Brisbane (ANTARA News) - Schapelle Corby, perempuan asal Gold Coast, Queensland, yang sedang menjalani hukuman 20 tahun penjara di LP Kerobokan Bali karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana tahun 2004, kembali menjadi pusat perhatian media dan publik Australia.

Kali ini, perhatian publik negara itu tertuju pada klaim Asosiat Profesor Jonathan Phillips, psikiater kenamaan Australia yang awal Agustus ini dilaporkan mengunjungi Corby di Penjara Kerobokan, bahwa Corby sudah "tidak waras" alias "gila".

Klaim ini menjadi salah satu topik pemberitaan utama berbagai media cetak dan elektronika Australia, seperti Harian "The Canberra Times,", Stasiun TV "Channel Seven", "Sky News", "Gold Coast News", "AAP", dan "Sydney Morning Herald", Selasa.

Menurut Phillips, Corby kini merasa dirinya "tak berguna","tak berdaya","terasing", "putus asa" dan "tercabut dari masyarakat". Dalam kondisi kejiwaan yang demikian, dia dapat dikatakan "gila".

Mantan presiden Perhimpunan Psikiater Australia dan Selandia Baru (RANZCP) ini selanjutnya mengatakan, dengan kondisi jiwa yang seperti itu, Corby mudah terdorong untuk bunuh diri.

Menurut "The Canberra Times" mengutip penjelasan Phillips, kondisi kejiwaan mantan mahasiswi Sekolah Terapi Kecantikan yang kini berusia 32 tahun itu dikhawatirkan akan semakin memburuk jika terus di penjara Bali.

Karena itu, ia mengatakan, cara terbaik adalah Corby meneruskan masa hukumannya di Australia dan mendapat perawatan rumah sakit namun opsi ini tidak mungkin dilaksanakan karena Pemerintah RI dan Australia belum menyepakati perjanjian pemindahan masa hukuman para tahanan.

Perihal pemberitaan media Australia tentang kondisi sakit jiwa Corby ini sepenuhnya didasarkan pada penjelasan sepihak psikiater yang menurut laporan media setempat dapat bertemu Corby berkat bantuan pihak keluarga Corby itu.

Dengan dalih kemanusiaan dan "masalah hidup mati",pihak keluarga Corby akan mendesak pemerintah federal agar membantu pemulangan Schapelle Corby ke Australia.

Keluarga Corby berencana mengirim laporan "temuan" Prof.Phillips itu ke Perdana Menteri Kevin Rudd dan para politisi negara itu.

Sejak kasus Schapelle Corby muncul tahun 2004, kalangan media dan publik Australia terus memberi perhatian pada perkembangan apa pun yang terkait dengan perempuan asal Gold Coast ini.

Dalam konteks hubungan Indonesia dan Australia, kasus Corby ini bahkan sempat memunculkan sentimen negatif publik Australia terhadap Indonesia.

Pada saat kasusnya ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia pada 2004-2005, pemberitaan media cetak dan elektronika Australia yang sedemikian rupa telah membentuk opini publik bahwa Corby "tidak bersalah".

Saat opini publik Australia masih berpihak kepada Corby, KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya sempat menjadi sasaran kekesalan orang-orang yang tidak bertanggung jawab di negara itu.

Beberapa bentuk kekesalan mereka yang bersimpati kepada "nasib" Corby ketika itu adalah ancaman pembunuhan terhadap staf Konsulat RI di Perth, pengiriman surat bernada ancaman dan paket berisi "serbuk putih" yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra, serta vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney.


Jaringan penyelundupan

Dinamika hubungan Indonesia-Australia yang dipicu kasus Corby yang memicu sentimen publik itu memasuki era baru setelah kebenaran tentang kasus Corby dan rekam jejak ayahnya dalam jaringan penyelundupan obat terlarang diungkapkan sendiri oleh media Australia.

Pengungkapan "kebenaran" di balik kasus Corby itu dilakukan Stasiun TV "Saluran Sembilan" (Channel Nine) Australia, Stasiun TV ABC dan sejumlah media cetak negara itu pertengahan 2008.

Film dokumenter berjudul "Schapelle Corby: The Hidden Truth" yang ditayangkan Stasiun TV "Channel Nine" pada 22 dan 24 Juni 2008 dan ditonton sedikitnya 1,6 juta orang misalnya menyajikan fakta demi fakta yang selama bertahun-tahun "gelap" tentang sosok Corby dan keluarganya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009