Sanur, Bali (ANTARA News) - Ana Nuryana dengan terampil membuka satu kotak bungkus kelom. Bagian tengah alas kaki khusus perempuan itu disentuh dengan ujung jarinya. "Bagian luar ini semuanya harus benar-benar mulus, warnanya tidak luntur dan tidak membuat iritasi kulit," kata lelaki berusia 50-an itu.

Ana tidak kenal toleransi untuk kualitas. "Soalnya modal untuk iklan ya cuma kepercayaan pelanggan. Mereka getok tular. Kabar bagus cepat menyebar, demikian juga sebaliknya," katanya.

Belum genap 10 tahun Ana menekuni bisnis pembuatan kelom yang merupakan kerajinan khas Tasikmalaya, Jawa Barat, tapi dari modal Rp400 ribu kini dia sudah memiliki aset usaha sekitar Rp1,5 miliar."Bisa sampai begitu, mungkin karena belum ada saingan," kata Ana lalu tersenyum.

Kelom geulis ( bhs. sunda yang berarti cantik) bukan sesuatu yang sulit dicari di Tasikmalaya, kota tempat tinggal Ana. Namun, kerajinan turun temurun itu redup seiring banyaknya produk sepatu dan sandal kulit maupun imitasi imitasi.

Kelom yang dulu laris berangsur-angsur ditinggalkan bahkan banyak usaha pembuatan kelom tutup. Menurut Ana, salah satu yang membuat bisnis itu meredup adalah model yang 'itu-itu saja" selama berpuluh-puluh tahun. Setiap kali mendengar kelom maka yang terbayang adalah sandal kayu yang dipernis atau dicat lalu dilukis dengan motif kembang.

"Waktu mulai usaha ini, saya berpikir kelom saya harus beda. Saya coba kelom batik, benar-benar dibatik. Si kelom dibuatkan polanya dengan canting, dicelup dan diloroh (direbus agar lilin dari canting larut)," kata Ana.

Kelom batik tersebut laris, dan selanjutnya pesanan mulai berdatangan. Ana yang tadinya memulai dengan satu pegawai, kini telah punya 50 anak buah dengan produksi rata-rata 200 pasang perhari. "Semuanya untuk pesanan. yang ready stock itu karena nomornya tidak lengkap lagi. Rata-rata pemesan, eceran maupun grosir, menunggu 2 hingga 3 pekan sampai kelom pesanannya siap," kata Ana.

Kalikan 200 pasang itu dengan Rp130 ribu (harga rata-rata kelom Ana) , maka itulah omzet usahanya perhari.

Ana memulai usahanya setelah pensiun dini dari PT Dirgantara Indonesia pada tahun 2000. Saat jadi karyawan, dia berkantor di Tasikmalaya dengan tugas menggambar teknik. "Tapi menggambar seni untuk kelom kan tidak ada hubungannya sama menggambar teknik. Yang memicu saya memulai bisnis kelom geulis ini karena saya memang juga senang menggambar pola," kata Ana.

Ana mencoba teknik-teknik lain untuk motif batik lainnya, misalnya menggunakan airbrush, bordir, ukir dan mendong.

"Pokoknya cari terus yang baru, itu tugas kita. Perkara ada orang yang meniru, saya yakin hasilnya tetap tidak akan sama," kata Ana. Mungkin keyakinan itu juga yang menjadikan dirinya percaya diri bahwa usaha kelomnya "belum punya saingan".

Ketekunannya pun sudah berbuah; sejak beberapa tahun lalu usaha Sagitria Collection miliknya sibuk melayani pesanan dalam jumlah ribuan dari Jepang, Taiwan, Singapura dan Philipina.

Dia juga mendapat penghargaan "Pengusaha Terinovatif se-Tasikmalaya" yang diserahkan langsung Gubenur Jawa Barat pada Pembukaan Festival Tasikmalaya. Dia pun menjadi pengusaha binaan beberapa perusahaan besar. Menurut Ana, cara paling jitu agar produknya dikenal adalah mengikuti berbagai pameran, selain lewat Internet lewat situs web www.kelombatik.com

Inovasi yang dilakukan Ana menjadikan dirinya diundang untuk berpameran di Asia-Africa Art and Culture Festival (AACF) di Sanur, Bali yang berlangsung selama 12-16 Agustus 2009.

