Jakarta (ANTARA News) - Pada 27 Mei 2006, bumi Kasongan rata dengan tanah. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter meluluh-lantahkan sentra gerabah paling besar dan termasyhur di Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Saat itu denyut hidup Kasongan seolah berhenti, senyap, dan ngelangut.

Dumi Sumiasih (51), pemilik usaha "Dwi Yanto Keramik", mengaku, ketika itu dirinya hanya bisa meratapi kepedihan yang dideritanya. Ruang pamer gerabah, yang selama ini menjadi gantungan hidup keluarganya hancur tak bersisa.

Tapi, dia merasa masih beruntung, karena seluruh keluarganya selamat. Tidak seperti lima warga dusun Kasongan yang meregang nyawa tertimpa reruntuhan rumah.

"Gempa tak menyisakan satupun gerabah kami. Kerugian kami mungkin lebih dari 100 juta," ujar Dumi, saat dikunjungi peserta "Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) Workshop: Damage Assessment Technique" di Yogyakarta, Rabu.

Tak hanya itu, gempa juga menyebabkan ia kehilangan pencaharian. Usahanya juga macet lebih dari tiga bulan, karena hampir seluruh mesin produksi rusak. "Kami di sini harus memulai lagi dari nol," katanya.

Sejumlah gempa susulan yang terus terjadi sebulan kemudian, juga menciutkan nyali para pekerja dan pengusaha gerabah untuk memulai usahanya kembali. Akibatnya ribuan perajin dan buruh menganggur karena bisnis yang belum berjalan seperti semula.

Geliat ekonomi tak kunjung terlihat, karena tempat usaha mereka yang roboh tak kunjung diperbaiki.

I Made Supardiono, desain kreatif "Timboel Keramik Studio", mengaku setelah gempa, ia terpaksa merumahkan selama tiga bulan, hampir seluruh karyawannya yang berjumlah lebih dari 300 orang. "Kami bahkan harus memulainya dari minus," ujarnya.

"Timboel Keramik Studio" adalah perusahaan gerabah milik Dr Timboel Raharjo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang merupakan salah satu industri kerajinan gerabah dan keramik terbesar di Kasongan.

"Kami tak bisa memenuhi pesanan dari sejumlah negara di Eropa, karena semua peralatan rusak, dan barang-barang yang siap kirim juga hancur berantakan," katanya.

Namun mimpi buruk tiga tahun lalu, kini hampir sirna. Geliat industri gerabah Kasongan telah pulih, bahkan berkembang lebih pesat

"Kini sepenuhnya telah pulih, bahkan lebih baik ketimbang sebelum gempa. Order dari luar negeri juga sudah bisa kami layani seperti sedia kala," kata Dumi (51).

Transaksi bisnis gerabah Kasongan pada 2009 bahkan telah melampaui pencapaian sebelum gempa. Jika pada 2006 transaksinya sebesar Rp7,426 miliar, maka pada 2009 nilai produksinya mencapai Rp8,053 miliar.

Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul mencatat, pada 2009 unit usaha kerajinan gerabah Kasongan jumlahnya telah mencapai 441 unit, melebihi jumlah sebelum gempa yang sebanyak 401 unit.

"Jumlah tenaga kerja yang terserap juga bertambah menjadi 2.367 tenaga kerja, dari sebelumnya hanya 1.995 orang," kata Drs Yahya, kepala dinas instansi itu, dalam paparan potensi produk unggulan Kabupaten Bantul.

Namun tak mudah untuk bisa bangkit dari keterpurukan yang dalam, apalagi hingga tiga pekan setelah gempa tidak terlihat sinyal perbaikan atau pembangunan oleh pemerintah yang bisa memacu geliat ekonomi sektor riil, informal dan usaha kecil dan menengah (UKM).

Padahal bencana itu telah berdampak pada hancurnya sejumlah sentra industri kecil, pusat perniagaan dan pasar-pasar tradisional.

Menurut Fenty Yusdayanti dari Bappeda Bantul, spektrum gempa Yogyakarta memang sangat dasyat. Korban mencapai 31.045 orang, dan 4.280 orang di antaranya tewas, sebanyak 13.840 orang luka berat dan luka ringan sebanyak 12,925 orang. Gempa juga telah menyebabkan 71.763 rumah hancur, 71,372 rumah rusak berat dan 73,669 rusak berat.

