Jakarta (ANTARA) - Kala bulan Ramadhan tiba, ada satu istilah populer yang tidak bisa tidak selalu muncul.

Apa itu? Ya, "ngabuburit" adalah kata yang selalu mencuat dan bahkan umum dikenal di Tanah Air.

Jika kita mencari kata "ngabuburit" itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), barangkali tidak akan menemukannya karena belum masuk dalam bahasa Indonesia yang baku.

Perlu bukti? Saat kita memasukkan kata "ngabuburit" pada laman KBBI, apakah melalui laman https://kbbi.web.id/ atau laman http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/ngabuburit, maka yang muncul adalah jawaban: "Maaf, tidak ditemukan kata yang dicari" dan "ngabuburit" dari semua kelas kata tidak ditemukan".

Baca juga: Kenduri Nuzulul Quran di tengah pandemi COVID-19

Saat dicoba menelusuri dengan kata "burit" saja, maka jawaban yang muncul justru (bagian) belakang, buntut, dubur dan punggung.

Karena belum menjadi kosa kata baku dalam bahasa Indonesia -- meski populer dalam istilah umum -- bagaimana muasal kata "ngabuburit" yang identik dengan bulan Ramadhan?

Ternyata, "ngabuburit" adalah istilah yang berasal dari bahasa Sunda. Masyarakat di Provinsi Jawa Barat dan juga Banten, tentu sudah mengenal karena dipakai dalam bahasa sehari-hari.

Secara umum, "ngabuburit" berasal dari kata dasar dalam bahasa Sunda yaitu "burit", yang artinya sore. Ini, berbeda dengan kosa kata dalam bahasa Indonesia, yang maknanya sama sekali berbeda.

Kata "burit" ketika diberi imbuhan kemudian menjadi "ngabuburit" yang artinya melakukan kegiatan di sore hari.

Sore hari, adalah waktu mendekati Maghrib, dan ketika ditarik dalam konteks bulan Ramadhan, maka itu adalah saat-saat umat Islam yang sedang melaksanakan puasa akan menuju waktu berbuka puasa, setelah seharian menahan lapar dan dahaga tatkala menjalankan ibadah yang diwajibkan bagi semua kaum Muslim itu.

Waktu menunggu kumandang adzan Maghrib sebagai penanda buka puasa itulah yang kemudian akrab disebut "ngabuburit" yang hingga kini dikenal luas.

Umumnya, di kala suasana normal, "ngabuburit" lebih banyak diisi dengan aktivitas seperti menghabiskan waktu ke pusat-pusat keramaian seperti alun-alun, taman-taman, dan lebih dominan lagi adalah mencari atau berburu takjil.

Hikmah

Lalu, di kala saat Ramadhan 1441 Hijriah ini kondisi Indonesia di tengah pandemi COVID-19, bagaimana tradisi "ngabuburit" itu berlangsung?

Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pendiri Keluarga Mahasiswa NU Institut Pertanian Bogor (KMNU IPB) Ahmad Fahir, M.Si melihat bahwa justru ada hikmah yang bisa diambil dari kondisi saat ini.

"Waktu bagi umat Islam dalam menjalankan 'ngabuburit' bisa dimodifikasi dalam bentuk yang lebih berkualitas dalam ibadah-ibadah, terlebih ada anjuran-anjuran 'physical distancing' dalam mencegah kerumunan, yang berpotensi besar bisa menjadi faktor penularan virus corona," katanya.

Sambil menunggu bedug waktu berbuka puasa, para orang tua bisa mengajak anak-anaknya untuk mengaji bersama di rumah karena masjid dan mushala, khususnya yang dinyatakan otoritas berwenang sebagai zona merah, selama ini ditutup.

Kegiatan mengaji dan membaca Al Quran yang dikenal dengan tadarus selama Ramadhan, tidak mesti harus dilakukan malam hari, karena di saat "ngabuburit" dalam masa pandemi ini pun bisa dilakukan.

Baca juga: Rujak daun, makanan khas berbuka puasa warga Muslim di Aceh

"Saat mengaji pada saat 'ngabuburit' bisa menjadi cara kita untuk mencicil tadarus Al Quran sehingga bisa 'khatam' (menamatkan) lebih banyak," katanya.

Apalagi, ada keistimewaan Ramadhan dibandingkan dengan bulan lainnya adalah banyaknya pahala yang dilipatgandakan Allah SWT, khususnya kegiatan tadarus Al-Quran.

Rujukannya, bulan Ramadhan juga disebut sebagai bulannya Al Quran karena di bulan ini kitab suci tersebut diturunkan.

Keutamaan membaca Al Quran itu dalam hadits riwayat (HR) imam Tirmindzi, Rasulullah Muhammd SAW bersabda: "Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dengan huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi 10. Aku tidaklah mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan Mim satu huruf".

Belajar daring

Kegiatan "ngabuburit" lainnya, di era canggihnya teknologi informasi (IT) saat ini, juga berupa belajar secara dalam jaringan (daring) atau "online".

Salah satu platform pembuatan video pendek Likee, membuat kegiatan bertajuk "Likee Live Ngabuburit"

Menurut Manager of Creator Operation Likee Erwin pada Ramadhan di tengah masa pandemi ini, banyak hal seperti kebiasaan Ramadhan yang tidak dapat dilakukan pada 2020 ini.

Karena itulah, Likee berusaha menjadi platform yang selalu dapat memberikan hiburan dan manfaat bagi pengguna yang sedang menjalankan ibadah puasa #dirumahaja, dan salah satunya dengan "Likee Live Ngabuburit" itu.

Ia mengatakan dengan serangkaian acara live pihaknya ingin menemani pengguna pada Ramadhan ini setiap hari melalui pertunjukan langsung bersama banyak "influencer" dengan memberikan kesempatan untuk mempelajari bahasa-bahasa asing seperti bahasa Arab, Korea, dan Mandarin yang akan dibawakan oleh yang ahli dalam bahasa asing tersebut.

Selain itu, juga ada sesi tanya jawab bagi yang ingin bertanya ke para guru untuk mempelajari lebih lanjut bahasa asing tersebut.

Baca juga: Kesabaran buah berpuasa

Melakukan kegiatan secara daring, meski tidak dilakukan saat "ngabuburit" juga dilakukan jamaah Masjid Al-Khoslan di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

"Setiap hari Ahad pagi, sepanjang Ramadhan ini kami melakukan kajian Islam secara daring melalui 'Google Meet'. Ternyata jamaah yang ikut lebih banyak ketimbang saat sebelum COVID-19 yang dilaksanakan di masjid," kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Khoslan Achmad Nuryadin.

Dalam kajian Islam per pekan itu, dihadirkan narasumber ustadz Hendrisman, S.Ud, yang langsung berinteraksi dengan jamaah secara daring membahas beragam tema ke-Islaman, khususnya dengan tema Ramadhan.

Ia melihat memang ada hikmah positif dari pandemi saat ini, karena ternyata jamaah justru bertambah untuk ikut berpartisipasi.

Jadi, kini di tengah wacana yang disebut-sebut sebagai "era normal baru", ibadah dan amaliyah lainnya, termasuk "ngabuburit" tetap bisa dilakukan, dan justru dengan kualitas yang lebih baik.

Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020