Jakarta (ANTARA) - Setidaknya ada dua gelombang media yang selalu menjadi rujukan publik dalam mencari atau mendapatkan informasi. Yang satunya si saudara tua yang sudah lahir ribuan tahun lalu, yang satunya baru seumur jagung – masih dalam hitungan jari.

Namun teknologi mempercepat pertumbuhan si pendatang baru hingga seolah menjadi perkasa, bahkan sangat seksi. Begitu seksinya, media sosial mencuri perhatian publik dengan suguhan konten yang begitu menawan.

Di sana ada kecepatan, di sana ada hiburan, di sana publik lebih atraktif, komunikatif, bahkan mengangkat harkat derajat kemanusiaannya. Derajat kemanusiaan dimaksud adalah aspek kesetaraan yang diberikan media sosial, sehingga di sana hampir tidak ada bedanya antara produsen dengan konsumen.

Bahkan produsen informasi bisa terkalahkan oleh konsumen, karena setiap orang bisa mengomentari dengan cara mengapresiasi, mengkritik, bahkan mencaci atau menghujatnya.

Kebangkitan masyarakat maya ini membangun keperkasaan publik dengan kesempatan bangkit dan melawan keangkuhan para produsen konten yang selama ratusan bahkan ribuan tahun menganggap publik sebagai benda mati yang hanya menerima apa adanya dari konten media.

Netizen, dapat dilihat dalam berbagai postingan dan percakapan media sosial, menjadi entitas masyarakat modern yang berkarakter serba benar. Dahsyatnya media sosial terletak pada dorongan bagi publik untuk percaya diri (PD).

Ke PD-an inilah yang membuat netizen bermetamorposa di ruang-ruang maya. Orang pemalu menjadi hyperaktif, orang yang sedikit bicara jadi sering ngoceh, bahkan orang yang dengan sedikit ilmu bisa berbicara apa saja.

Dapat dibayangkan bagaimana orang yang dengan kapasitas pas-pasan, tetapi dapat membagikan konten yang sangat beragam.

Selain itu mereka juga dapat berkomentar untuk berbagai tema, sekalipun itu hal baru baginya. Hampir tidak ada tema yang tidak mendapat tanggapan.

Di tengah pandemi COVID-19, banyak orang yang tiba-tiba menjadi ahli kesehatan. Seolah paling paham apa yang terjadi, banyak orang bicara tentang virus, tentang wabah, atau tentang urusan ekonomi dan segala hal terkait dengan COVID-19. Ajaib, banyak orang yang mendadak cerdas, seperti paling tahu tentang hal baru ini.

Seperti biasanya, netizen banyak yang memposting, membagikan, komentar tentang COVID-19. Ketika para ahli medis masih meraba-raba, para dokter dan akademisi masih menahan diri, juga termasuk para ekonom masih mengkalkulasi dampak COVID-19.

Lagi-lagi kita akan menyaksikan opini netizen yang begitu berjubel di ruang maya, hingga akhirnya kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak.

Sampai di sini, kita akan sedikit melirik saudara tua mereka yaitu media arus utama yang telah lelah mengayomi publik lewat konten-konten yang telah terlebih dahulu melewati beberapa tangan yang memiliki keahlian di bidang informasi yaitu jurnalis. Mereka inilah yang telah dan selalu memastikan bahwa setiap kontennya benar; faktual dan telah diedit dengan ketat.

Konten-konten di media arus utama, baik itu televisi, media cetak, radio, maupun media massa daring, telah memastikan bahwa setiap berita dapat dipertanggungjawabkan. Konten yang disebarkan merupakan kerja kolektif, sehingga mencerminkan kebijakan dari perusahaan pers tersebut.

Secara faktual, kedua media ini seolah-olah berhadapan, dan publik disuruh memilih satu di antara dua ini, jika ingin berita valid baca atau tonton media arus utama, karena media sosial banyak berita bohong dan tidak berkualitas. Sehingga kita tidak melihat ini sebagai satu kesatuan. Sebabnya adalah terletak pada cara pandang kita yang berfokus pada konten saja.

Jika kita tarik ke atas, sebenarnya ke dua media ini memiliki banyak irisan. Media sosial dikendalikan oleh setiap orang, apapun profesinya, apapun status sosialnya.

Mereka bisa jadi masyarakat biasa, orang terpandang, yang berpenghasilan tinggi, termasuk para jurnalis sendiri. Hampir bisa dipastikan tidak ada orang yang tidak memiliki akun media sosial – minimal satu.

Tetapi sebenarnya media arus utama juga pelakunya adalah masyarakat itu sendiri, para jurnalis (yang memproduksi konten) dan masyarakat yang mengakses informasi, merupakan bagian dari masyarakat yang tidak ada bedanya secara demografi dengan pelaku media sosial sendiri.

Karenanya, kedua media ini sebenarnya dikendalikan oleh manusia yang sama. Jika kita melihat media sosial kontennya cenderung abal-abal, itu karena adanya kebebasan tidak terbatas pada diri orang-orang untuk memproduksi dan membagikan konten.

Di sana tidak ada pihak yang bertanggungjawab secara kolektif dan tidak ada pihak yang menyeleksi konten secara kelembagaan. Bahkan pun untuk etikanya sendiri mungkin nihil di sana.

Tetapi jika kita lihat, media arus utama, walaupun dilakukan oleh orang yang sebenarnya dilakukan oleh jurnalis (yang juga aktivis media sosial), namun mereka memiliki mekanisme kerja, taat kode etik jurnalistik, dan mereka mempertaruhkan nama baik perusahaan.

Jadi titik temu antara kedua media ini ada pada pelaku yang sama. Tetapi yang membedakan adalah ada dan tidak adanya etika dalam menjalankan aktivitas berbagi informasi.

Jadi membangun keadaban informasi akhirnya terletak pada etika manusianya. Baik ketika berada dalam lembaga pers, atau ketika menjadi aktivis media sosial, publik harus tetap beretika, sehingga akan memverifikasi kontennya sendiri, memfilter sendiri, dan mempertanggungjawabkan semua kontennya walaupun akan dibagikan di media sosial.

Jika masyarakat yang sama menerapkan standar etika yang sama, maka peradaban informasi akan memiliki standar konten yang sama, sama-sama berkualitas dan bergizi.

*) ​Roni Tabroni ​​​​ adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung dan Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah.

Copyright © ANTARA 2020