Poso (ANTARA News) - Puluhan tokoh agama, pemuka masyarakat, aktivis LSM, dan perwakilan dari Pemkab Poso di Sulawesi Tengah, hari Senin melakukan pertemuan untuk mencari masukan dalam merefleksikan 10 tahun terjadinya konflik Poso demi pembangunan daerah ini ke depan.

Pertemuan dalam bentuk diskusi yang digelar Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako (P4K Untad) itu, berlangsung penuh keakraban dari dua komunitas yang dulunya sempat terlibat pertikaian.

Kepada wartawan di Poso, Senin, Koordinator Tim P4K Untad, Ir Syamsul Nadjamuddin, mengatakan diskusi sekitar enam jam hingga malam hari itu bertujuan untuk mendapatkan masukan terkait penentuan isu rencana penyelenggaraan simposium tentang masalah Poso pasca konflik.

"Kami juga sudah merencanakan menghadirkan Wapres M. Jusuf Kalla untuk membuka simposium tersebut yang dijawalkan pelaksanaannya di Palu, ibukota Provinsi Sulteng, pada 9 Agustus mendatang," tuturnya.

Syamsul juga mengatakan, pihaknya sengaja mengundang berbagai pemangku kepentingan dalam acara diskusi sehari itu, agar memperoleh masukan lebih konprehensif sehingga isu yang dibawa dalam simposium nantinya dapat memberikan nilai tambah bagi percepatan pembangunan Kabupaten Poso ke depan.

"Kami berharap melalui simposium itu, nantinya dapat dirumuskan sejumlah rekomendasi untuk menyelesaikan kompleksitas tantangan yang dihadapi masyarakat dan pemerintah daerah di wilayah Poso pasca konflik," katanya.

Dalam diskusi tersebut terlihat para peserta antusias memberikan masukan.

Pendeta Feliks Antonio misalnya, mengusulkan agar persoalan Poso yang dibahas dalam simposium tersebut dibicarakan oleh orang Poso sendiri.

"Sebaiknya bahasa yang muncul dalam pertemuan yang lebih besar nantinya ketika membicarakan masalah Poso, adalah bahasa dari orang Poso," kata Pdt. Feliks yang menjabat Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang berpusat di Tentena, kota kecil di tepian Danau Poso.

Sin Songgo, Asisten III Setdakab Poso yang mewakili pemerintah daerah, justru mengusulkan perlunya diprioritaskan agenda pengembangan ekonomi masyarakat pasca konflik Poso dalam simposium tersebut.

Masalahnya, menurut dia, akibat konflik berkepanjangan melanda Poso beberapa waktu lalu, banyak rakyat Poso dari kedua komunitas kehilangan pekerjaan dan bahkan ada yang bangkit mulai dari keadaan nol.

Selain itu, katanya, tak sedikit kegiatan perusahaan dari berbagai sektor tutup.

Tapi, menurut Ny. Ruwaidah Untingo, tokoh perempuan dan salah satu Deklator Malino untuk perdamaian Poso, yang perlu dibahas dalam simposium tersebut ialah bagaimana mendorong pemerintah pusat segera merealisasikan Inpres Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah.

Ketika membuka Muktamar Alkhairaat IX di Pondok Pesantren Madinatul Ilmi Dolo, Kabupaten Donggala, pada 27 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan telah mengeluarkan Inpres No.7 Tahun 2008 tentang Program Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah (Sulteng).

Inpres yang berlangsung selama dua tahun yakni 2008-2010 itu dikeluarkan Presiden Yudhoyono, antara lain didasarkan pada realitas yaitu lambatnya perkembangan pembangunan di Provinsi Sulteng dibanding provinsi lain yang ada di Tanah Air.

Bahkan, kurun waktu tahun 2000-2007 tidak ada satu pun rencana investasi PMDN dan PMA di Provinsi Sulteng yang telah disetujui oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal terealisir akibat dampak dari konflik Poso berkepanjangan.

Jadi, konflik Poso itu bukan saja dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Poso sendiri, namun juga telah memukul pembangunan ekonomi pada 10 kabupaten lain yang ada di provinsi setempat. (*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009