Jakarta (ANTARA) - Jika ditilik kemunculan virus corona jenis baru penyebab COVID-19 yang bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, disepakati sejak akhir Desember 2019 atau mulai Januari 2020, paling tidak sudah ada lima hingga enam bulan masyarakat dunia terhubung dengan pandemi ini.

COVID-19 adalah penyakit menular dengan gejala saluran pernapasan seperti flu dengan gejala seperti batuk, demam, dan pada kasus yang lebih serius adalah pneumonia atau masyarakat luas mengenalnya dengan istilah paru-paru basah.

Menurut data yang diakses dari Worldometers (https://www.worldometers.info/coronavirus/) hingga Rabu (13/5) pagi total kasus COVID-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 4.335.226.

Amerika Serikat adalah negara tertinggi yang warganya terinfeksi, yakni sebanyak 1.408.636 kasus.

Sementara di Indonesia, menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 nasional hingga Rabu ini tercatat sebanyak 14.740 orang positif, 3.063 sembuh, dan 1.007 meninggal dunia.

Bila membaca informasi di berbagai belahan dunia, kecenderungan penyebaran COVID-19 ini, meski ada negara yang melaporkan angka kurvanya ada pelambatan, namun secara umum masih didominasi pertambahan kasus.

China, tempat pertama kali di dunia ditemukan virus mematikan itu -- karena menilai pandemi COVID-19 berangsur-angsur terkendali -- kemudian mencabut status "lockdown" Kota Wuhan yang sudah berlangsung selama 11 pekan pada Rabu (8/4).

Konsekuensinya, pemerintah China kemudian mulai mengizinkan penduduk di Kota Wuhan untuk beraktivitas seperti biasanya.

Namun, seperti dilaporkan kantor berita transnasional merujuk pada data resmi yang dirilis, China mencatat sebanyak 17 kasus baru COVID-19 pada 10 Mei. Angka itu naik dari hari sebelumnya sekaligus menandai kenaikan harian tertinggi sejak 28 April.

Berdasarkan kasus yang baru saja dilaporkan itu terdapat tujuh kasus impor yang melibatkan pelancong dari luar negeri, dibandingkan dengan dua kasus impor pada 9 Mei.

Lima dari kasus baru tercatat di Kota Wuhan, tempat wabah pertama kali muncul pada akhir 2019 dan angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak 11 Maret.

Jumlah total kasus COVID-19 di China mencapai 82.918 sedangkan total kematian masih tetap sama, yakni berjumlah 4.633 kematian.


Gelombang kedua

Atas kondisi seperti yang dialami China itu, diskursus mengenai adanya gelombang kedua COVID-19 kemudian mencuat, yang disampaikan oleh tokoh-tokoh dunia.

Adalah William Henry "Bill" Gates III, pebisnis, investor, filantropis Amerika Serikat (AS), mantan bos dan pendiri perusahaan perangkat lunak Microsoft, yang mengingatkan akan kondisi tersebut.

Berdasar rencana sejumlah negara bagian di AS yang akan mulai melonggarkan pembatasan sosial dan kebijakan diam di rumah setelah sejumlah negara bagian itu menunjukkan semakin kecilnya angka penularan, ia mengingatkan kecilnya angka penularan tidak berarti kawasan itu bebas dari risiko.

Dia menyebut "sebab ada kemungkinan wabah gelombang dua yang lebih mematikan".

Karena itu, negara-negara bagian AS mesti mempertimbangkan hal itu terlebih dulu ketimbang mencoba memulihkan krisis ekonomi akibat penutupan yang dilakukan selama lockdown.

Dalam wawancara dengan CNN, Bill Gates menyatakan: "Jika (pembatasan) dibuka, (pandemi) bisa kembali tumbuh eksponensial dan menyerupai New York,".

Menurut dia hal itu bisa meningkatkan risiko penularan ke daerah-daerah sekitar negara bagian tersebut karena orang-orang kembali bebas berkeliaran.

Gates mengusulkan pelonggaran itu dilakukan bertahap, dilakukan diagnosa dan pelacakan kontak, memperbanyak pengetesan berkala, dan melakukan tes selesai satu hari.

Bahkan, ia menyebut perlunya kehati-hatian hingga dua tahun ke depan dalam rencana pembukaan pembatasan dengan pertimbangan perlu waktu selama itu sampai vaksin virus corona siap diproduksi dalam jumlah besar.

Presiden AS Donald Trump pun pada Rabu (22/4) angkat bicara soal gelombang kedua ini.

Trump meminta Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) Robert Redfield untuk menelusuri kembali pernyataannya bahwa gelombang kedua virus corona jenis baru di musim gugur dapat lebih buruk ketimbang pada situasi saat ini.