Temuan lapangan menunjukan kerusakan paling parah dialami pusat kerajinan gerabah di Kasongan dan Pundong, kerajinan kulit Manding dan juga kerajinan perak Kotagede. Selain itu usaha pembuatan makanan geplak di Palbapang juga terhenti akibat gempa.

Keterbatasan dana dari pemerintah untuk tanggap bencana, serta depresi yang dialami para korban, diakui Fenty, menjadikan dampak gempa semakin parah.

Pengusaha seperti Dumi mengaku harus menyembuhkan trauma yang dalam, sebelum akhirnya bisa memulai usahanya sedikit demi sedikit.

"Bagaimanapun kami harus menghadapi kenyataan pahit ini, dan hidup toh harus terus berjalan. Gempa itu takdir, tapi kami merasa harus keluar dari kesulitan ini," katanya.

Ia berinisiatif untuk membangun sendiri kios darurat yang hancur. Ini dilakukan demi menghindari himpitan utang akibat tidak ada penghasilan selama musibah.

Inisiatif Dumi dan sebagian besar pengrajin gerabah Kasongan mulai membuahkan hasil. Empat bulan setelah bencana, mereka membuka kembali ruang pamer di sepanjang jalan kampung Kasongan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Deputi Rehabilitasi dan Rekontruksi Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) Bakri Beck mengakui inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat turut mempercepat pemulihan sendi-sendi sosial dan ekonomi pascabencana gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

"Kearifan lokal rakyat Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi faktor penting pemulihan. Saya kira ini bisa menjadi model dalam penanganan gempa di berbagai wilayah," ujarnya.

Hampir semua usaha ekonomi di Yogyakarta berbasis pada inisiatif rakyat. Inisiatif rakyat menjadi simbol dan identitas kultur Yogyakarta, yang kemudian menjadi motor penggerak percepatan rehabilitasi pascabencana.

Energi kebangkitan

Selain menjadi mata rantai ekonomi, gerabah bagi rakyat Kasongan merupakan denyut hidup mereka. Karena itu, ketika gempa berlalu, yang terpikir oleh Dumi, Timboel, Made dan banyak pengrajin lain adalah bagiamana membangun kembali industri gerabah mereka.

"Yang penting bagi kami adalah bagaimana kami bisa menghidupkan kembali gerabah Kasongan," kata Dumi. Dumi merasa, menghidupkan industri gerabah merupakan alternatif paling baik untuk keluar dari himpitan pascagempa.

Bagi Dumi dan rakyat Kasongan, gerabah merupakan legenda yang memberi mereka nafas. Mereka memiliki ikatan batin dan menjadi bagian sejarah gerabah yang telah hidup di kawasan itu setidaknya sejak 1675, saat Kyai Song, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro, untuk pertama kali mengembangkan pembuatan tembikar untuk perkakas dapur.

Nama Kasongan bahkan dinukilkan dari nama Kyai Song.

Tradisi membuat gerabah diteruskan oleh generasi Mbah Jembuh yang pada 1875-1885 mengembangkan gerabah untuk hiasan dinding dan celengan, dengan mengambil bentuk kepala binatang dan buah-buahan.

Pada 1825, Mbah Rono dan Mbah Giyah juga mengembangkan anglo.

Dalam perkembangannya, produk keramik Kasongan semakin variatif, dari mulai hiasan berbentuk kepala binatang, motif binatang, vas bunga, pot yang dikembangkan oleh Mbah Harta dan Mbah Josentono, ornamen yang dikembangkan seniman Sapto Hudoyo, hingga guci.

Bahan kerajinan pun kini bukan saja dari tanah liat, tapi juga kayu dan logam.

Keuletan pengrajin Kasongan juga mengantar gerabah Kasongan memasuki pasar ekspor. Hingga saat ini tidak kurang dari 12 negara menjadi tujuan ekspor gerabah dan kerajinan asal Kasongan.

"Negara-negara seperti Australia, Belanda, Swis, Kanada, Selandia Baru, Jepang, Jerman, Belgia, dan Malaysia merupakan pelanggan tetap kami," kata I Made Supardiono.

Sejarah panjang gerabah Kasongan, diakui Made, menjadi energi bagi kebangkitan industri gerabahnya setelah gempa berlalu. (*)

Oleh oleh Teguh Priyanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009