Dalam konteks pengawasan ke perbankan, adanya penyebutan nama-nama bank secara langsung memang bisa menimbulkan risiko persepsi keliru di masyarakat
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah ekonom menyayangkan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai tujuh bank yang dinilai kurang diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikhawatirkan bisa menimbulkan persepsi negatif di masyarakat, apalagi di tengah masa pandemi COVID-19 saat ini.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto di Jakarta, Jumat, mengatakan pengawasan terhadap institusi negara termasuk OJK memang sudah menjadi tugas BPK dan merupakan hal yang baik sebagai mekanisme pengawasan, supaya lembaga negara melaksanakan tugasnya secara optimal.

Namun Eko menilai BPK seharusnya lebih hati-hati dalam menyampaikan hasil temuannya sehingga tidak memberikan keresahan di masyarakat.

"Dalam konteks pengawasan ke perbankan, adanya penyebutan nama-nama bank secara langsung memang bisa menimbulkan risiko persepsi keliru di masyarakat," ujar Eko.

Ia mempertanyakan apakah proses-proses klarifikasi ini telah dilakukan dan kemudian lembaga yang diawasi seperti OJK, tidak memberikan jawaban secara memadai, atau memang belum dilakukan proses klarifikasi.

"Klarifikasi untuk sektor perbankan yang sifatnya highly regulated sangat penting. Meskipun setahu saya tidak ada larangan nama individual bank disebutkan," katanya.

Baca juga: Ketua BPK minta OJK tak persoalkan publikasi nama bank hasil audit

Sementara itu ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menilai adanya temuan BPK mengenai tujuh bank yang kurang diawasi kurang baik oleh OJK, tentu memiliki dampak tersendiri bagi bank yang disebut namanya.

"Tentu ada implikasi terhadap bank yang namanya disebut. Perilaku nasabah Indonesia secara umum menghindari risiko. Tapi saya pikir akan lebih seimbang apabila saat itu BPK juga menyuarakan rekomendasi penyelesaiannya atas temuannya itu. Pun itu tentang temuan atas suatu kinerja di masa lalu," ujar Wisnu.

Ia menuturkan bahwa kondisi perbankan Indonesia saat ini masih cukup aman dan belum krisis. Berdasarkan data OJK, stabilitas sektor jasa keuangan masih cukup terjaga, yang tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) industri perbankan yang masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72 persen per Maret 2020. Sedangkan untuk risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan juga masih terjaga pada level 2,77 persen.

Berdasarkan audit BPK yang termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019 disebutkan bahwa ada tujuh bank yaitu Bank Muamalat, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Banten, Bank Papua, Bank Mayapada, Bank Yudha Bhakti, dan Bank Bukopin, yang dikaitkan dengan kurangnya pengawasan dengan kadar masalah yang berbeda.

Baca juga: BPK sampaikan IHPS semester II 2019 ke Presiden Jokowi



 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020