Jakarta (ANTARA) - Hari ini, 31 tahun yang lalu, bulu tangkis Indonesia mencatat sejarah sebagai negara pertama yang menjuarai kejuaraan dunia beregu campuran, Piala Sudirman.

Kejuaraan Piala Sudirman, yang kental dengan nuansa Indonesia --namanya, pialanya dan penyelenggara pertamanya-- pertama kali digelar di Istora Gelora Bung Karno Jakarta pada 24-29 Mei 1989.

Piala Sudirman, yang namanya diberikan sebagai penghormatan kepada tokoh bulu tangkis Indonesia dan salah satu pendiri Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Dick Sudirman, adalah kejuaraan dunia beregu yang mempertandingkan kelima nomor yang dipertandingkan dalam bulu tangkis, yakni tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri dan ganda campuran.

Kejuaraan ini melengkapi dua kejuaraan dunia beregu lainnya, yaitu Piala Thomas untuk beregu putra dan Piala Uber untuk beregu putri.

Nuansa Indonesia lainnya adalah piala tersebut dibuat oleh orang Indonesia dengan ornamen Candi Borobudur sebagai mahkotanya, dan diusukan serta diselenggarakan untuk pertama kalinya di Indonesia pada 1989.

Baca juga: Mengintip peta kekuatan tim di Piala Sudirman 2019

Baca juga: Pesan mantan pemain bulu tangkis Indonesia untuk tim Piala Sudirman


Adalah Susy Susanti dan kawan-kawan yang berhasil membuat piala tersebut tetap berada di Indonesia setidaknya dalam dua tahun berikutnya dengan menjuarai edisi perdana itu. Edisi yang diikuti 28 negara, terbagi dalam enam grup, dengan empat negara lolos ke semifinal adalah Indonesia, China, Korea Selatan dan Denmark.

Pada final tuan rumah Indonesia mengalahkan Korea Selatan dengan skor 3-2 dan menjadi kampiun pertama pada kejuaraan tersebut.

Mengutip laman djarumbadminton.com, Indonesia langsung tertinggal 0-2 pada dua partai pembuka ketika ganda putra Eddy Hartono/Gunawan kalah oleh Park Jo Bong/Kim Mon Soo 9-15, 15-8, 13-15, dan ganda putri Verawati Fajrin/Yanti Kusmiati menyerah kepada Hwang Hye Young/Chung Myung Hee 12-15, 6-15.

Pada partai ketiga yang menentukan, pemain tunggal putri Indonesia Susy Susanti yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI, mempertahankan asa tuan rumah dengan menundukkan Lee Young Suk dengan skor luar biasa 10-12, 12-10, 11-0.

Susy yang kehilangan gim (pada waktu itu set) pertama 10-12, tertinggal 7-10 pada gim kedua. Lee hanya perlu satu poin lagi untuk memenangi pertandingan sekaligus membawa negaranya meraih trofi, namun Susy yang pantang menyerah berhasil menyamakan kedudukan 10-10 dan merebut gim kedua 12-10, dan tidak memberi lawannya satu poin pun pada gim penentuan.

Dua partai selanjutnya, tunggal putra dan ganda campuran berhasil direbut tim Merah Putih melalui Eddy Kurniawan yang menang atas Han Sung Kok 15-4, 15-3, dan Eddy Hartono/Verawati unggul atas Park Jo Bong/Chung So Young 18-13, 15-3.

Sayangnya itulah satu-satunya gelar yang berhasil diraih Indonesia pada turnamen yang sudah berusia 31 tahun tersebut dan sudah digelar 16 kali, sekalipun hampir selalu maju ke empat besar kecuali pada edisi 2013 dan 2017.

Hingga saat ini, hanya tiga negara yang berhasil membawa pulang piala setinggi 80cm yang dibuat dari perak bersepuh emas 22 karat itu yakni Indonesia, China (11 kali) dan Korea (4 kali).

Indonesia (14 kali), China (16), Korea Selatan (15) dan Denmark (11) adalah empat negara yang paling sering lolos ke semifinal, selain Jepang (3), Thailand (3), Malaysia (1) dan Inggris (1).


Prestasi Merah Putih

Seperti sudah disebutkan bahwa tim Merah Putih baru sekali menjuarai kejuaraan dunia beregu campuran tersebut meskipun 14 kali berhasil mencapai semifinal.

Setelah meraih trofi pada 1989, pada tiga edisi berikutnya (1991, 1993, 1995) Indonesia harus puas sebagai runner-up. Secara keseluruhan tim Merah Putih enam kali menjadi finalis yang kalah, menambahkan edisi 2001, 2005 dan 2007 pada tiga edisi sebelumnya.

Setelah itu, prestasi terbaik Indonesia hanyalah mencapai semifinal. Bahkan pada 2013 yang digelar di Kuala Lumpur Malaysia dan 2015 di Dongguan China, Merah Putih gagal menembus empat besar.

Pada edisi terakhir, tahun lalu yang berlangsung di Nanning China, Anthony Sinisuka Ginting dan kawan-kawan kembali membawa Indonesia ke semifinal untuk menghadapi tim Jepang yang untuk ketigakalinya lolos ke babak empat besar.

Saat itu, Indonesia gagal mengatasi tim Jepang yag dipimpin oleh tunggal putra nomor satu dunia Kento Momota, Indonesia kalah 1-3.

Pada partai pembuka ganda putra Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo membuka poin bagi tim Merah Putih dengan mengalahkan pasangan Takeshi Kamura/Keigo Sonoda 21-14, 21-18.

Namun pada partai kedua, Jepang menyamakan kedudukan dengan memenangi nomor tunggal putri ketika Gregoria Mariksa Tunjung tunduk di tangan Akane Yamaguchi 13-21, 13-21.

Pemain tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting yang turun pada partai ketiga tidak mampu menambah angka bagi Indonesia ketika ia menyerah kepada Kento Momota dalam dua gim langsung 17-21, 19-21.

Langkah Indonesia akhirnya terhenti saat ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu gagal mengatasi pasangan nomor satu dunia Mayu Matsumoto/Wakana Nagahara 15-21, 17-21.

Baca juga: Tiongkok raih gelar keenam Piala Sudirman

Baca juga: Indonesia bertekad pulangkan Piala Sudirman setelah 30 tahun lepas


Lalu kapan Indonesia bisa kembali menjadi juara?

Tidak lama setelah kalah di Nanning, Kabid Binpres PP PBSI Susy Susanti masih menemukan beberapa kekurangan pada tim Indonesia.

Ia mengatakan, sektor tunggal putri Indonesia masih butuh kerja keras dan penanganan lebih, sedangkan sektor ganda putri perlu meningkatkan kekuatan dan ketahanan baik fisik maupun mental.

Adapun di sektor tunggal putra, meskipun mereka sudah meningkatkan peringkatnya, namun masih harus meningkatkan konsistensi pada saat bermain.

Harapannya pada edisi ke-17 yang akan berlangsung di Suzhou China pada 23-30 Mei 2021 prestasi Indonesia akan lebih baik, semoga.

Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2020