"Keunggulan kelom pak Ana terletak pada inovasi dan kualitasnya, jadi kami mengundang agar produknya memeriahkan festival ini karena pengunjungnya antara lain adalah wisatawan internasional di Bali," kata event director AACF, Ari Susanto.

Selain kelom Ana Nuryana, festival tersebut mengundang pengrajin lain yang juga sukses melestarikan budaya melalui inovasi. Cara seperti Ana yaitu mencoba hal baru, juga dilakukan Sukrismini yang sudah 23 tahun menjadi perajin batik.

Kris, panggilan ibu berusia 47 tahun itu, mulai menekuni batik lewat jalur formil yaitu jurusan batik di Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) di Jogyakarta. SMIK tersebut menyiapkan siswa menjadi wirausahawan sehingga mengajarkan semua aspek industri batik termasuk pembukuan.

Meski bukan dari keluarga pembatik, perempuan berjilbab tersebut sejak awal memilih untuk menekuni batik. Setelah lulus dari SMIK, Kris berniat melanjutkan ke IKIP untuk mendalami batik namun jurusan tersebut tidak ada. ia merantau ke Jakarta dan bekerja di pertokoan Blok M selama dua tahun hingga pada tahun 1987 dirinya mendengar lowongan instruktur batik di Museum Tekstil jalan KS Tubun Jakarta.

"Saat itu saya daftar dan diterima. Saya terus membatik dengan canting di museum walau pengunjungnya sangat sepi. Dulu antusiasme masyarakat terhadap batik tidak seberapa. Lain dengan sekarang, setiap hari ada rombongan yang datang untuk belajar membatik," kata Kris yang masih menjadi instruktur batik di Museum Tekstil.

Dia mengatakan, saat awal menjadi instruktur di museum, hanya satu-dua orang yang minta diajarkan secara privat untuk membatik. Kini, rata-rata setiap hari lebih dari 200 orang yang mendapat pelajaran membatik di Museum Tekstil. Pesertanya mulai dari kelompok anak sekolah hingga kalangan profesional.

"Ternyata dari membatik saya punya banyak kenalan. Mulai dari murid SD, SMP, SMA sampai selebritis, istri pejabat maupun pejabatnya. Di manapun pameran, mulai New York sampai Sanur, bekas murid pasti datang membantu saya dan tanpa diminta," kata Kris yang kini juga sibuk mengatur waktu untuk memenuhi undangan membatik maupun untuk berpameran.

Kris menyebutkan beberapa pejabat maupun istri pejabat maupun selebriti yang pernah belajar membatik kepadanya. Beberapa muridnya ada yang menjadi pembatik atau membuka butik, bahkan muridnya dari Jepang telah menjadi seniman batik.

"Jadi, sekarang sudah ada yang namanya Batik Jepang. Menurut saya bagus sekali karena mereka sangat teliti mengerjakannya," kata Kris yang juga mengaku dirinya tidak pernah mengulangi pola di kain lain.

Dia juga mengatakan orang seharusnya tidak perlu terlalu protes terhadap batik Malaysia. "Batik Malaysia punya corak sendiri, ciri motifnya besar-besar, mereka tidak mencontek, mereka membuat motifnya sendiri," kata Kris.

Kris telah berpameran di Belanda, dua kali di Malaysia, Vietnam, China dan belum lama ini di Amerika Serikat.

Yang membuatnya bangga, batik ternyata sangat mengundang perhatian di luar negeri. Setiap kali berpameran di luar negeri, Kris menjadi saksi besarnya minat masyarakat luar negeri terhadap kekayaan budaya Indonesia. "Pernah, waktu ada workshop batik saat pameran, yang mengantre panjang sekali, sudah mengular," katanya lalu memperkirakan panjang antrean paling tidak 30 meter. Saat berpameran di China, dirinya bahkan tidak bisa berdiri saking berjubelnya pengunjung di stand batik.

Canting, lilin dan kain juga akan menyertainya untuk memenuhi undangan berpameran di Brussel, Belgia pada Oktober.(*)

Oleh Aditia Maruli
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009