Jakarta (ANTARA) - Pada kesempatan kali ini, kita akan berbicara tentang dua kata yang sangat singkat, yang sangat populer setiap kali memasuki Bulan Suci Ramadhan, yakni ashiyaam dan ashaum.

Kedua kata yang bermakna puasa ini ada dalam Al Quran. Hanya saja ashiyaam lebih banyak disebut yakni sembilan kali dalam tujuh ayat, sedangkan ashaum disebut hanya satu kali dalam satu ayat.

Menurut pakar Filologi Arab, Abu Hilal Al Askari dalam Kitab Al Furuq al Wauwiyah, setiap ada perubahan morfologis pada satu kata, maka dia akan mengalami perubahan atau perbedaan makna, termasuk perbedaan kata ashaum dan ashiyaam.

Dari tinjauan sufistik, kata ashiyaam lebih sering diasosiasikan dengan kegiatan-kegiatan syariat, sementara kata ashaum lebih pada persoalan tarikat.

Kita menemukan kata ashaum itu ketika Allah menjelaskan tentang seorang perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa AS, yakni Siti Maryam.

Ketka Allah selesai mengalirkan sungai di bawah kakinya dan menurunkan kurma segar di samping beliau ketika hendak melahirkan Nabi Isa, Allah berfirman, "Maka makan dan minumlah serta tenangkan hatimu. Bila nanti bertemu seseorang, katakan kepadanya 'Saya sudah berjanji kepada Allah untuk melakukan shaum (puasa), maka saya tidak akan berbicara kepada siapapun'."

Itulah puasa atau shaum yang dilakukan Siti Maryam, puasa dalam tataran tarikat, puasa berbicara. Beliau berjanji kepada Allah untuk puasa berbicara, tidak melayani siapapun yang mengajak bicara kepadanya.

Baca juga: Pengabdian kepada sesama

Dalam tataran puasa syariat, kita diikat oleh aturan-aturan fikih. Maka seluruh rukun, syarat fikih harus terpenuhi ketika kita melaksanakan ibadah shalat, ibadah puasa dan ibadah lainnya.

Ketika kita berpuasa, kita harus menahan untuk tidak makan, tidak minum, kumpul suami istri dari sejak terbit fajar hingga tenggelam Matahari. Itulah puasa dalam dimensi syariat.

Tetapi puasa dalam dimensi tarikat adalah ketika kita mengendalikan semua kemampuan inderawi, baik lahir maupun batin. Misalnya, kita dengan mata puasa melihat, dengan lisan puasa bicara, dan dengan telinga puasa mendengar.

Karena Siti Maryam puasa bicara, Allah SWT membuat bayi itu yang berbicara, maka bayi itu yang menjawab semua tuduhan, tudingan, dan cemoohan orang-orang ketika Siti Maryam keluar dari mihrab sambil menggendong bayi.

Oleh karena itu, kalau kita bisa dan terbiasa melakukan puasa bicara, Insyaa Allah kita akan mendapatkan kesempatan menikmati pengalaman sebagaimana dialami oleh Siti Maryam. Kalau kita puasa bicara maka Allah akan memperdengarkan suara hati nurani kita.

Sebab menurut sebuah riwayat, Allah SWT itu memiliki taman pada diri setiap Muslim. Tamam-Nya itu ada di hati, Allah membisikkan petunjuk, arahan, dan hidayah itu lewat hati kita.

Tetapi karena kita terlalu sering bicara, jarang sekali puasa bicara, kita kehilangan. Kita tidak bisa menikmati bisikan-bisikan Allah SWT lewat hati nurani kita.

Baca juga: Kesabaran buah berpuasa

Puasa bicara itu tidak sekadar menahan lidah untuk tidak menggunjing, berbicara kasar, berbicara kotor, memfitnah, menabar hoaks di Bulan Ramadhan. Sebab di luar Ramadhan, itu semua juga dilarang.

Dengan puasa bicara, Allah SWT akan membantu kita untuk semakin mempertajam fungsi pendengaran kita. Sebab konflik pertengkaran antarkelompok, entah itu di dalam keluarga atau di dalam organisasi, itu terjadi karena semua orang hanya ingin berbicara dan tidak ada yang mau mendengarkan.

Itulah kenapa Allah mengajarkan kepada kita lewat kisah Siti Maryam agar kita belajar dan berlatih agar bisa melakukan puasa bicara.

Dengan puasa berbicara, kita akan mendapatkan hikmah yang begitu banyak. "Diam itu hikmahnya banyak sekali, namun sedikit yang bisa mendahulukan itu".

Apalagi di zaman seperti sekarang, saat musibah dan wabah di mana-mana, corona menerjang kita semua. Semua orang ingin bicara. Semua orang ingin didengarkan.

Tidak ada satu pun yang legawa hatinya untuk hanya ingin mendengarkan, "Sami'naa wa ato'naa". "Kami dengar dan kami taat". Tetapi nyatanya tidak ada, padahal ini Bulan Ramadhan.

Marilah kita belajar meningkatkan tingkatan puasa kita dari domain syariat menuju puasa berdomain hakikat, sebab dengan itu kesehatan lahir dan batin akan kita capai.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah puasa Siti Maryam ini. Wallaahu a'lamu bishawaab. Wallaahu muwafiq ilaa aqwaamithoriq.

*) Ustadz Edi KR adalah seorang dai (penceramah)

Baca juga: Membentuk anak saleh
Baca juga: Menjadi Muslim yang jujur, benar, dan ikhlas


 

Pewarta: Ustadz Edi KR *)
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020