Sanur, Bali (ANTARA News) - "A sing sing so...a sing sing so..." senandung Wang Yen'er (58), spontan dan penuh semangat. Dia baru pertama kali ke Indonesia dan hanya tahu bahasa China, tapi lagu batak tersebut dia kenal baik sejak tahun 50-an.

Tanpa diminta, Wang Yen' er melanjutkan "a sing sing so" dengan lirik China, mungkin untuk membuktikan dirinya hafal "nglotok" lagu dari Sumatera Utara itu.

"Ibu saya bilang generasinya pasti tahu lagu itu. Zaman dia masih anak-kanak,ada pembagian buku lagu-lagu asing," kata Wang Tian (31), anak Wang Yen'er, yang menerjemahkan rentetan kalimat ibunya ke dalam bahasa Inggris.

Wang Yen'er diam sebentar seperti mengingat sesuatu, lalu kembali melanjutkan kalimatnya kepada ANTARA.

"Buku itu satu zaman dengan suatu pertemuan besar di Indonesia, di kota 'Candwong' di Indonesia. Perdana menteri Chou En Lai hadir dan beritanya besar-besaran di koran, radio maupun lewat film (propaganda red.). Dia ingat Presiden Indonesia saat itu namanya Soekarno," kata Wang Tian.

Si anak lalu mengemukakan bahwa "pertemuan besar di Candwong" itu juga masuk dalam mata pelajaran sejarah sekolah-sekolah di China.

"Candwong" yang dimaksud adalah Bandung sedangkan 'pertemuan besar' adalah Konferensi Asia Afrika tahun 1955 (KAA).

Obrolan dengan dua perempuan tersebut berlangsung di sela-sela persiapan mereka sebagai anggota delegasi China yang akan tampil dalam Asia Africa Art and Culture Festival di Sanur, Bali.

Kedua perempuan itu mengasuh sekitar 30 anak-anak dari sanggar seni "Little Golden Phoenix" kota Shunde, China, yang menampilkan seni nyanyi dan tari. Selain mereka ada 20 anggota delegasi dewasa yang memainkan alat musik tradisional China dan seni bela diri seperti kung fu.

Festival seni dan budaya yang berlangsung mulai 12 hingga 16 Agustus tersebut juga dihadiri delegasi dari India, Turki, Iran, dan Jepang.

Tapi, tidak semua orang seperti Wang Yen'er dan Wang Tian."Saya tidak ingat kalau di sekolah ada pelajaran sejarah soal itu,tapi kalau hal itu penting, saya pasti ingat," kata M. Mefin, (34) warga Turki yang sedang menonton festival itu. Tentunya dia juga tidak tahu bahwa Turki adalah salah satu dari 25 negara peserta konferensi tersebut.

Lain lagi dengan wisatawan asal Belanda, Gijs Smuldeers (27). "Saya belum pernah dengar. Apa hasil dari pertemuan itu sehingga sampai sekarang masih diperingati?," katanya.

Si "bule" Smuldeers tidak basa-basi, pemuda itu selanjutnya menghabiskan waktu hampir 20 menit untuk mengajukan berbagai pertanyaan tentang KAA. Setengah jam lainnya dia habiskan di berbagai stand negara-negara peserta festival seni dan budaya tersebut.

Di festival tersebut, masyarakat Bali maupun wisatawan asing juga dapat melihat dan mencoba langsung seni origami dari Japan Foundation, membatik di stand "Mbatik Yuuuk", menyaksikan langsung proses pembuatan keris termasuk menempa logam, ataupun terpukau dengan seni lukis Ebru yang dipraktikkan oleh Mr. Salih Elhan, wakil dari Turki.

Setiap lukisan, kebanyakan bermotif bunga, menghabiskan waktu sekitar 10 menit. Mula-mula Salih Elhan meneteskan berbagai warna ke dalam suatu penampang berisi cairan, lalu setiap tetesan "dibentuk" dengan goresan kawat di permukaan cairan, hingga munculah gambar.

Selanjutnya, gambar dipindah ke kertas dengan menempelkan kertas di atas cairan itu selama beberapa saat.

budaya
Banyaknya wisatawan di Sanur yang datang ke festival budaya tersebut membuat sedikit lega penyelenggara yaitu Asia Africa Foundation (AAF).

Sekjen AAF, Sujoko, mengemukakan awalnya ada 10 negara yang memastikan diri akan mengirim delegasi untuk acara tersebut.

Namun, pengemboman di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta belum lama ini membuat lima dari negara peserta membatalkan keberangkatan delegasi mereka.

