga kartel maka sangat tidak beralasan karena ternyata ada yang sudah menghapuskan FS.

"Kalau semua pakai FS, itu baru bisa diduga ada permainan kartel, apalagi nilainya sama misalnya rata-rata Rp50-100 ribu," katanya.

Selain itu, tegasnya, nilai FS yang diterapkan maskapai di Indonesia juga berdasarkan formula yang ditetapkan oleh pemerintah. "Jadi, tidak asal. Ada variabel dan sebagainya," katanya.

Namun, Tengku tidak menolak pernyataan bahwa tren FS sejauh ini oleh maskapai sudah mengarah kepada ladang untuk mendongkrak pendapatan maskapai.

"Kami itu, sudah puluhan tahun, struktur tarifnya tak diubah oleh pemerintah. Jadi, wajar bila FS itu juga membantu maskapai," katanya.

Tengku juga menolak anggapan selama ini, pemerintah tak dapat apa pun dari penerapan FS oleh maskapai karena ternyata maskapai pun membayar pajak pertambahan nilai (PPn) sebagai akibat penerapan FS ke konsumen.

Sebelumnya, Ketua KPPU Benny Pasaribu menilai, penerapan FS selama ini janggal karena selain ditetapkan secara mandiri oleh maskapai, trennya juga terus naik dengan persentase kenaikan yang tidak sebanding dengan persentase kenaikan harga avtur.

Padahal, tegasnya, aturan FS secara internasional umumnya besaran atau penurunannya haruslah sama dengan besaran kenaikan atau penurunan selisih harga biaya tambahan (surcharge) yang terjadi.

Jika demikian halnya, tegasnya, maka FS sebenarnya merupakan biaya tetap (fixed cost) dan bukan elemen yang bisa menjadi instrumen persaingan.

Berdasarkan fakta itu, kata Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi, FS ternyata memiliki fungsi lain yakni, selain untuk menutup biaya yang muncul akibat kenaikan avtur ternyata diduga juga untuk menutup biaya lain. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009