Sebelumnya, dalam wawancara dengan Washington Post pada Selasa (21/4) Redfield menyatakan gelombang kedua virus corona diperkirakan bakal menghantam AS pada musim dingin mendatang dan kemungkinan akan lebih parah dibandingkan yang pertama sebab muncul di awal musim influenza.

"Ada kemungkinan serangan virus di negara kita pada musim dingin mendatang sebenarnya akan lebih sulit ketimbang yang kita lalui sekarang," katanya.

Namun, Robert Redfield tetap "keukeuh" dengan pernyataannya itu dan bahkan menegaskan ia "dikutip secara tepat" saat menanggapi cuitan Trump di Twitter yang menyebut pakar kesehatan itu "dikutip salah dan akan mengeluarkan satu pernyataan".


Baca juga: Iran larang perjalanan antarkota di tengah gelombang kedua corona

Baca juga: Khawatir gelombang kedua, Lebanon perpanjang karantina wilayah


Gayung bersambut

Diskursus ancaman gelombang kedua itu bak gayung bersambut, karena sejumlah negara juga mengkhawatirkannya.

Dari kawasan Eropa, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson -- yang baru saja pulih dari COVID-19 yang hampir membahayakan nyawanya -- menyebut bahwa masih terlalu berisiko untuk melonggarkan karantina nasional (lockdown), yang bertujuan memutus rantai penularan virus corona karena dapat menyebabkan gelombang kedua yang mematikan.

"Kami harus mengakui risiko gelombang kedua, risiko kehilangan kendali atas virus itu, dan membiarkan angka reproduksi kembali satu lagi karena itu artinya tidak hanya gelombang kematian dan penyakit baru tapi juga bencana ekonomi," kata Jhonson.

Sambil menyatakan memahami keprihatinan bisnis dan akan berbicara dengan partai oposisi, ia menekankan saat ini tingkat risiko masih maksimal sehingga saat ini belum ada keputusan untuk mencabut karantina nasional.

Kemudian, Iran -- negara yang jumlah kasus COVID-19-nya juga besar -- pun mengantisipasi soal gelombang kedua ini

Juru bicara pemerintah Iran Ali Rabiei menyatakan negara itu kemungkinan menghadapi gelombang kedua wabah virus corona sehingga pemerintah akan menerapkan langkah tegas saat jumlah kematian di negara itu meningkat menjadi 2.077.

Alasannya, karena tidak sedikit warga Iran yang tidak mematuhi anjuran otoritas kesehatan untuk menghentikan penyebaran virus di negara itu, di antaranya beberapa warga Iran mengabaikan saran dari para pejabat Kementerian Kesehatan dan masih saja bepergian selama hari libur Tahun Baru Iran yang dikenal dengan "Nowruz"

Ali Rabiei menyebut bahwa: "Ini bisa menyebabkan gelombang kedua virus corona".

Karena itu, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan larangan akan lebih banyak diberlakukan demi membendung penyebaran virus corona itu.

Bahkan China sendiri pun, pada akhir Maret juga sudah menyuarakan potensi gelombang kedua itu.

Juru bicara Komisi Kesehatan Nasional China Mi Feng menyatakan pertambahan kasus infeksi virus corona di China yang berasal dari penularan luar negeri memunculkan risiko gelombang kedua wabah COVID-19, padahal angka kasus dari penularan lokal telah menurun tajam.

Hingga menjelang akhir Maret itu, selama tujuh hari terakhir, dilaporkan sebanyak 313 kasus impor terjadi di China, sedangkan hanya enam kasus di antaranya yang muncul akibat penularan lokal.

Sebanyak 45 kasus baru muncul pada Sabtu (28/3), turun dari hari sebelumnya yang tercatat 54 kasus.

Kasus baru itu melibatkan pasien dengan riwayat perjalanan dari luar China, yang kebanyakan merupakan orang China yang baru kembali dari luar negeri.

Karena itu, maskapai penerbangan diperintahkan untuk memangkas penerbangan internasional.

Siapapun tidak ada yang bisa memastikan pandemi COVID-19 ini akan usai. Namun, segala ikhtiar tetap dilakukan agar bisa ditemukan obat atau pun vaksin penangkalnya.

Pada saat bersamaan, kewaspadaan, kehati-hatian dan juga ketidakgegabahan sangat diperlukan sehingga kehawatiran akan adanya gelombang kedua serangan COVID-19 tidak terjadi, termasuk di Tanah Air.


Baca juga: Paus Fransiskus imbau umat patuhi aturan cegah gelombang kedua corona

Baca juga: Gelombang kedua COVID-19 terjadi di kota suci Touba, Senegal

Baca juga: PM Hongaria peringatkan ancaman gelombang kedua corona pada Oktober


 

Copyright © ANTARA 2020