Belum sampai 10 tahun pemutakhiran peta lahan gambut telah dilakukan pada 2 level skala
Jakarta (ANTARA) - Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian sejak 2011 hingga 2019 melakukan pemutakhiran peta gambut dari skala 1:250.000 langsung ke pendetailan ke skala 1:50.000.

Peneliti senior Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Sofyan Ritung, pada Webinar Pemanfaatan Gambut Berkelanjutan mengatakan, pemanfaatan gambut untuk pertanian perlu didahului identifikasi dan karakterisasi secara detail pada skala operasional agar tidak salah rekomendasi.

Selain itu lahan gambut yang termasuk ekosistem rawa juga tergolong lahan yang dinamis ketika dimanfaatkan terutama karena didrainase sehingga pemutakhiran perlu dilakukan 5-10 tahun sekali agar tetap terkini datanya.

"Belum sampai 10 tahun pemutakhiran peta lahan gambut telah dilakukan pada 2 level skala," kata Sofyan melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan, lanjutnya, juga telah melakukan pemutakhiran klasifikasi kedalaman atau ketebalan gambut untuk kepentingan pemanfaatan gambut dari semula 4 kelas menjadi 6 kelas.

Saat ini dikenal gambut dangkal (50-<100 cm), sedang (100-<200 cm), dalam (200-<300 cm), sangat dalam (300-<500 cm), sangat dalam sekali (500-<700 cm), hingga ekstrim dalam >700 cm).

Peta lahan gambut Indonesia skala 1:50.000 disajikan per kabupaten/kota yang memuat informasi sebaran gambut dengan legenda tingkat kematangan dan kedalaman gambut serta beberapa sifat fisik dan kimia yang dapat digunakan berbagai kepentingan seperti penilaian potensi untuk pertanian dan lingkungan.

Saat ini gambut tersebut tersebar di 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua serta sedikit di Sulawesi dengan tingkat kematangan umumnya setengah matang sampai matang.

"Kedalaman gambutnya juga beragam dari dangkal hingga ekstrim dalam," katanya.

Lahan gambut merupakan lahan terisi tanah gambut yang rapuh (fragile soil). Gambut menjadi mudah berubah dan rentan rusak ketika terusik. Gambut berupa material organik sangat ringan, kesuburan rendah dengan pH masam sampai sangat masam.

"Dengan demikian pemanfaatan lahan gambut perlu kehati-hatian. Perlu disesuaikan potensi dan penerapan teknologi pengelolaan lahan yang tepat," kata Sofyan.

Sebut saja teknologi tepat guna berupa pengelolaan air, pembukaan lahan tanpa bakar, serta amelioran dan pemupukan.

Prof Budi Mulyanto dari IPB, mengapresiasi cara Balitbangtan mengutamakan landform sebagai dasar metode pemetaan, karena hal itu mampu memberi informasi pada ekosistem seperti apa gambut terbentuk.

Menurut Budi, metode tersebut tentu kemajuan yang berarti bagi pemetaan gambut sehingga pemetaan gambut lebih baik meskipun harus diakui masih terdapat kelemahan.

Baca juga: Tingkatkan produksi pangan, Balitbangtan siap optimalkan lahan gambut
Baca juga: Mentan targetkan penambahan beras 900.000 ton dari cetak sawah baru

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020