Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dengan target EBT sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti Widya Putri mengatakan implementasi energi baru dan terbarukan (EBT) membutuhkan dukungan regulasi yang kuat.

Oleh karena itu, menurut dia, adanya political will negara-negara di dunia menjadi sangat krusial.

"Saat ini, terdapat 183 negara yang sudah meratifikasi Paris Agreement 2015 yang telah diterjemahkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC)," katanya saat berbicara dalam The 7th Asia-Pacific Forum on Sustainable Development (APFSD) 2020, yang diadakan secara virtual, Rabu.

Baca juga: PLN-SMI tanda tangani kerja sama pengembangan EBT

APFSD merupakan forum tahunan antarpemerintah dari berbagai negara-negara dunia untuk mendiskusikan, memonitor, dan memastikan tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Selain Roro Esti, yang hadir mewakili parlemen Indonesia dan Kaukus Ekonomi Hijau DPR, pembicara lain adalah Amina J Mohammed (Sekretaris Jenderal Deputi PBB), Armida Salsiah Alisjahbana (Sekretaris Eksekutif ESCAP), Don Pramudwinai (Menteri Luar Negeri Thailand), Fidelis Magalhaes (Menteri Reformasi Legislasi dan Hubungan Luar Parlemen Republik Timor Leste), dan David Nabarro (Profesor Kesehatan Global Imperial College London).

Dalam rilisnya di Jakarta, Rabu, kader muda Partai Golkar ini memaparkan Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dengan target EBT sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.

Per 2020, porsi bauran EBT di Indonesia masih 9,15 persen.

Baca juga: Riset sebut investasi EBT salah satu faktor pulihkan ekonomi

Sementara itu energi fosil masih mendominasi yakni minyak sebesar 33,58 persen, gas 20,12 persen, dan batubara 37,15 persen.

Untuk porsi bauran pembangkit listrik EBT baru tercapai 12,2 persen atau 10.169 MW.

Pada forum internasional itu, Roro Esti juga menjelaskan pentingnya esensi gotong royong.

"Dalam menangani masalah global seperti perubahan iklim ini, perlu ada pendekatan lintasdisiplin," katanya.

Baca juga: Insentif bisnis EBT difokuskan di wilayah terdampak covid-19

Menurut dia, penyelesaian masalah global ini memerlukan upaya bersama semua sektor mulai pemerintah, CSO, akademisi, sektor swasta, BUMN, hingga pemudanya, agar dapat tercapai jauh lebih cepat.


Dampak Ekonomi

Roro Esti juga mengatakan pandemi COVID-19 telah menjadi krisis kesehatan global dan menyebabkan dampak yang luar biasa terhadap ekonomi secara global khususnya masyarakat ekonomi bawah.

Berdasarkan skenario yang paling optimis, Bank Dunia memproyeksikan setidaknya 11 juta orang di seluruh Asia Timur dan Pasifik jatuh ke dalam kategori miskin.

Sementara itu, berdasarkan laporan UNDP, ada sekitar 1,3 miliar pekerja informal kehilangan pekerjaan di seluruh Asia dan Pasifik.

Pandemi COVID-19 juga mempengaruhi aksesibilitas energi dengan banyak pembangunan pembangkit listrik dihentikan.

PT PLN (Persero) telah menunda beberapa proyek pembangkit listrik.

"Diharapkan terdapat peningkatan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat meningkatkan permintaan listrik atau energi secara global," ujar Roro Esti.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020