Hong Kong (ANTARA) - Pimpinan Hong Kong Carrie Lam pada Selasa mengatakan rancangan undang-undang keamanan nasional yang diusulkan China tidak akan mengikis kebebasan dan hak sipil warga.

Lam meminta warga Hong Kong menunggu hasil akhir rancangan beleid tersebut.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Lam saat jumpa pers mingguan. Namun ia tidak menjelaskan bagaimana rancangan beleid itu dapat mempertahankan kebebasan yang saat ini dinikmati warga Hong Kong.

"Dalam 23 tahun terakhir, saat banyak orang mengkhawatirkan kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi di Hong Kong, mereka berunjuk rasa, Hong Kong berhasil menjaga dan menegakkan nilai-nilai itu," kata Lam.

Beijing pada minggu lalu mengumumkan rencana membahas rancangan undang-undang keamanan nasional untuk wilayah Hong Kong. Beberapa pihak meyakini beleid itu bertujuan menghentikan rencana pemisahan, aksi teror dan subversif. UU itu, apabila disahkan, akan mengizinkan badan intelijen China membuat kantor perwakilan di Hong Kong.

Ribuan warga di Hong Kong turun ke jalan pada Minggu (24/5) untuk berunjuk rasa menentang rancangan beleid keamanan nasional. Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air guna membubarkan massa.

Kepolisian setempat juga menangkap hampir 200 demonstran.

Aksi massa itu merupakan demonstrasi besar pertama yang digelar sejak tahun lalu. Masyarakat pada tahun lalu turun ke jalan menentang pengesahan aturan ekstradisi ke China.

Unjuk rasa itu menyebabkan Hong Kong, bekas daerah koloni Inggris, jatuh dalam krisis terburuk sejak wilayah itu dikembalikan ke China pada 1997.

Pengunjuk rasa dalam jumlah lebih banyak diperkirakan akan kembali turun ke jalan pada Rabu (27/5).

Komandan militer China di Hong Kong, Chen Daoxiang, saat sesi wawancara yang cukup jarang, mengatakan, pihaknya mendukung rencana parlemen membahas rancangan undang-undang keamanan nasional.

Chen, saat diwawancara televisi pemerintah China, mengatakan pihak militer berkomitmen melindungi kedaulatan China, kesejahteraan warga, dan keamanan Hong Kong.

Pasukan militer China bertahan dalam barak yang ditempatkan di Hong Kong sepanjang tahun lalu dan membiarkan kepolisian mengurusi para demonstran.

Rencana Beijing itu ditanggapi negatif oleh para pelaku usaha dan komunitas diplomatik yang khawatir terhadap masa depan Hong Kong sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Banyak pihak meragukan kemampuan Hong Kong jadi jembatan antara dunia barat dan China jika rancangan undang-undang itu disahkan.

Saat ini, Hong Kong diperintah lewat mekanisme "satu negara, dua sistem", yang dirancang untuk memastikan adanya otonomi dan kebebasan, termasuk di antaranya kebebasan berekspresi dan hak untuk berunjuk rasa.

Hak mendasar itu, yang saat ini dinikmati oleh warga Hong Kong, tidak berlaku di China daratan.

Beijing dan sejumlah pejabat setempat belum lama ini membuat komentar keras mengenai aksi unjuk rasa di Hong Kong. Mereka menyebut aksi protes itu sebagai "terorisme" dan upaya "memisahkan diri".

Aksi protes massa pada tahun lalu berujung kekerasan setelah otoritas setempat menolak memenuhi tuntutan warga yang menginginkan hak pilih universal, amnesti/ampunan hukum kepada pengunjuk rasa yang ditangkap, penyelidikan independen terhadap kepolisian saat menghadapi demonstran, dan permintaan tidak menyebut aksi protes sebagai kerusuhan.

Beberapa jajak pendapat menunjukkan hanya sebagian kecil warga Hong Kong mendukung kemerdekaan, salah satu ancaman yang diwaspadai Beijing.

Sumber: Reuters
Baca juga: China sahkan aturan keamanan, aktivis ajak warga Hong Kong unjuk rasa
Baca juga: Pemerintah Hong Kong batalkan pembicaraan dengan mahasiswa
Baca juga: Polisi Hong Kong sasar lebih banyak barikade protes

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020