"Yang lainpun minta kepastian keamanan. Untungnya mereka akhirnya mau datang meski memperkecil delegasinya," kata Sujoko didampingi event director AAF, Ari Satoto.

Dia mengemukakan, selama ini festival seni budaya yang diselenggarakan AAF selalu bertempat di Gedung Asia-Afrika Bandung, setiap 18-24 April bersamaan dengan peringatan konferensi tingkat tinggi tersebut.

"Kini kami pilih Bali agar kegiatan ini lebih dilirik secara internasional karena banyak warga asing yang datang," kata Sujoko.

AAF didirikan di Jakarta pada tahun 2002 oleh Prof Dr Roeslan Abdulgani (alm), yang juga Sekjen KAA tahun 1955.

Lembaga itu didirikan sebagai wadah kerjasama berkelanjutan Asia-Afrika, sesuai semangat dari buah KAA 1955 yaitu The Ten Principles of Bandung atau Dasa Sila Bandung.

implementasi
Ketika ditanya tentang banyaknya masyarakat yang lupa atau tidak tahu KAA, Sujoko mengakui hal itu. "Memang, dan itu mencerminkan seperti apa kualitas pendidikan kita. Tapi, yang lebih penting adalah implementasinya di masyarakat, manfaatnya," kata Sujoko.

Dia mengingatkan baha KAA sudah berlangsung dua kali, terakhir pada 2005 yang menghasilkan New Asia strategic Partnership.

"Selama ini kerjasama G to G (antar pemerintah) berjalan, yang kurang adalah P to P (antar masyarakat). Kami ingin memperbaiki keadaan ini," kata Sujoko.

Maka, AAF pun meluncurkan program rutin mulai dari festival seni budaya, Asia Africa Children Festival, Asia Africa Youth Summit, Asia Africa Education and Scholarship Fair, Asia Africa Trade Expo and Bussiness Forum.

"Rencananya festival seni dan budaya Asia Afrika mulai tahun depan diselenggarakan di luar negeri.Sudan sudah menyatakan bersedia jadi tempat kegiatan serupa tahun depan dan kami sedang menggagas World Fair di China, juga untuk tahun depan," kata Sujoko.

Dia mengaku AAF sempat "mati suri" karena empat pengurusnya, termasuk Roeslan Abdulgani, wafat dalam tahun yang sama yaitu 2006.

Sujoko mengemukakan sudah banyak pihak yang ingin ikut dalam ekspo perdagangan dan forum bisnis Asia Afrika.

"Banyak orang tahunya kalau ekspor itu ya ke negara maju, padahal negara berkembang seperti Afrika merupakan pasar yang sangat baik, banyak barang yang dibutuhkan oleh mereka dan Indonesia memproduksinya, seperti pakaian," kata Sujoko.

mirip
Tantangan untuk menggiatkan kembali kerjasama sosial, ekonomi, seni dan budaya Asia Afrika dari AAF mungkin mirip dengan yang ditulis Roeslan Abdulgani dalam bukunya "The Bandung Connection".

Di buku tersebut, Roeslan Abdulgani menggambarkan lika-liku meraih kepercayaan dan menepis keraguan dari berbagai negara Asia Afrika yang diundang datang.

Cak Roes, panggilan akrab Roeslan Abdulgani, juga mengingatkan bahwa belum pernah ada nilai-nilai internasionalisme yang terus menerus di puncak dan itu sudah jadi hukum perputaran sejarah dan zaman.

"Yang ada, Semangat (KAA di) Bandung punya kesejarahan yang berarti dan tidak mati," tulis Cak Roes.

Semangat itu yang melatari AAF terlebih dulu mengambil jalur seni dan budaya untuk mempererat kerjasama antar masyarakat dua benua.

"Kegiatan yang diawali dengan kerjasama seni budaya akan memudahkan berkumpulnya masyarakat dari berbagai negara. Kegiatan seni budaya tidak membeda-bedakan negara maju, terbelakang, kaya atau miskin. Ini menjadi jembatan komunikasi dan sosialisasi antar negara Asia Afrika," kata Sujoko.

Mengenai peringatan KAA 1955, AAF juga menggelar pameran foto setiap kali berlangsung peringatan konferensi tersebut, bahkan mereka pernah mengagas untuk mengumpulkan keturunan-keturunan para delegasi yang hadir di Bandung tahun 1955.

"Kami pernah hubungi antara lain keturunan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru. Belum banyak yang menyatakan bersedia, bahkan ada yang sikapnya tidak berminat, sayangnya, dia justru dari Indonesia," kata Sujoko lalu minta agar sosok yang tidak berminat itu tidak ditulis namanya. (*)

Oleh Aditia Maruli
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009